Kamis, 29 Desember 2011

Keuangan Islam, Kembalilah ke Jati Dirimu!

Hingga saat ini, sebagian besar kreasi produk keuangan Islam di Indonesia diinisiasi oleh pelaku industri keuangan Islam. Terang saja, motif pelaku ini adalah memenangkan persaingan antara mereka dengan keuangan konvensional. Persaingan antara pelaku industri keuangan terjadi pada aspek harga dan diversifikasi layanan. Permintaan fatwa produk keuangan baru didorong oleh persaingan diversifikasi layanan ini.

Sayangnya, keuangan Islam hanya menjadi pengikut dalam melakukan diversifikasi produk. Dengan demikian, produk keuangan Islam tidak memiliki keunggulan atas produk keuangan konvensional selain label Islam yang mereka bawa. Di sisi harga, produk keuangan Islam selalu kalah dari produk konvensional karena skema multi-transaksi yang digunakan dalam menghasilkan tiruan produk keuangan konvensional senantiasa memerlukan biaya transaksi yang lebih besar daripada skema transaksi tunggal utang berbunga.

Inovasi produk keuangan Islam yang memiliki diferensiasi terhadap produk keuangan konvensional juga menghadapi masalah keasingan bukan hanya dari pasar, tapi juga dari regulator. Produk keuangan Islam yang memiliki keunggulan pada aspek risk-sharing justru mendapat penalti dari regulator keuangan yang bias terhadap keamanan dana nasabah. Penalti tersebut biasanya berwujud kewajiban penambahan modal untuk mengkompensasi peningkatan risiko. 

Inkompatibilitas antara berbagai elemen industri keuangan Islam, mencakup fatwa, regulasi keuangan, dan praktik pelaku, merupakan konsekuensi dari pilihan untuk melakukan perubahan secara gradual. Keunggulan dari strategi gradual ini adalah perubahan itu bisa langsung dijalankan dan terlihat hasilnya walau sedikit demi sedikit dan banyak terkendala masalah. Pilihan strategi perubahan lain, yakni perubahan seketika, hanya mungkin dijalankan jika terdapat momentum cukup kuat yang membuat semua pihak bersedia menerima, atau paling tidak membiarkan, perubahan besar tersebut.

Bahaya terbesar yang dihadapi ketika melakukan perubahan dengan pendekatan gradual adalah kehilangan orientasi. Alih-alih mewarnai industri keuangan yang terjangkiti wabah riba dan gharar, keuangan Islam justru menjadi bunglon yang menyesuaikan warnanya dengan keuangan konvensional serta ikut tertular riba dan gharar.

Kreasi produk keuangan Islam harus menghindari riba dan gharar ini secara substantif. Substansi keduanya tidak akan hilang hanya dengan mengambil jalan memutar melalui penggunaan multiakad dalam membuat replika produk keuangan konvensional.

Terkait produk pembiayaan, lembaga keuangan Islam hanya memiliki skema bagi laba-rugi sebagai pilihan yang bebas riba selama regulator membatasi lembaga keuangan dari melakukan aktivitas sektor riil. Skema jual-beli dan penyewaan akan melanggar batasan regulator tersebut, kecuali jika transaksi jual-beli dan penyewaan itu hanya di atas kertas sedangkan praktiknya adalah sekedar peminjaman uang pada nasabah.

Kerugian lembaga keuangan Islam dari sisi penalti regulator atas risiko pembiayaan bisa dikompensasi dengan return yang lebih besar dari pembiayaan syirkah ini. Mendapatkan ceruk pasar pembiayaan profit-loss sharing sebanding dengan pangsa aset lembaga keuangan Islam yang masih sangat kecil bukanlah  kemustahilan.

Segmen gemuk pasar yang lebih memilih pembayaran tetap (fixed interest) bisa dilayani oleh lembaga keuangan Islam jika regulator telah mengijinkan mereka melakukan aktivitas jual-beli dan penyewaan yang sebenarnya. Kalaupun hal ini tidak pernah terjadi, lembaga keuangan Islam bisa melayani segmen tersebut secara tidak langsung dengan memberikan modal pada produsen dan pedagang untuk menjual secara kredit produk mereka atau menyewakannya pada pelanggan yang tidak ingin membelinya secara tunai.

Jumat, 14 Oktober 2011

Roubini: The Gold Bubble and the Gold Bugs

Profesor ekonomi dari New York University pun bicara tentang bubble emas.

NEW YORK – Gold prices have been rising sharply, breaching the $1,000 barrier and in recent weeks rising towards $1,200 an ounce and above. Today’s “gold bugs” argue that the price could top $2,000. But the recent price surge looks suspiciously like a bubble, with the increase only partly justified by economic fundamentals.
Gold prices rise sharply only in two situations: when inflation is high and rising, gold becomes a hedge against inflation; and when there is a risk of a near depression and investors fear for the security of their bank deposits, gold becomes a safe haven.
The last two years fit this pattern. Gold prices started to rise sharply in the first half of 2008, when emerging markets were overheating, commodity prices were rising, and there was concern about rising inflation in high-growth emerging markets. Even that rise was partly a bubble, which collapsed in the second half of 2008, when – after oil reached $145, killing global growth –the world economy fell into recession. As concerns about deflation replaced fear of inflation, gold prices started to fall with the correction in commodity prices.
The second price spike occurred when Lehman Brothers collapsed, leaving investors scared about the safety of their financial assets – including bank deposits. That scare was contained when the G-7 committed to increase guarantees of bank deposits and to backstop the financial system. With panic subsiding towards the end of 2008, gold prices resumed their downward movement. By that time, with the global economy spinning into near-depression, commercial and industrial gold use, and even luxury demand, took a further dive.
Gold rose above $1,000 again in February-March 2009, when it looked like most of the financial system in the United States and Europe might be near insolvency, and that many governments could not guarantee deposits and backstop the financial system, because banks that were too big to fail were also too big to be saved.
That panic subsided – and gold prices started to drift down again – after US banks were subjected to “stress tests,” America’s Troubled Asset Relief Program further backstopped the financial system by removing bad assets from banks’ balance sheets, and the global economy gradually bottomed out.
So, with no near-term risk of inflation or depression, why have gold prices started to rise sharply again in the last few months?
There are several reasons why gold prices are rising, but they suggest a gradual rise with significant risks of a downward correction, rather than a rapid rise towards $2,000, as today’s gold bugs claim.
First, while we are still in a world of global deflation, large, monetized fiscal deficits are fueling concerns over medium-term inflation. Second, a massive wave of liquidity, via easy monetary policy, is chasing assets, including commodities, which may eventually stoke inflation further. Third, dollar-funded carry trades are pushing the US dollar sharply down, and there is an inverse relation between the value of the dollar and the dollar price of commodities: the lower the dollar, the higher the dollar price of oil, energy, and other commodities – including gold.
Fourth, the global supply of gold – both existing and newly produced – is limited, and demand is rising faster than it can be met. Some of this demand is coming from central banks, such as those of India, China, and South Korea. And some of it is coming from private investors, who are using gold as a hedge against what remain low-probability “tail” risks (high inflation and another near-depression caused by a double-dip recession). Indeed, investors increasingly want to hedge against such risks early on. Given the inelastic supply of gold, even a small shift in the portfolios of central banks and private investors towards gold increases its price significantly.
Finally, sovereign risk is rising – consider the troubles faced by investors in Dubai, Greece, and other emerging markets and advanced economies. This has revived concerns that governments may be unable to backstop a too-big-to-save financial system.
But, since gold has no intrinsic value, there are significant risks of a downward correction. Eventually, central banks will need to exit quantitative easing and zero-interest rates, putting downward pressure on risky assets, including commodities. Or the global recovery may turn out to be fragile and anemic, leading to a rise in bearish sentiment on commodities – and in bullishness about the US dollar.
Another downside risk is that the dollar-funded carry trade may unravel, crashing the global asset bubble that it, together with the wave of monetary liquidity, has caused. And, since the carry trade and the wave of liquidity are causing a global asset bubble, some of gold’s recent rise is also bubble-driven, with herding behavior and “momentum trading” by investors pushing gold higher and higher. But all bubbles eventually burst. The bigger the bubble, the greater the collapse.
The recent rise in gold prices is only partially justified by fundamentals. Nor is it clear why investors should stock up on gold if the global economy dips into recession again and concerns about a near depression and rampant deflation rise sharply. If you truly fear a global economic meltdown, you should stock up on guns, canned food, and other commodities that you can actually use in your log cabin.
Nouriel Roubini is professor of Economics at the Stern School of Business, NYU, and Chairman of Roubini Global Economics(www.roubini.com).

Sabtu, 24 September 2011

Harga Emas Naik, Siapa Untung?

Orang yang punya emas? Dia hanya untung jika menjual emasnya. Akan tetapi pada saat yang sama, dia kehilangan peluang untung dari kenaikan harga berikutnya. Tapi jika dia tidak menjual emasnya, apa gunanya kenaikan harga emas baginya?

Apakah orang yang beli emas saat harga naik? Tentu saja bukan, tidak ada orang yang dikatakan untung ketika membeli di saat harga tinggi, kecuali jika harga naik lagi dan ia menjualnya kembali. Jika ini terjadi, maka kita kembali ke logika paragraf di atas.

Secara neto, masyarakat pemilik emas tidak untung, karena ketika seseorang untung dari menjual emas di harga lebih tinggi, orang lain rugi karena membelinya di harga yang lebih tinggi. Emas hanya berpindah dari satu pemilik ke pemilik yang lain. 

Jika kita mengukur kekayaan masyarakat dari kepemilikan emas, maka tidak ada kenaikan kekayaan masyarakat karena tidak ada pertambahan emas dari jual beli sesama mereka. Kekayaan pemegang emas juga tidak akan berubah jika sumber kenaikan harga emas berasal dari penurunan nilai mata uang yang menjadi patokan perhitungan harganya. Kekayaan pemegang emas emas hanya akan naik jika nilai tukar (term of trade) emas naik terhadap barang dan jasa lain. Faktanya, inilah yang sedang terjadi saat ini, dimana harga emas naik lebih cepat dari barang dan jasa lain. 

Namun ingat, keuntungan dari kenaikan nilai tukar itu tidak akan bisa dinikmati jika emas hanya ditukarkan dengan uang, lalu selesai anda merasa lebih kaya karena memiliki uang lebih banyak. Kenaikan nilai tukar hanya bisa dinikmati ketika emas itu ditukarkan dengan barang dan jasa lain. Tentu saja karena emas saat ini bukan mata uang, anda harus menjual dulu emas itu, lalu baru dibelikan barang dan jasa lain. Percuma anda merasa lebih kaya karena merasa nilai tukar emas yang anda miliki naik, tapi tidak bisa menikmati buah dari kenaikan nilai tukar tersebut karena anda tidak pernah menggunakannya. 

Penikmat keuntungan utama dari kenaikan harga emas adalah produsen emas, yakni perusahaan tambang emas dan negara penghasil emas. Merekalah penerima keuntungan terbesar dari kenaikan harga emas, karena di saat yang sama biaya produksi relatif tetap. Perusahaan tambang emas dan negara penghasil emas untung karena mereka menjual emasnya, bukan karena mereka menyimpannya. 

Seandainya seseorang bisa kaya hanya dari menyimpan emas, tentu tidak perlu ada penambangan emas sama sekali. Pemilik lokasi tambang cukup menyimpan emasnya di dalam tanah, tidak perlu menambangnya keluar dari tanah, bahkan ia bisa hemat ongkos pertambangan. Ia hanya tertawa-tawa melihat adanya kenaikan harga emas di sekelilingnya karena merasa dialah pemilik emas terbanyak.

Anda lihat betapa bodohnya orang seperti ini? Ini adalah karikatur orang yang menyimpan terus emasnya karena mengharapkan kenaikan harga. Dalam komik, karakter yang paling mencerminkan orang seperti ini adalah Paman Gober, yang puas hanya dari mandi uang, tanpa ingin menikmati barang dan jasa yang bisa dibelinya dari uang tersebut.

Jadi siapa yang untung dari kenaikan harga emas, jawabannya adalah orang yang menjual emasnya dan dibelikan dengan barang dan jasa lain. 

Kamis, 22 September 2011

Bukti Emas Bubble (III): Harga Pangan

Apakah harga komoditas kebutuhan hidup naik seiring harga emas? Jawaban pertanyaan ini akan menentukan apakah memang penurunan nilai uang-lah yang menyebabkan kenaikan tajam harga emas sejak 2002. Saya coba mengikuti link yang diberikan saudara Rony Mukhlison dalam komentarnya terhadap posting Bukti Bubble Emas (II). Anehnya, saya tidak menemukan bukti yang mengiyakan pertanyaan di atas.

Di bawah ini, anda bisa melihat grafik harga-harga berapa komoditas pangan pokok di Amerika Serikat yang saya dapatkan dari situs indexmundi yang ditunjukkan oleh saudara Rony.








Tabel di bawah menunjukkan rata-rata kenaikan harga 7 macam komoditas yang grafiknya saya tampilkan di atas. Sebelum 2007, hanya gula, gandum, dan jagung yang mengalami kenaikan harga cukup tinggi mendekati kenaikan harga emas. Gula, gandum dan jagung naik sekitar 9-10% per tahun, sementara emas naik 12% per tahun. Komoditas lain hanya mengalami kenaikan rata-rata kurang dari 5% per tahun.

(Update: pada perhitungan sebelumnya, saya salah memasukkan angka pangkat ketika menghitung rata-rata geometrik periode 2007-2011. Setelah diperbaiki, angka untuk kapas, gandum, jagung, dan ayam menjadi lebih besar. Saya juga tambahkan komoditas emas sebagai pembanding.)


Perhitungan yang keliru:

Perhitungan setelah diperbaiki:


Ketika krisis keuangan mulai berjalan di tahun 2007, kecuali ikan dan gandum, semua komoditas mengalami akselerasi kenaikan harga yang tajam, sekitar dua kali lebih cepat dari semula. Bahkan untuk kapas, kenaikan harga 3,5 kali lebih cepat dari semula.  Kenaikan harga emas juga menjadi dua kali lebih cepat, dari 12% menjadi 24%. Namun jika sebelum 2007, ada tiga komoditas yang kenaikan harganya mendekati emas, sejak 2007 hanya gula yang cukup dekat, yakni 21%. Kenaikan harga komoditas lainnya pasca 2007 masih di bawah 15%, sehingga masih selisih lebih dari 9% dari kenaikan harga emas.

Setelah koreksi perhitungan, kenaikan harga emas masih lebih tinggi daripada kenaikan harga komoditas lain. Memang perbandingan antara emas dan komoditas lain tidak sebesar perkiraan sebelumnya ketika terjadi kekeliruan perhitungan. Tapi kesimpulan umum bahwa harga emas naik jauh lebih cepat dari komoditas lain masih tetap valid.

Kembali lagi, hal ini membuktikan bahwa kenaikan harga emas tidak bisa semata-mata dicari sebabnya dari penurunan nilai uang. Ketika satu barang atau jasa mengalami kenaikan harga jauh lebih cepat dari lainnya, maka kemungkinannya jika tidak ada pelambatan pasokan, pasti ada pergeseran permintaan ke arah komoditas tersebut.

Apa yang menyebabkan pergeseran permintaan ke emas? Dari timing perubahan tren harga emas yang terjadi pasca pecahnya dot com bubble, pelonjakan volume transaksi future emas di waktu yang bersamaan, serta euforia membeli emas yang bisa kita amati dari berita dan kejadian di sekitar kita (sudah saya paparkan di posting-posting sebelumnya), maka saya simpulkan lonjakan permintaan itu datang dari permintaan spekulatif. Dan kenaikan harga dari aktivitas spekulasi selalu hanya menjadi gelembung yang siap pecah sewaktu-waktu.

Selasa, 20 September 2011

Bukti Emas Bubble (II): Inflasi dan Cadangan Emas

Ternyata banyak juga teori konspirasi yang menjelaskan mengapa emas sekarang masih undervalued. Konspirasi hanya bisa dilakukan oleh kartel. Tapi kartel penjual selalu ingin harga tinggi, bukan harga rendah. Hanya kartel pembeli yang ingin harga tetap rendah. 

Faktanya kita tahu, jumlah produsen emas (perusahaan tambang) hanya sedikit, sementara pembelinya jutaan orang di seluruh dunia. Ketahuan kan siapa yang mungkin buat kartel: produsen. Apa yang dilakukan oleh kartel produsen? Membatasi produksi agar harga naik. Teori konspirasi yang logis seharusnya memprediksi harga emas overvalued bukan undervalued. 

Terlepas ada kartel atau tidak, supply emas dari tambang relatif stabil. Karenanya, perubahan tren harga emas dari tahun 2002 cenderung dijelaskan dari sisi permintaan. Bubble tidaknya kenaikan harga emas bergantung apakah kenaikan permintaan didominasi motif fundamental atau spekulatif. Kenaikan harga yang berasal dari peningkatan permintaan spekulatif selalu menjadi gelembung yang siap pecah sewaktu-waktu.

Karenanya, orang yang berpendapat bahwa kenaikan harga emas akan berlangsung lama akan memaparkan bukti-bukti bahwa memang terjadi kenaikan permintaan fundamental. Tapi kembali lagi, masalahnya bukan ada-tidaknya kenaikan permintaan fundamental, tapi apakah motif fundamental itu dominan dalam kenaikan permintaan emas. Selama motif spekulatif dominan, maka overshooting harga akan terjadi. Overshooting yang tidak segera terkoreksi, bahkan semakin jauh meninggalkan harga fundamentalnya inilah yang disebut bubble.

Jumat, 16 September 2011

Bukti Emas Bubble: Dominasi Spekulasi

Banyak cerita yang bisa digunakan untuk rasionalisasi bahwa kenaikan harga emas saat ini akan terus berlangsung, sebagaimana yang ditulis oleh Muhaimin Iqbal, pemilik Gerai Dinar. Cerita semacam ini selalu muncul mengiringi bubble di mana saja dan kapan saja. Ketika harga properti di AS sedang melonjak, banyak pakar dari penasihat keuangan dan properti yang menulis bahwa kenaikan harga properti saat itu fundamental, bukan bubble, dan karenanya akan terus berlangsung. Dan kita tahu bagaimana ujungnya: krisis subprime mortgage yang membawa keruntuhan lembaga keuangan dan perekonomian Amerika dan Eropa.

Di posting sebelumnya, sudah saya tunjukkan bahwa tren kenaikan harga emas baru dimulai tahun 2002, setelah dua dekade sebelumnya mengalami tren menurun. Apa yang menyebabkan perubahan tren ini? Jika kita ikuti peristiwa yang terjadi sebelumnya adalah kejatuhan harga-harga saham di AS di tahun 2001. Kejatuhan ini disebabkan oleh pecahnya bubble dot com, yakni bubble harga saham perusahaan IT dan berbasis internet.
Index Komposit NASDAQ

Gelembung Harga Emas

Siapa yang tidak tergiur untuk "investasi" emas, jika harganya terus mengalami kenaikan rata-rata 18% per tahun sepanjang periode 2002-2010. Tahun ini kenaikannya jauh lebih spektakuler, hingga 15 September 2011 ini harga sudah naik 50% dibanding rata-rata tahun 2010.

Namun justru di sinilah letak bahayanya. Semakin tinggi pohon yang dinaiki, semakin sakit ketika terjatuh. Semakin tinggi harga emas dan semakin banyak orang yang ikut membeli, maka akan semakin banyak korban ketika harga emas jatuh dan semakin besar kemungkinan krisis mengikuti.




Apa iya harga emas bisa jatuh, bukankah sudah 10 tahun emas mengalami kenaikan harga terus-menerus? Kalau kita tarik horizon kita lebih jauh lagi ke belakang, harga emas pernah mengalami tren menurun dari tahun 1980 ketika harga masih $613 hingga mencapai titik terbawah di tahun 2001 seharga $272. Kejatuhan terbesar harga emas terjadi pada tahun 1981, turun 25%, setelah tahun sebelumnya naik spektakuler 99%.

Senin, 05 September 2011

Obat Krisis Bukan Kebijakan Moneter, tapi Kebijakan Pembiayaan

Dalam sejarah ekonomi, penurunan nilai mata uang (currency debasement) oleh negara merupakan salah satu penyebab krisis, bukan penyembuh. Ironisnya di masa ini, sebagian besar ekonom percaya bahwa penurunan nilai mata uang adalah salah satu jalan keluar dari resesi. Penurunan nilai mata uang ini dikenal sebagai kebijakan moneter ekspansif, atau kebijakan uang longgar (easy money).

Mayoritas ekonom lebih mempercayai efektivitas kebijakan moneter dalam meredakan siklus ekonomi daripada kebijakan fiskal. Kebijakan fiskal ekspansif berupa defisit menjadi tidak efektif karena kenaikan permintaan utang akibat baru pemerintah akan mendorong tingkat bunga naik dan mengurangi investasi, biasa dikenal sebagai efek mendesak keluar (crowding out). Sementara kebijakan moneter longgar justru berdampak menurunkan tingkat bunga sehingga menarik lebih banyak konsumsi dan investasi.

Namun di saat resesi besar seperti yang dialami Amerika Serikat sejak 2008 hingga sekarang, atau yang dialami Indonesia sejak tahun 1997 hingga sekarang, kebijakan moneter longgar tidak mampu mendorong ekonomi karena sistem intermediasi mengalami kemacetan bukan hanya dari sisi pasokan tapi juga permintaan. Dari sisi pasokan, keruntuhan lembaga keuangan membuat mereka mengurangi penyaluran kredit. Kondisi ekonomi lesu juga mengurangi permintaan kredit untuk investasi maupun konsumsi.

Dalam situasi seperti ini, kebijakan fiskal lebih efektif untuk mendorong perekonomian. Belanja pemerintah bisa ditingkatkan untuk mengkompensasi penurunan belanja rumah tangga dan perusahaan. Crowding out cenderung tidak terjadi di situasi seperti ini karena dana yang masuk ke pemerintah adalah dana yang cari aman, bukan dana yang cari imbalan tertinggi. Kesuksesan pemerintah menghindari crowding out bergantung pada reputasi kreditnya. Jika investor mempersepsi utang pemerintah tidak lebih aman dari utang swasta, maka crowding out tetap akan terjadi.

Jika resesi yang melanda perekonomian masih berskala ringan, maka mayoritas ekonom lebih menganjurkan penggunaan kebijakan moneter ekspansif. Di sinilah titik tembak kritik saya.  Kebijakan moneter ekspansif berkonsekuensi penurunan nilai mata uang. Padahal saya ungkapkan di awal bahwa dalam sejarah penurunan nilai mata uang senantiasa terkait dengan masalah ekonomi, khususnya inflasi.

Argumen pendukung kebijakan moneter adalah bahwa peningkatan jumlah uang beredar akan mendorong tingkat bunga turun sehingga memberi insentif masyarakat untuk mengambil kredit baik untuk konsumsi maupun investasi. Peningkatan inflasi akibat terlalu banyak uang beredar justru dapat menjadi alat untuk untuk mendorong rumah tangga dan perusahaan membelanjakan uangnya. Resesi dalam perekonomian cenderung dibarengi dengan deflasi, sehingga inflasi justru merupakan indikator pemulihan ekonomi.

Jika yang diinginkan adalah penurunan biaya kredit, maka ada alternatif yang lebih cepat memangkas biaya kredit, yakni larang pemungutan bunga atas kredit sama sekali. Orang yang masih membutuhkan pinjaman dapat memperolehnya dengan dua cara. Jika kebutuhan pinjaman untuk produktif, maka pengusaha dapat memperoleh dana dengan menjual sebagian saham kepemilikan perusahaannya pada investor. Jika pinjaman dimotivasi kebutuhan konsumtif, maka orang bisa mendapatkannya tanpa bunga dari keluarga, tetangga, rekanan, dan lembaga sosial.

Pelarangan bunga tidak hanya relevan dalam masa krisis, namun urgensinya semakin terasa di saat krisis. Situasi ekonomi lesu membuat bisnis malas mengambil utang karena jika bisnisnya gagal ia masih harus mengembalikan pokok utang plus membayar bunga. Dalam situasi resesi, bisnis perlu didorong untuk bangkit dengan memberikan pembiayaan yang relatif bebas risiko berupa penyertaan modal.

Solusi ini menghadapi masalah jika investor terlalu takut untuk mengambil risiko dengan menanam modal, bukannya memberikan pinjaman. Apalagi, situasi krisis semakin menurunkan kepercayaan investor bahwa bisnis tersebut dapat mencetak cukup keuntungan. Interaksi antara permintaan dan penawaran modal akan menghasilkan tingkat harga saham yang membawa keduanya pada keseimbangan. Investor akan lebih untung untuk berinvestasi di saat resesi karena harga saham cenderung lebih rendah. Keuntungannya akan meningkat ketika perekonomian pulih karena tingkat imbal investasinya lebih tinggi.

Dengan cara ini, upaya pemulihan resesi tidak perlu lagi melibatkan penurunan nilai mata uang yang merugikan masyarakat berpendapatan tetap. Peningkatan jumlah uang beredar belum tentu tersalurkan ke sektor riil, sebaliknya seringkali justru dimanfaatkan untuk berspekulasi yang dapat ditengarai dari penggelembungan harga aset dan komoditas. Penggelembungan ini sendiri berpotensi untuk menjadi pemicu krisis berikutnya.

Selasa, 23 Agustus 2011

Wanita di Antara Pekerjaan dan Rumah Tangga

Apa yang menyebabkan tren penundaan pernikahan di masyarakat? Artikel di the Economist menyebukan bahwa negara-negara Asia yang ekonominya tumbuh pesat, semakin banyak wanita menunda menikah karena mereka lebih mementingkan bekerja. Kalau di Indonesia, sebab utama penundaan menikah bukan pekerjaan, tapi sekolah/kuliah. Baik yang bersangkutan maupun orang tuanya biasanya menolak atau tidak memikirkan untuk nikah sebelum selesai sekolah/kuliah karena sekali nikah dan punya anak, akan lebih sulit untuk melanjutkan sekolah. Makanya kalau zaman dulu orang Jawa menikah di usia belasan tahun, sekarang orang baru menikah di usia 20-30an.

Pria Indonesia cenderung menunda menikah hingga punya penghidupan yang mencukupi untuk menghidupi keluarganya, atau paling tidak punya prospek untuk itu. Penundaan ini berdampak ke wanitanya yang juga tertunda menikah, akhirnya memilih bekerja untuk mengisi waktu. Polanya mungkin memang berbeda dengan wanita di barat yang justru memilih bekerja karena mereka tidak mau bergantung pada pria setelah menikah, sehingga mereka juga punya daya tawar saat bercerai. Untuk Indonesia yang tingkat perceraian masih relatif rendah, kebutuhan wanita untuk membangun kemandirian memang tidak sebesar di barat.

Selain faktor kesejahteraan, faktor yang cukup signifikan dalam keputusan wanita meneruskan pendidikan dan bekerja adalah peningkatan status. Wanita yang berpendidikan rendah dan berstatus ibu rumah tangga cenderung merasa lebih rendah ketika bersama wanita lain yang berpendidikan tinggi dan bekerja. Di Indonesia, mungkin pekerjaan belum terlalu dituntut dari wanita sebagaimana pendidikan. Tapi ketika pendidikan semakin tinggi, opportunity cost dari tidak bekerja juga lebih tinggi. Bukan hanya potensi pendapatan yang bisa diraih dari bekerja, tapi juga biaya dan effort pendidikan yang selama ini ditempuhnya menjadi tidak terkompensasi jika tidak digunakan untuk pekerjaan yang relevan.

Pekerjaan ibu rumah tangga dianggap sebagai pekerjaan yang tidak butuh pendidikan tinggi, cukup di-outsource pada orang lain yang berpendidikan rendah SD-SMP. Padahal sebenarnya pekerjaan ibu rumah tangga bukan sekedar teknis dapur-sumur-kasur, tapi juga tugas yang butuh keahlian dan intelektualitas seperti manajemen keuangan keluarga (wealth management), pendidikan anak dan remaja (childhood and youth education). Konsultan wealth management dibayar mahal untuk melakukan pekerjaannya. Pendidikan massal di sekolah tidak bisa menggantikan bimbingan individual orang tua.

Pengurangan intensitas bimbingan individual karena kedua orang tua sibuk bekerja mengurangi perkembangan potensi anak. Namun intensitas tinggi bimbingan juga akan kurang berarti jika orang tua yang menjadi pembimbing tidak punya cukup skill untuk itu. Mungkin perlu diadakan pendidikan tinggi S1-S3 Jurusan Ibu Rumah Tangga yang mempelajari pengetahuan dan keahlian yang diperlukan untuk melakukan pekerjaan ibu rumah tangga dengan baik.

Minggu, 20 Februari 2011

Keuangan Islam: Maju atau Mundur?

Evaluasi perkembangan keuangan Islam bisa diukur dari sisi kuantitas dan kualitas. Dari sisi kuantitas jelas terjadi kemajuan dengan pertumbuhan tinggi aset. Namun bagaimana dengan kualitas kepatuhan syariahnya?
Jika kita cermati ide awal keuangan Islam adalah keuangan yang berbasis bagi laba dan rugi. Namun pada praktiknya, pembiayaan berbasis bagi laba-rugi ini kalah dominan dibandingkan pembiayaan berimbalan tetap berbasis utang dan jual-beli.

Di Indonesia, statistik porsi pembiayaan bagi hasil bank syariah cenderung meningkat sepanjang waktu. Padahal kenyataannya, bank syariah hanya melakukan channeling/executing dana ke BMT dengan akad mudharabah, namun terdapat syarat bahwa penyaluran dana tersebut hanya boleh menggunakan akad murabahah. Jadi sebenarnya apa yang terjadi pada keuangan Islam di Indonesia tidak berbeda dengan negara lainnya, yakni murabahah menjadi akad dominan dan porsi mudharabah/musyarakah tidak signifikan.

Senin, 07 Februari 2011

Perlukah Utang untuk Beli Motor, Mobil, Rumah, dll?

Pada prinsipnya, seorang muslim seharusnya menghindari utang kecuali jika ada kebutuhan mendesak. Sebaliknya, seorang muslim sangat dianjurkan memberikan utang juga dalam rangka memenuhi kebutuhan mendesak saudaranya itu.

Namun kini banyak muslim yang terbawa arus konsumtif masyarakat Barat yang suka membeli sesuatu yang bukan kebutuhan mendesak dengan cara berutang. Cobalah evaluasi secara jujur, apakah betul-betul sudah tidak ada alternatif lain sehingga kita perlu berutang untuk membeli sepeda motor, mobil, rumah, atau lainnya?


Jika memang belum punya uang cukup untuk beli mobil, cukuplah beli sepeda motor dulu. Kalau masih belum mampu beli sepeda motor, bisa beli sepeda onthel. Kalau jaraknya terlalu jauh untuk ditempuh dengan sepeda onthel, kita masih bisa naik angkutan umum baik bis, KRL, ojek, bajaj, maupun becak.

Kalau belum punya cukup uang untuk beli rumah, bisa ngontrak dulu. Uang tabungan untuk beli rumah biar tidak tergerus inflasi bisa diinvestasikan dulu. Kalau mau dihitung benar-benar, secara finansial jauh lebih menguntungkan kontrak rumah sembari investasikan tabungan di sektor riil.

Kalau ngontrak rumah pun ga mampu, bisa ngekost 1 kamar dulu. Kasihan dengan keluarga jika hanya tinggal di 1 kamar, sementara keluarga titip di mertua dulu.

Jika kita bertekad kuat untuk menghindari utang dan hidup sesuai dengan kemampuan, insya Alloh selalu ada cara lain. Kecuali jika sudah terkait kebutuhan hidup yang dasar, barulah kita perlu menahan malu untuk berutang. Ironinya kini, orang justru bangga jika bisa berutang di bank dan semakin kaya orangnya justru semakin banyak utangnya. Orang kaya banyak ditawari kredit, orang miskin justru sulit dapat utangan.

Selasa, 11 Januari 2011

Beda Riba dengan Jual Beli

Hubungan bay' (jual beli) dengan ijarah sebagaimana hubungan riba fadhl dengan riba naasi'ah. Dalam bay' dan riba fadhl, kepemilikan barang/uang penjual diserahkan pada pembeli dengan harga yang melebihi pokok modal. Sementara pada ijarah dan riba naasi'ah, barang/uang itu dipinjamkan (pokok kembali) dengan imbalan (tambahan atas pokok).

Jika jual beli dan riba sama-sama pertukaran/peminjaman dengan tambahan/imbalan, lalu apa beda jual beli dan riba? Apa benar bedanya cuma di akad?


Makanya saya tidak setuju dengan pernyataan beda bunga (riba) dengan murabahah (jual beli) hanya pada akad saja, praktiknya sama-sama bank kasih uang lalu nasabah mengembalikan lebih banyak. Lalu diumpamakan kasus nikah dan zina, bahwa beda keduanya hanya pada akad, intinya sama yakni hubungan seksual.

Nikah dan zina bedanya bukan cuma di akad. Perbedaan nikah dan zina seperti perbedaan bumi dan langit.

Nikah bukan cuma kebebasan beraktivitas seksual, namun mencakup tanggung jawab dunia dan akhirat. Tanggung jawab dunia memberikan nafkah pada istri dan anak, memelihara dan mendidik anak agar mampu survive di dunia. Tanggung jawab akhirat memelihara keluarga dari api neraka. Sementara zina cuma satu aspek saja: kesenangan seksual.

Kalau beda nikah dan zina cuma akad, gampang aja datang ke pelacuran lalu melangsungkan akad nikah, tukang parkir jadi saksi pun jadi. Kalau pelacurnya sudah janda, tidak perlu ada wali. Bahkan kalau mau cari-cari pendapat fiqh yang memudahkan, ada juga yang membolehkan wanita dewasa menikah tanpa wali.

Sama juga untuk kasus jual beli dan riba, kesamaan keduanya adalah pertukaran serta ada tambahan/keuntungan untuk penjual. Dalam riba, uang yang didapat lebih dari uang yang diberikan. Dalam jual beli, uang yang didapat lebih dari uang modal.

Tapi perbedaan keduanya bukan cuma pada akad. Perbedaan riba dan jual beli seperti perbedaan bumi dan langit!

Dalam jual beli, penjual bukan cuma memberi barang dagangan (pokok modalnya), tapi juga memberikan manfaat tambahan seperti manfaat lokasi (tidak perlu pergi jauh beli ke produsen), dan juga menanggung risiko atas barang dagangan dari pemasok hingga diserahkan ke pembeli. Orang yang menyewakan barang juga masih menanggung risiko dan pemeliharaan barang yang disewakan. Manfaat tambahan dan penanggungan risiko itulah yang patut diberi imbalan dengan keuntungan.

Sementara dalam pinjaman dan pertukaran uang, tidak ada tambahan manfaat dan tanggungan risiko atas uang pokoknya. Karenanya, orang tidak berhak mendapatkan imbalan dari meminjamkan dan menukarkan uang.

LKS juga bisa mengambil pelajaran dari sini, bahwa perbedaan antara produk mereka dengan produk konvensional semestinya bukan cuma di akad. LKS harus memberikan manfaat dan menanggung risiko agar berhak mendapatkan imbalan. Jika unsur manfaat dan risiko itu tidak terdapat dalam praktik murabahah maupun mudharabah/musyarakah, maka LKS tidak berhak menarik keuntungan.

Sabtu, 08 Januari 2011

Cara Menetapkan Marjin Murabahah

Hingga saat ini, sebagian besar pembiayaan di lembaga keuangan syariah menggunakan basis akad murabahah, yakni penjualan yang menerangkan harga pokok dan marjin yang diambil. Sebenarnya, jika ditinjau dari sisi kredit yang diberikan, istilah yang lebih tepat adalah bay' bi tsaman 'ajil (penjualan angsuran). Penggunaan istilah murabahah menekankan pengambilan marjin oleh LKS di atas harga beli dari pemasok.

Praktik perhitungan marjin saat ini masih menggunakan pola perhitungan bunga dalam kredit konvensional. Besar marjin ditetapkan selain berdasarkan modal yang digunakan juga berdasarkan jangka waktu dan metode pelunasan. Sebagai dasar perhitungan, LKS telah menetapkan tingkat ekuivalen marjin efektif per tahun. Cara perhitungan seperti ini mengimpor dari metode perhitungan bunga nominal dan bunga efektif dalam keuangan konvensional.

Sebenarnya, metode ini tidak tepat diterapkan dalam pembiayaan Islam berbasis akad utang seperti pembiayaan murabahah. Hal ini karena hukum Islam melarang penambahan dan pengurangan total pembayaran utang, kecuali atas inisiatif dan kesukarelaan pihak yang terkena beban. Sekali harga disepakati, maka realisasi cara pembayaran tidak dapat mempengaruhi total nilai pembayaran.

Lalu bagaimana seharusnya cara LKS menghitung marjin untuk pembiayaan murabahah ini? LKS semestinya tidak perlu memperhitungkan jangka waktu pelunasan dalam menetapkan marjin. Jadi cukup satu harga untuk satu item barang yang djual, tanpa melihat berapa lama masa pelunasan.


Kamis, 06 Januari 2011

Koreksi Paradigma Investasi

Anda saat ini punya tabungan uang, bisa di celengan maupun di bank. Anda merasa bahwa tabungan itu sudah lebih dari cukup untuk berjaga-jaga dari keperluan konsumtif non rutin dalam waktu dekat. Sebenarnya masih ada keperluan konsumtif lain di masa depan, tapi masih butuh waktu lama untuk mengumpulkan tabungan hingga mampu membelinya, seperti keperluan naik haji dan beli rumah.

Anda pun berpikir bahwa sayang jika uang di tabungan dibiarkan menganggur. Apalagi anda tahu bahwa harga-harga cenderung terus naik tiap waktu, sehingga semakin lama semakin sedikit barang yang bisa dibeli oleh uang di tabungan itu.

Maka anda mulai mempertimbangkan untuk menginvestasikan uang anda. Tentu saja anda tahu bahwa ketika diinvestasikan, maka uang itu tidak lagi tersedia sewaktu-waktu ketika dibutuhkan. Benarkah seperti itu? Tidak juga, karena ada pilihan investasi yang likuid, dimana anda bisa mendapatkan kembali uang anda sewaktu-waktu. Contoh investasi yang likuid ini adalah deposito, saham, obligasi, dan emas. Jika uang dibelikan tanah atau dijadikan modal usaha, maka anda akan sulit mendapatkan kembali uang anda sewaktu-waktu. Demikian biasanya yang diajarkan dalam perencanaan keuangan keluarga.

Dihadapkan pada pilihan ini, sebagian besar orang yang hanya memiliki tabungan pas-pasan cenderung tidak memilih investasi yang tidak likuid. Dalam membeli investasi yang likuid, orang berusaha agar pokok uang yang diinvestasikan bisa kembali minimal utuh, dan harapannya ada kelebihan baik dari pembagian keuntungan, bunga, maupun kenaikan harga.

Pola pikir di atas keliru dalam memandang hakikat investasi.Investasi sebenarnya adalah membelanjakan uang menjadi barang, sama dengan konsumsi. Perbedaan investasi dengan konsumsi adalah barang yang dibeli diharapkan akan mendatangkan uang lagi dalam bentuk keuntungan usaha. Karenanya, keliru jika mengharapkan uang yang diinvestasikan bisa diambil sewaktu-waktu untuk konsumsi.