Sabtu, 24 September 2011

Harga Emas Naik, Siapa Untung?

Orang yang punya emas? Dia hanya untung jika menjual emasnya. Akan tetapi pada saat yang sama, dia kehilangan peluang untung dari kenaikan harga berikutnya. Tapi jika dia tidak menjual emasnya, apa gunanya kenaikan harga emas baginya?

Apakah orang yang beli emas saat harga naik? Tentu saja bukan, tidak ada orang yang dikatakan untung ketika membeli di saat harga tinggi, kecuali jika harga naik lagi dan ia menjualnya kembali. Jika ini terjadi, maka kita kembali ke logika paragraf di atas.

Secara neto, masyarakat pemilik emas tidak untung, karena ketika seseorang untung dari menjual emas di harga lebih tinggi, orang lain rugi karena membelinya di harga yang lebih tinggi. Emas hanya berpindah dari satu pemilik ke pemilik yang lain. 

Jika kita mengukur kekayaan masyarakat dari kepemilikan emas, maka tidak ada kenaikan kekayaan masyarakat karena tidak ada pertambahan emas dari jual beli sesama mereka. Kekayaan pemegang emas juga tidak akan berubah jika sumber kenaikan harga emas berasal dari penurunan nilai mata uang yang menjadi patokan perhitungan harganya. Kekayaan pemegang emas emas hanya akan naik jika nilai tukar (term of trade) emas naik terhadap barang dan jasa lain. Faktanya, inilah yang sedang terjadi saat ini, dimana harga emas naik lebih cepat dari barang dan jasa lain. 

Namun ingat, keuntungan dari kenaikan nilai tukar itu tidak akan bisa dinikmati jika emas hanya ditukarkan dengan uang, lalu selesai anda merasa lebih kaya karena memiliki uang lebih banyak. Kenaikan nilai tukar hanya bisa dinikmati ketika emas itu ditukarkan dengan barang dan jasa lain. Tentu saja karena emas saat ini bukan mata uang, anda harus menjual dulu emas itu, lalu baru dibelikan barang dan jasa lain. Percuma anda merasa lebih kaya karena merasa nilai tukar emas yang anda miliki naik, tapi tidak bisa menikmati buah dari kenaikan nilai tukar tersebut karena anda tidak pernah menggunakannya. 

Penikmat keuntungan utama dari kenaikan harga emas adalah produsen emas, yakni perusahaan tambang emas dan negara penghasil emas. Merekalah penerima keuntungan terbesar dari kenaikan harga emas, karena di saat yang sama biaya produksi relatif tetap. Perusahaan tambang emas dan negara penghasil emas untung karena mereka menjual emasnya, bukan karena mereka menyimpannya. 

Seandainya seseorang bisa kaya hanya dari menyimpan emas, tentu tidak perlu ada penambangan emas sama sekali. Pemilik lokasi tambang cukup menyimpan emasnya di dalam tanah, tidak perlu menambangnya keluar dari tanah, bahkan ia bisa hemat ongkos pertambangan. Ia hanya tertawa-tawa melihat adanya kenaikan harga emas di sekelilingnya karena merasa dialah pemilik emas terbanyak.

Anda lihat betapa bodohnya orang seperti ini? Ini adalah karikatur orang yang menyimpan terus emasnya karena mengharapkan kenaikan harga. Dalam komik, karakter yang paling mencerminkan orang seperti ini adalah Paman Gober, yang puas hanya dari mandi uang, tanpa ingin menikmati barang dan jasa yang bisa dibelinya dari uang tersebut.

Jadi siapa yang untung dari kenaikan harga emas, jawabannya adalah orang yang menjual emasnya dan dibelikan dengan barang dan jasa lain. 

Kamis, 22 September 2011

Bukti Emas Bubble (III): Harga Pangan

Apakah harga komoditas kebutuhan hidup naik seiring harga emas? Jawaban pertanyaan ini akan menentukan apakah memang penurunan nilai uang-lah yang menyebabkan kenaikan tajam harga emas sejak 2002. Saya coba mengikuti link yang diberikan saudara Rony Mukhlison dalam komentarnya terhadap posting Bukti Bubble Emas (II). Anehnya, saya tidak menemukan bukti yang mengiyakan pertanyaan di atas.

Di bawah ini, anda bisa melihat grafik harga-harga berapa komoditas pangan pokok di Amerika Serikat yang saya dapatkan dari situs indexmundi yang ditunjukkan oleh saudara Rony.








Tabel di bawah menunjukkan rata-rata kenaikan harga 7 macam komoditas yang grafiknya saya tampilkan di atas. Sebelum 2007, hanya gula, gandum, dan jagung yang mengalami kenaikan harga cukup tinggi mendekati kenaikan harga emas. Gula, gandum dan jagung naik sekitar 9-10% per tahun, sementara emas naik 12% per tahun. Komoditas lain hanya mengalami kenaikan rata-rata kurang dari 5% per tahun.

(Update: pada perhitungan sebelumnya, saya salah memasukkan angka pangkat ketika menghitung rata-rata geometrik periode 2007-2011. Setelah diperbaiki, angka untuk kapas, gandum, jagung, dan ayam menjadi lebih besar. Saya juga tambahkan komoditas emas sebagai pembanding.)


Perhitungan yang keliru:

Perhitungan setelah diperbaiki:


Ketika krisis keuangan mulai berjalan di tahun 2007, kecuali ikan dan gandum, semua komoditas mengalami akselerasi kenaikan harga yang tajam, sekitar dua kali lebih cepat dari semula. Bahkan untuk kapas, kenaikan harga 3,5 kali lebih cepat dari semula.  Kenaikan harga emas juga menjadi dua kali lebih cepat, dari 12% menjadi 24%. Namun jika sebelum 2007, ada tiga komoditas yang kenaikan harganya mendekati emas, sejak 2007 hanya gula yang cukup dekat, yakni 21%. Kenaikan harga komoditas lainnya pasca 2007 masih di bawah 15%, sehingga masih selisih lebih dari 9% dari kenaikan harga emas.

Setelah koreksi perhitungan, kenaikan harga emas masih lebih tinggi daripada kenaikan harga komoditas lain. Memang perbandingan antara emas dan komoditas lain tidak sebesar perkiraan sebelumnya ketika terjadi kekeliruan perhitungan. Tapi kesimpulan umum bahwa harga emas naik jauh lebih cepat dari komoditas lain masih tetap valid.

Kembali lagi, hal ini membuktikan bahwa kenaikan harga emas tidak bisa semata-mata dicari sebabnya dari penurunan nilai uang. Ketika satu barang atau jasa mengalami kenaikan harga jauh lebih cepat dari lainnya, maka kemungkinannya jika tidak ada pelambatan pasokan, pasti ada pergeseran permintaan ke arah komoditas tersebut.

Apa yang menyebabkan pergeseran permintaan ke emas? Dari timing perubahan tren harga emas yang terjadi pasca pecahnya dot com bubble, pelonjakan volume transaksi future emas di waktu yang bersamaan, serta euforia membeli emas yang bisa kita amati dari berita dan kejadian di sekitar kita (sudah saya paparkan di posting-posting sebelumnya), maka saya simpulkan lonjakan permintaan itu datang dari permintaan spekulatif. Dan kenaikan harga dari aktivitas spekulasi selalu hanya menjadi gelembung yang siap pecah sewaktu-waktu.

Selasa, 20 September 2011

Bukti Emas Bubble (II): Inflasi dan Cadangan Emas

Ternyata banyak juga teori konspirasi yang menjelaskan mengapa emas sekarang masih undervalued. Konspirasi hanya bisa dilakukan oleh kartel. Tapi kartel penjual selalu ingin harga tinggi, bukan harga rendah. Hanya kartel pembeli yang ingin harga tetap rendah. 

Faktanya kita tahu, jumlah produsen emas (perusahaan tambang) hanya sedikit, sementara pembelinya jutaan orang di seluruh dunia. Ketahuan kan siapa yang mungkin buat kartel: produsen. Apa yang dilakukan oleh kartel produsen? Membatasi produksi agar harga naik. Teori konspirasi yang logis seharusnya memprediksi harga emas overvalued bukan undervalued. 

Terlepas ada kartel atau tidak, supply emas dari tambang relatif stabil. Karenanya, perubahan tren harga emas dari tahun 2002 cenderung dijelaskan dari sisi permintaan. Bubble tidaknya kenaikan harga emas bergantung apakah kenaikan permintaan didominasi motif fundamental atau spekulatif. Kenaikan harga yang berasal dari peningkatan permintaan spekulatif selalu menjadi gelembung yang siap pecah sewaktu-waktu.

Karenanya, orang yang berpendapat bahwa kenaikan harga emas akan berlangsung lama akan memaparkan bukti-bukti bahwa memang terjadi kenaikan permintaan fundamental. Tapi kembali lagi, masalahnya bukan ada-tidaknya kenaikan permintaan fundamental, tapi apakah motif fundamental itu dominan dalam kenaikan permintaan emas. Selama motif spekulatif dominan, maka overshooting harga akan terjadi. Overshooting yang tidak segera terkoreksi, bahkan semakin jauh meninggalkan harga fundamentalnya inilah yang disebut bubble.

Jumat, 16 September 2011

Bukti Emas Bubble: Dominasi Spekulasi

Banyak cerita yang bisa digunakan untuk rasionalisasi bahwa kenaikan harga emas saat ini akan terus berlangsung, sebagaimana yang ditulis oleh Muhaimin Iqbal, pemilik Gerai Dinar. Cerita semacam ini selalu muncul mengiringi bubble di mana saja dan kapan saja. Ketika harga properti di AS sedang melonjak, banyak pakar dari penasihat keuangan dan properti yang menulis bahwa kenaikan harga properti saat itu fundamental, bukan bubble, dan karenanya akan terus berlangsung. Dan kita tahu bagaimana ujungnya: krisis subprime mortgage yang membawa keruntuhan lembaga keuangan dan perekonomian Amerika dan Eropa.

Di posting sebelumnya, sudah saya tunjukkan bahwa tren kenaikan harga emas baru dimulai tahun 2002, setelah dua dekade sebelumnya mengalami tren menurun. Apa yang menyebabkan perubahan tren ini? Jika kita ikuti peristiwa yang terjadi sebelumnya adalah kejatuhan harga-harga saham di AS di tahun 2001. Kejatuhan ini disebabkan oleh pecahnya bubble dot com, yakni bubble harga saham perusahaan IT dan berbasis internet.
Index Komposit NASDAQ

Gelembung Harga Emas

Siapa yang tidak tergiur untuk "investasi" emas, jika harganya terus mengalami kenaikan rata-rata 18% per tahun sepanjang periode 2002-2010. Tahun ini kenaikannya jauh lebih spektakuler, hingga 15 September 2011 ini harga sudah naik 50% dibanding rata-rata tahun 2010.

Namun justru di sinilah letak bahayanya. Semakin tinggi pohon yang dinaiki, semakin sakit ketika terjatuh. Semakin tinggi harga emas dan semakin banyak orang yang ikut membeli, maka akan semakin banyak korban ketika harga emas jatuh dan semakin besar kemungkinan krisis mengikuti.




Apa iya harga emas bisa jatuh, bukankah sudah 10 tahun emas mengalami kenaikan harga terus-menerus? Kalau kita tarik horizon kita lebih jauh lagi ke belakang, harga emas pernah mengalami tren menurun dari tahun 1980 ketika harga masih $613 hingga mencapai titik terbawah di tahun 2001 seharga $272. Kejatuhan terbesar harga emas terjadi pada tahun 1981, turun 25%, setelah tahun sebelumnya naik spektakuler 99%.

Senin, 05 September 2011

Obat Krisis Bukan Kebijakan Moneter, tapi Kebijakan Pembiayaan

Dalam sejarah ekonomi, penurunan nilai mata uang (currency debasement) oleh negara merupakan salah satu penyebab krisis, bukan penyembuh. Ironisnya di masa ini, sebagian besar ekonom percaya bahwa penurunan nilai mata uang adalah salah satu jalan keluar dari resesi. Penurunan nilai mata uang ini dikenal sebagai kebijakan moneter ekspansif, atau kebijakan uang longgar (easy money).

Mayoritas ekonom lebih mempercayai efektivitas kebijakan moneter dalam meredakan siklus ekonomi daripada kebijakan fiskal. Kebijakan fiskal ekspansif berupa defisit menjadi tidak efektif karena kenaikan permintaan utang akibat baru pemerintah akan mendorong tingkat bunga naik dan mengurangi investasi, biasa dikenal sebagai efek mendesak keluar (crowding out). Sementara kebijakan moneter longgar justru berdampak menurunkan tingkat bunga sehingga menarik lebih banyak konsumsi dan investasi.

Namun di saat resesi besar seperti yang dialami Amerika Serikat sejak 2008 hingga sekarang, atau yang dialami Indonesia sejak tahun 1997 hingga sekarang, kebijakan moneter longgar tidak mampu mendorong ekonomi karena sistem intermediasi mengalami kemacetan bukan hanya dari sisi pasokan tapi juga permintaan. Dari sisi pasokan, keruntuhan lembaga keuangan membuat mereka mengurangi penyaluran kredit. Kondisi ekonomi lesu juga mengurangi permintaan kredit untuk investasi maupun konsumsi.

Dalam situasi seperti ini, kebijakan fiskal lebih efektif untuk mendorong perekonomian. Belanja pemerintah bisa ditingkatkan untuk mengkompensasi penurunan belanja rumah tangga dan perusahaan. Crowding out cenderung tidak terjadi di situasi seperti ini karena dana yang masuk ke pemerintah adalah dana yang cari aman, bukan dana yang cari imbalan tertinggi. Kesuksesan pemerintah menghindari crowding out bergantung pada reputasi kreditnya. Jika investor mempersepsi utang pemerintah tidak lebih aman dari utang swasta, maka crowding out tetap akan terjadi.

Jika resesi yang melanda perekonomian masih berskala ringan, maka mayoritas ekonom lebih menganjurkan penggunaan kebijakan moneter ekspansif. Di sinilah titik tembak kritik saya.  Kebijakan moneter ekspansif berkonsekuensi penurunan nilai mata uang. Padahal saya ungkapkan di awal bahwa dalam sejarah penurunan nilai mata uang senantiasa terkait dengan masalah ekonomi, khususnya inflasi.

Argumen pendukung kebijakan moneter adalah bahwa peningkatan jumlah uang beredar akan mendorong tingkat bunga turun sehingga memberi insentif masyarakat untuk mengambil kredit baik untuk konsumsi maupun investasi. Peningkatan inflasi akibat terlalu banyak uang beredar justru dapat menjadi alat untuk untuk mendorong rumah tangga dan perusahaan membelanjakan uangnya. Resesi dalam perekonomian cenderung dibarengi dengan deflasi, sehingga inflasi justru merupakan indikator pemulihan ekonomi.

Jika yang diinginkan adalah penurunan biaya kredit, maka ada alternatif yang lebih cepat memangkas biaya kredit, yakni larang pemungutan bunga atas kredit sama sekali. Orang yang masih membutuhkan pinjaman dapat memperolehnya dengan dua cara. Jika kebutuhan pinjaman untuk produktif, maka pengusaha dapat memperoleh dana dengan menjual sebagian saham kepemilikan perusahaannya pada investor. Jika pinjaman dimotivasi kebutuhan konsumtif, maka orang bisa mendapatkannya tanpa bunga dari keluarga, tetangga, rekanan, dan lembaga sosial.

Pelarangan bunga tidak hanya relevan dalam masa krisis, namun urgensinya semakin terasa di saat krisis. Situasi ekonomi lesu membuat bisnis malas mengambil utang karena jika bisnisnya gagal ia masih harus mengembalikan pokok utang plus membayar bunga. Dalam situasi resesi, bisnis perlu didorong untuk bangkit dengan memberikan pembiayaan yang relatif bebas risiko berupa penyertaan modal.

Solusi ini menghadapi masalah jika investor terlalu takut untuk mengambil risiko dengan menanam modal, bukannya memberikan pinjaman. Apalagi, situasi krisis semakin menurunkan kepercayaan investor bahwa bisnis tersebut dapat mencetak cukup keuntungan. Interaksi antara permintaan dan penawaran modal akan menghasilkan tingkat harga saham yang membawa keduanya pada keseimbangan. Investor akan lebih untung untuk berinvestasi di saat resesi karena harga saham cenderung lebih rendah. Keuntungannya akan meningkat ketika perekonomian pulih karena tingkat imbal investasinya lebih tinggi.

Dengan cara ini, upaya pemulihan resesi tidak perlu lagi melibatkan penurunan nilai mata uang yang merugikan masyarakat berpendapatan tetap. Peningkatan jumlah uang beredar belum tentu tersalurkan ke sektor riil, sebaliknya seringkali justru dimanfaatkan untuk berspekulasi yang dapat ditengarai dari penggelembungan harga aset dan komoditas. Penggelembungan ini sendiri berpotensi untuk menjadi pemicu krisis berikutnya.