Senin, 07 September 2009

Stop Bagi Hasil Sumber Daya Alam

Publik memiliki opini sangat kuat bahwa pihak asing telah mengeruk keuntungan besar dari sumber daya alam Indonesia, dari emas kuning sampai "emas hitam". SBY berbangga diri karena berhasil meningkatkan bagian pemerintah dari sumber daya alam. Namun ada yang tidak disebutkan, bahwa bersamaan dengan peningkatan bagian pemerintah, pemerintah ikut menanggung sebagian biaya eksploitasi SDA tersebut. Jadi penerimaan bersih pemerintah dari SDA tidak akan jauh berbeda dari sebelumnya.

Kesalahan sebenarnya terletak pada penggunaan sistem bagi hasil dalam kontrak karya dengan para penambang. Pendapatan pemerintah akan jauh lebih besar jika kontrak menggunakan sistem sewa jasa dan atau peralatan, di mana perusahaan penambang hanya menerima fee untuk jasa keahlian penambangan dan sewa fasilitas yang mereka bangun.

Pemerintah dapat memilih penambang yang menawarkan biaya termurah, produksi terbesar, dan pengelolaan lingkungan terbaik. Kontrak sewa ini bisa diakhiri dengan opsi pembelian fasilitas penambangan tersebut. Lebih jauh, kontrak dengan perusahaan asing bisa mensyaratkan transfer teknologi dan penggunaan tenaga ahli dalam negeri. Dengan demikian, setelah kontrak berakhir pemerintah bisa menjalankan sendiri fasilitas penambangan tersebut dan membangun baru di lokasi tambang lain.

Rabu, 02 September 2009

Kemiripan Industri Farmasi dan Rokok

Faisal Basri menilai aneh Peraturan Menteri Keuangan Nomor 104/PMK.03/2009 tentang BIAYA PROMOSI DAN PENJUALAN YANG DAPAT DIKURANGKAN DARI PENGHASILAN BRUTO, yang diterapkan khusus pada industri rokok dan farmasi. Ia menilai bahwa industri rokok sebagai produsen bads pantas mendapat disinsentif untuk aktivitas promosinya, tetapi tidak demikian halnya dengan industri farmasi yang menghasilkan goods.

Menurut saya, perusahaan farmasi memang pantas dikenai aturan tersebut. Perusahaan farmasi juga bisa terlalu jor-joran dalam promosi yang tidak memberi manfaat buat konsumen.

Perusahaan farmasi menghasilkan produk obat dan non-obat. Produk non obat seperti minuman suplemen. Produk obat ada yang dijual bebas dan ada yang harus dengan resep dokter.

Promosi jor-joran produk farmasi yang dijual bebas kita dapati di media massa. Dan jangan dikira produk farmasi ini tidak berbahaya ketika dikonsumsi berlebihan. Sehingga promo produk seperti ini juga patut dikekang.

Sementara promosi produk yang tidak dijual bebas walau tidak diketahui publik, namun lumayan jor-joran juga, biasanya untuk memberi insentif pada dokter pemberi resep. Model promo seperti ini pun perlu dikekang.

Konsumen hanya butuh promo yang informatif, bukan yang memanipulasi apalagi merugikan mereka. Regulasi apapun yang bisa mengendalikan promo jenis kedua perlu kita dukung.