Selasa, 02 Juni 2009

Dilema Bail Out Bank

Sistem perbankan cadangan parsial mengandung risiko inheren untuk terkena krisis. Tiap kali ada bank bangkrut, negara harus merugi untuk menalangi bank membayar penabung. Krisis perbankan tahun 1997 membebani negara dengan kerugian 400-an triliun. Kini kita punya Bank Century.

Tidak ada industri yang kerugiannya ditalangi oleh negara kecuali perbankan. Alasan yang sering dikemukakan adalah penyelamatan perbankan ini perlu untuk mencegah krisis lebih luas. Benarkah krisis akan semakin parah jika bank tidak diselamatkan?

Milton Friedman mengungkapkan bahwa sebelum adanya bank sentral (Federal Reserve Bank) telah sering terjadi krisis perbankan di AS. Namun, perbankan dan perekonomian selalu dapat bangkit kembali walau tidak ada bantuan dari pemerintah AS ke perbankan.

Memang, pada tahun 1997 tutupnya dan atau penutupan 16 bank telah mengakibatkan penarikan dana besar-besaran di seluruh bank. Jika masalah ini dibiarkan, bank akan tutup dan tidak mampu menyalurkan kredit yang mendukung produksi maupun konsumsi.

Ringkasnya, tutupnya bank membawa masalah kemandekan ekonomi. Sementara mempertahankan bank-bank tersebut juga membawa masalah yakni membebankan kerugian pada anggaran negara. Ekonom di pemerintahan memastikan bahwa masalah pertama jauh lebih besar daripada masalah kedua. Kerugian yang ditanggung negara merupakan biaya yang harus ditanggung untuk mencegah krisis.

Loh, bank yang buat masalah kok negara yang nanggung ruginya? Ganjalan di hati ini bukan sekedar emosional. Memang ada yang keliru.

Kelirunya di desain produk tabungan perbankan. Bank menjamin 100 persen dana nasabah, plus bunganya, aman dan bisa diambil sewaktu-waktu. Padahal, hanya sekian persen dari dana tersebut yang disimpan bank, sebagian besar disalurkan ke kredit yang berisiko. Kalau nilai kredit macet melebihi modal bank, pastilah dana nasabah ikut tertahan. Inilah kekeliruan pertama, bank menjanjikan keamanan dan keutuhan dana, padahal tidak selamanya dapat ia sanggupi.

Bank dan pemerintah tahu bahwa bank tidak benar-benar bisa menjamin 100 persen dana tabungan. Nasabah pun sekarang sudah banyak yang tahu fakta ini. Untuk mencegah nasabah yang tahu ini menarik tabungan, ganti pemerintah yang menjadi penjamin dana tabungan, lewat lembaga penjamin simpanan (LPS). Inilah kekeliruan kedua, pemerintah mmenjamin uang yang tidak ia kelola, bank yang pegang uang justru lepas tanggung jawab.

Kekeliruan kedua dilandasi tekad untuk mencegah krisis akibat kekeliruan pertama. Karenanya, kekeliruan pertama inilah yang sebenarnya perlu dibenahi.

Tidak sepantasnya bank menjanjikan sesuatu yang tidak mampu ia pegang. Bank tidak perlu menjamin keutuhan dana nasabah.

Nasabah harus sadar bahwa tidak ada tempat menyimpan uang yang aman 100%. Uang nasabah di rumah bisa hilang, bisa dirampok, ikut ludes dalam kebakaran, dll. Uang di bank selain juga bisa hilang karena faktor yang sama, juga bisa hilang karena risiko penyaluran ke kredit.

Nasabah tahu uangnya disalurkan menjadi kredit, kalau tidak darimana bank bisa dapat uang untuk membayar bunga/bagi hasil. Kalau sudah tahu, mestinya mereka juga bisa menerima jika uangnya tidak bisa diambil sewaktu-waktu dan bisa tidak kembali utuh kalau terjadi kerugian.

Kalau nasabah penabung ditawari perjanjian yang realistis, yang benar-benar bisa dipenuhi bank, maka bank tidak perlu repot untuk mencari talangan uang untuk mengembalikan dana nasabah. Pemerintah juga tidak perlu lagi membantu menalangi bank.