Rabu, 09 Desember 2009

Dongeng Gank Century

Alkisah ada sekawanan rampok kakap berjuluk Gank Century. Suatu saat mereka terkepung polisi ketika sedang merampok bank karena seorang karyawan berhasil membunyikan alarm. Para penembak jitu sudah mengincar kepala seluruh anggota Gank Century.

Namun Gank Century tak kurang akal. Mereka telah membawa bom yang cukup untuk meledakkan bangunan bank sehingga mengubur seluruh sandera. Jika ada seorang saja anggota mereka ditembak polisi, bom itu akan diledakkan.

Pimpinan polisi berunding apakah mereka akan menyuruh penembak jitu untuk menembak seluruh perampok dengan risiko ada perampok yang selamat dan menekan tombol pemicu bom. Akhirnya mereka memutuskan untuk membiarkan perampok itu pergi, dengan harapan bisa menangkap perampok itu di lain waktu ketika tidak ada lagi risiko sebesar itu.

Melenggangnya kawanan perampok Gank Century dengan membawa hasil rampokan mereka memicu kemarahan pimpinan bank dan masyarakat. Mereka menuduh polisi bodoh dan pengecut sehingga membiarkan perampok pergi begitu saja. Bahkan muncul desas-desus bahwa pimpinan polisi bersekongkol dengan perampok.

Tertangkapnya sebagian anggota Gank Century di kemudian hari tidak cukup untuk membersihkan nama dan mengembalikan reputasi pimpinan polisi. Masyarakat masih mempersoalkan besarnya kerugian akibat perampokan. Mereka menganggap risiko bom meledak terlalu dibesar-besarkan polisi untuk mengesahkan keputusan mereka.

Di kemudian hari, ditemukan aliran dana dari Gank Century ke salah seorang pimpinan polisi yang terlibat dalam keputusan melepas mereka. Walau demikian, para pimpinan polisi lain yang bersih tetap bersikukuh bahwa penilaian dan keputusan mereka akan tetap sama walau tidak ada oknum yang bersekongkol. Keputusan pelepasan perampok mereka anggap jauh lebih baik daripada mempertaruhkan nyawa puluhan nasabah dan karyawan bank yang menjadi sandera.

Senin, 02 November 2009

Memacu Pertumbuhan Bank Syariah

(dimuat di rubrik Opini majalah Sharing edisi November 2009)

Pada akhir tahun 2008 lalu, banyak pemerhati ekonomi syariah kecewa dengan kegagalan bank syariah mencapai target 5 persen pangsa aset perbankan nasional. Nampaknya kekecewaan itu akan berlanjut tahun ini karena hingga akhir bulan Agustus lalu aset perbankan syariah masih 2,4 persen dari aset perbankan nasional.

Walau pangsa aset gagal mencapai target, namun dari sisi pertumbuhan aset bank syariah sebenarnya menunjukkan prestasi sangat baik tahun lalu, yakni mencapai 50 persen. Kenaikan aset ini jauh lebih tinggi daripada tahun 2007 yang hanya tumbuh 23,6 persen. Rata-rata pertumbuhan aset bank syariah yang sekitar 30 persen juga masih dua kali lipat dari pertumbuhan aset bank konvensional.

Namun angka menggembirakan ini tidak cukup memuaskan jika tujuannya adalah agar bank syariah bisa sejajar dengan bank konvensional sesegera mungkin. Jika rata-rata pertumbuhan aset bank syariah bertahan sekitar 30 persen, dan bank konvensional sekitar 15 persen, maka butuh waktu 32 tahun agar aset bank syariah bisa menyamai bank konvensional.

Dapatkah kita bersabar selama itu sekedar untuk menyamai bank konvensional, belum mendominasinya? Satu-satunya cara memangkas waktu adalah dengan mempercepat pertumbuhan bank syariah. Hambatan-hambatan perlu disingkirkan dan perlu langkah-langkah terobosan agar bank syariah bisa melaju lebih cepat


Hambatan

Ada beberapa dugaan sebab kelambanan pertumbuhan bank syariah ini. Pertama, masyarakat yang sadar syariah sebenarnya berjumlah banyak dan sebagian besar masih belum tergabung dalam bank syariah manapun. Akan tetapi, mereka kecewa pada bank syariah yang tidak memenuhi harapan atau standar kesyariahan mereka. Kelompok masyarakat ini tidak bersedia pindah dari bank konvensional ke bank syariah karena menganggap tidak ada bedanya menabung dan meminjam di bank konvensional atau bank syariah.

Hambatan juga terjadi dari kebijakan industri keuangan. Hingga awal 2008 lalu, bank syariah tidak memiliki instrumen investasi yang likuid sebagaimana bank konvensional. Terpaksa bank syariah menaruh seluruh DPK di pembiayaan yang berisiko dan tidak likuid. Risiko pembiayaan dan risiko likuiditas yang tinggi membuat bank syariah menerapkan marjin laba lebih tinggi daripada bank konvensional. Hal ini menyebabkan bank syariah sulit bersaing dengan bank konvensional baik pada sisi pendanaan maupun pembiayaan.

Aspek kekeliruan kebijakan lainnya adalah penerapan aturan kehati-hatian (prudential) pada bank syariah yang sama dengan yang diterapkan pada perbankan konvensional. Padahal, bank syariah pada prinsipnya harus mau menanggung risiko pembiayaan yang tinggi karena mengandalkan akad bagi hasil. Dipaksa oleh aturan kehati-hatian yang ketat, bank syariah pada praktiknya lebih banyak menggunakan akad jual-beli yang mirip dengan kredit konvensional. Kemiripan ini menimbulkan masalah kedua di atas, di mana masyarakat yang peduli syariah menjadi tidak peduli terhadap bank syariah.

Kemungkinan terakhir, bank syariah sulit tumbuh cepat karena mayoritas bank syariah saat ini merupakan cabang atau anak perusahaan bank konvensional. Tentunya bank konvensional sebagai induk hanya akan merestui perkembangan anaknya selama tidak mengganggu dirinya. Begitu bank konvensional merasa terusik oleh bank syariah anaknya, ia akan menghambat perkembangan si anak tanpa harus mematikannya.


Mengatasi hambatan

Kelambatan pertumbuhan bank syariah bisa disebabkan oleh salah satu atau kombinasi dari berbagai kemungkinan sebab di atas. Bank syariah dapat kembali tumbuh cepat jika hambatan-hambatan tersebut diatasi.

Dari sisi bank syariah sendiri, mereka harus merombak desain produk dan cara kerja agar masyarakat dapat dengan jelas melihat perbedaan mereka dengan bank konvensional. Perbedaan yang paling jelas dapat dilihat adalah jika bank syariah menggunakan akad bagi hasil dalam pembiayaan produktif mereka.

Akad jual beli hanya digunakan untuk pembiayaan konsumtif, namun praktiknya harus diperbaiki sehingga bank syariah berlaku sebagaimana penjual, bukan kreditor. Sebagai penjual, bank syariah harus bisa menyebutkan barang apa yang ia jual dan melakukan sendiri pembelian barang dagangnya, bukan diwakilkan lagi ke pembeli sehingga kelihatan menyiasati akad untuk mensyariahkan praktik kredit konvensional.

Kondisi likuiditas bank syariah kini sudah membaik karena sejak pertengahan 2008 tersedia SBI Syariah dan Sukuk Negara sebagai instrumen investasi yang likuid. Di sisi lain, persoalan aturan kehati-hatian nampaknya belum akan diperbaiki dalam waktu dekat. Karenanya, bank syariah masih terdorong untuk lebih mengembangkan pembiayaan jual beli yang berisiko lebih kecil daripada pembiayaan bagi hasil.

Sejak 2008, beberapa unit usaha syariah sudah dilepaskan (spin off) menjadi bank umum syariah. Pelepasan ini sudah merupakan langkah maju karena bank syariah tersebut akan lebih bebas mengelola dan bersaing dengan bank induknya. Namun sebagaimana telah disampaikan, kepemilikan bank induk ke bank syariah baru hasil pelepasan ini berpotensi tetap menyisakan kendali dari bank induk, sehingga perkembangan bank syariah baru ini tidak bisa maksimal. Walau demikian kita masih bisa berharap banyak karena sudah ada contoh sebelumnya di mana bank umum syariah hasil pelepasan bisa berkembang pesat, jauh melebihi cabang-cabang syariah bank konvensional.


Terobosan

Setelah hambatan hilang, bank syariah bisa tumbuh lebih cepat, namun mungkin belum cukup cepat. Perlu langkah-langkah terobosan yang bisa semakin mempercepat pertumbuhan bank syariah. Pertama, pemain baru perlu didatangkan untuk mendirikan bank syariah di Indonesia. Kedua, bank konvensional bisa dikonversi seutuhnya menjadi bank syariah.

Bank syariah baru yang tidak lahir dari induk konvensional berpotensi untuk tumbuh lebih cepat dan lebih progresif dalam menerapkan prinsip-prinsip syariah pada produk perbankan. Pemerintah perlu melonggarkan syarat pendirian bank syariah dan membuka peluang lebar-lebar bagi investor domestik maupun asing yang berniat mendirikan bank syariah.

Pemerintah juga bisa intervensi langsung dengan mendirikan BUMN bank syariah. Langkah ini tidak tabu diambil pemerintah, walau nampak bertentangan dengan arus privatisasi. Perkembangan industri keuangan di negara berkembang seringkali harus diinisiasi oleh pemerintah. Faktanya, sebagian besar bank konvensional besar saat ini pada awalnya merupakan BUMN yang kemudian diprivatisasi. Bank syariah bentukan pemerintah inipun suatu saat bisa diprivatisasi, jika perlu.

Skala intervensi yang lebih besar dapat dilakukan pemerintah dengan mengharuskan bank konvensional untuk beralih sepenuhnya menjadi bank syariah. Intervensi besar ini bukan sebuah langkah gegabah, namun dilandasi untuk menjaga kepentingan publik.
Perbankan konvensional mengandung risiko besar terkena krisis. Negara dan masyarakat mengeluarkan biaya besar untuk mencegah terjadinya krisis ini, yakni dengan melakukan penjaminan simpanan. Biaya jauh lebih besar akan ditanggung masyarakat jika krisis benar-benar terjadi. Pengalaman krisis perbankan tahun 1997 telah menelan biaya ratusan triliun.

Mengkonversi sepenuhnya perbankan konvensional menjadi perbankan syariah meniadakan kebutuhan biaya tersebut. Penyesuaian otomatis sisi kewajiban terhadap sisi aset membuat bank syariah terhindar dari risiko gagal bayar (default) pada penabung.
Sudah menjadi sifat industri keuangan bahwa bentuk dan perkembangannya sangat ditentukan oleh kebijakan pemerintah. Bentuk industri keuangan saat ini adalah buah dari kebijakan di masa lalu yang dipertahankan hingga sekarang. Maka bukanlah sebuah keanehan jika pemerintah menata ulang kebijakan dan bentuk industri keuangan demi kepentingan masyarakat.

Senin, 07 September 2009

Stop Bagi Hasil Sumber Daya Alam

Publik memiliki opini sangat kuat bahwa pihak asing telah mengeruk keuntungan besar dari sumber daya alam Indonesia, dari emas kuning sampai "emas hitam". SBY berbangga diri karena berhasil meningkatkan bagian pemerintah dari sumber daya alam. Namun ada yang tidak disebutkan, bahwa bersamaan dengan peningkatan bagian pemerintah, pemerintah ikut menanggung sebagian biaya eksploitasi SDA tersebut. Jadi penerimaan bersih pemerintah dari SDA tidak akan jauh berbeda dari sebelumnya.

Kesalahan sebenarnya terletak pada penggunaan sistem bagi hasil dalam kontrak karya dengan para penambang. Pendapatan pemerintah akan jauh lebih besar jika kontrak menggunakan sistem sewa jasa dan atau peralatan, di mana perusahaan penambang hanya menerima fee untuk jasa keahlian penambangan dan sewa fasilitas yang mereka bangun.

Pemerintah dapat memilih penambang yang menawarkan biaya termurah, produksi terbesar, dan pengelolaan lingkungan terbaik. Kontrak sewa ini bisa diakhiri dengan opsi pembelian fasilitas penambangan tersebut. Lebih jauh, kontrak dengan perusahaan asing bisa mensyaratkan transfer teknologi dan penggunaan tenaga ahli dalam negeri. Dengan demikian, setelah kontrak berakhir pemerintah bisa menjalankan sendiri fasilitas penambangan tersebut dan membangun baru di lokasi tambang lain.

Rabu, 02 September 2009

Kemiripan Industri Farmasi dan Rokok

Faisal Basri menilai aneh Peraturan Menteri Keuangan Nomor 104/PMK.03/2009 tentang BIAYA PROMOSI DAN PENJUALAN YANG DAPAT DIKURANGKAN DARI PENGHASILAN BRUTO, yang diterapkan khusus pada industri rokok dan farmasi. Ia menilai bahwa industri rokok sebagai produsen bads pantas mendapat disinsentif untuk aktivitas promosinya, tetapi tidak demikian halnya dengan industri farmasi yang menghasilkan goods.

Menurut saya, perusahaan farmasi memang pantas dikenai aturan tersebut. Perusahaan farmasi juga bisa terlalu jor-joran dalam promosi yang tidak memberi manfaat buat konsumen.

Perusahaan farmasi menghasilkan produk obat dan non-obat. Produk non obat seperti minuman suplemen. Produk obat ada yang dijual bebas dan ada yang harus dengan resep dokter.

Promosi jor-joran produk farmasi yang dijual bebas kita dapati di media massa. Dan jangan dikira produk farmasi ini tidak berbahaya ketika dikonsumsi berlebihan. Sehingga promo produk seperti ini juga patut dikekang.

Sementara promosi produk yang tidak dijual bebas walau tidak diketahui publik, namun lumayan jor-joran juga, biasanya untuk memberi insentif pada dokter pemberi resep. Model promo seperti ini pun perlu dikekang.

Konsumen hanya butuh promo yang informatif, bukan yang memanipulasi apalagi merugikan mereka. Regulasi apapun yang bisa mengendalikan promo jenis kedua perlu kita dukung.

Kamis, 02 Juli 2009

Ketika Pemerintah Tidak Melindungi Masyarakat

Tadi malam saya berbincang dengan teman sejak SMP yang wiraswastawan sekaligus menjadi CPNS. Ia baru saja menjadi CPNS bulan Maret lalu, sedangkan wiraswasta sudah dilakoninya sejak lulus kuliah tahun 2004.

Ia menceritakan masa sulitnya sebagai wiraswasta di mana pendapatannya mengalami naik turun secara drastik. Bisnisnya mengalami penurunan tepat setelah ia menikah. Saat kelahiran anaknya merupakan titik terendah kondisi ekonominya.

Ia sempat mengalami kebingungan luar biasa ketika ada indikasi anaknya harus dilahirkan dengan operasi. Ia tidak memiliki cukup uang untuk operasi tersebut.

Teman saya berusaha memperoleh Askeskin, namun ia tidak terkategori sebagai keluarga miskin. Mungkin ia belum miskin saat itu, namun biaya operasi akan membuatnya benar-benar menjadi miskin.

Alhamdulillah, anaknya akhirnya lahir secara normal. Teman saya selamat, tidak jadi jatuh miskin. Bahkan setelah itu ia mengalami perbaikan taraf ekonomi.

Teman saya mengambil pelajaran dari peristiwa itu bahwa ia butuh proteksi atas kebutuhan-kebutuhan keuangan yang mendesak. Ia mengeluh bahwa pemerintah tidak memberikan proteksi bagi keluarga sedikit di atas kemiskinan sepertinya. Sementara, kebanyakan asuransi swasta ditujukan pada kelompok menengah ke atas. Akhirnya, ia mendapatkan skema asuransi yang terjangkau baginya.

Saya memandang bahwa dalam tataran ideal, perlindungan disediakan oleh Pemerintah bagi seluruh masyarakat. Namun jika kenyataan Pemerintah belum mampu menyediakan perlindungan tersebut, apa strategi terbaik berikutnya untuk memberikan perlindungan?

Islam sebenarnya menyediakan perlindungan ini berdasarkan hubungan waris. Ahli waris tidak hanya berhak atas kekayaan orang yang diwarisi, namun juga berkewajiban menanggung utang dan penghidupan orang yang diwarisi.

Bagaimanapun juga, perlindungan berdasarkan hubungan waris merupakan cara terakhir individu menghadapi risiko ekonomi. Seseorang akan berusaha sebisanya agar masalahnya jangan sampai membebani ahli warisnya. Apa yang bisa ia lakukan?



Selasa, 02 Juni 2009

Dilema Bail Out Bank

Sistem perbankan cadangan parsial mengandung risiko inheren untuk terkena krisis. Tiap kali ada bank bangkrut, negara harus merugi untuk menalangi bank membayar penabung. Krisis perbankan tahun 1997 membebani negara dengan kerugian 400-an triliun. Kini kita punya Bank Century.

Tidak ada industri yang kerugiannya ditalangi oleh negara kecuali perbankan. Alasan yang sering dikemukakan adalah penyelamatan perbankan ini perlu untuk mencegah krisis lebih luas. Benarkah krisis akan semakin parah jika bank tidak diselamatkan?

Milton Friedman mengungkapkan bahwa sebelum adanya bank sentral (Federal Reserve Bank) telah sering terjadi krisis perbankan di AS. Namun, perbankan dan perekonomian selalu dapat bangkit kembali walau tidak ada bantuan dari pemerintah AS ke perbankan.

Memang, pada tahun 1997 tutupnya dan atau penutupan 16 bank telah mengakibatkan penarikan dana besar-besaran di seluruh bank. Jika masalah ini dibiarkan, bank akan tutup dan tidak mampu menyalurkan kredit yang mendukung produksi maupun konsumsi.

Ringkasnya, tutupnya bank membawa masalah kemandekan ekonomi. Sementara mempertahankan bank-bank tersebut juga membawa masalah yakni membebankan kerugian pada anggaran negara. Ekonom di pemerintahan memastikan bahwa masalah pertama jauh lebih besar daripada masalah kedua. Kerugian yang ditanggung negara merupakan biaya yang harus ditanggung untuk mencegah krisis.

Loh, bank yang buat masalah kok negara yang nanggung ruginya? Ganjalan di hati ini bukan sekedar emosional. Memang ada yang keliru.

Kelirunya di desain produk tabungan perbankan. Bank menjamin 100 persen dana nasabah, plus bunganya, aman dan bisa diambil sewaktu-waktu. Padahal, hanya sekian persen dari dana tersebut yang disimpan bank, sebagian besar disalurkan ke kredit yang berisiko. Kalau nilai kredit macet melebihi modal bank, pastilah dana nasabah ikut tertahan. Inilah kekeliruan pertama, bank menjanjikan keamanan dan keutuhan dana, padahal tidak selamanya dapat ia sanggupi.

Bank dan pemerintah tahu bahwa bank tidak benar-benar bisa menjamin 100 persen dana tabungan. Nasabah pun sekarang sudah banyak yang tahu fakta ini. Untuk mencegah nasabah yang tahu ini menarik tabungan, ganti pemerintah yang menjadi penjamin dana tabungan, lewat lembaga penjamin simpanan (LPS). Inilah kekeliruan kedua, pemerintah mmenjamin uang yang tidak ia kelola, bank yang pegang uang justru lepas tanggung jawab.

Kekeliruan kedua dilandasi tekad untuk mencegah krisis akibat kekeliruan pertama. Karenanya, kekeliruan pertama inilah yang sebenarnya perlu dibenahi.

Tidak sepantasnya bank menjanjikan sesuatu yang tidak mampu ia pegang. Bank tidak perlu menjamin keutuhan dana nasabah.

Nasabah harus sadar bahwa tidak ada tempat menyimpan uang yang aman 100%. Uang nasabah di rumah bisa hilang, bisa dirampok, ikut ludes dalam kebakaran, dll. Uang di bank selain juga bisa hilang karena faktor yang sama, juga bisa hilang karena risiko penyaluran ke kredit.

Nasabah tahu uangnya disalurkan menjadi kredit, kalau tidak darimana bank bisa dapat uang untuk membayar bunga/bagi hasil. Kalau sudah tahu, mestinya mereka juga bisa menerima jika uangnya tidak bisa diambil sewaktu-waktu dan bisa tidak kembali utuh kalau terjadi kerugian.

Kalau nasabah penabung ditawari perjanjian yang realistis, yang benar-benar bisa dipenuhi bank, maka bank tidak perlu repot untuk mencari talangan uang untuk mengembalikan dana nasabah. Pemerintah juga tidak perlu lagi membantu menalangi bank.

Jumat, 29 Mei 2009

Peran Pasar dan Negara: Inti Debat Neoliberal vs Ekonomi Kerakyatan

Kemarin malam, saya menonton diskusi tentang ekonomi kerakyatan di TVRI yang menghadirkan cawapres Prabowo. Satu ungkapan Prabowo yang terngiang cukup keras adalah bahwa pemerintah tidak boleh hanya jadi wasit, namun harus campur tangan langsung untuk mengatasi masalah-masalah ekonomi. Bentuknya antara lain adalah pemberdayaan BUMN untuk menggerakkan ekonomi, membalikkan arus privatisasi saat ini.

Anda setuju? Perlu diingat bahwa kebijakan privatisasi diambil tidak hanya karena desakan IMF, tanpa rasionalisasi sama sekali. BUMN telah lama dikenal sebagai sapi perah bukan hanya penguasa, namun juga swasta yang bermitra dengannya. Kabarnya banyak BUMN merugi karena inefisiensi pengelolaan maupun kebocoran yang tidak ada kaitannya dengan operasional BUMN.

Kalau BUMN sudah rugi, pada akhirnya pemerintah juga yang diminta menutupi kerugian tersebut dengan anggaran negara. Uang yang semestinya bisa digunakan untuk kemanfaatan rakyat justru digunakan untuk mensubsidi BUMN yang dikelola dengan buruk.

Privatisasi dianjurkan untuk mengobati BUMN bermasalah seperti ini. Kepemilikan swasta diharapkan dapat menegakkan disiplin pengelolaan. Jika inefisiensi terjadi lagi, pasar akan meresponnya dengan kejatuhan harga saham. Kerugian tidak akan ditolerir oleh pemilik swasta. Pemilik swasta merasa lebih baik melikuidasi perusahaan yang rugi terus-menerus. Likuidasi ini bagi manajemen dan karyawan berarti kehilangan pekerjaan. Karenanya, mereka akan berusaha mencegah jangan sampai perusahaan merugi.

Sayang sekali, tujuan baik privatisasi disalahgunakan oleh oportunis asing maupun domestik. Dengan menumpangi privatisasi, pemodal asing mengambil alih BUMN dari tangan pemerintah.

Mending jika BUMN yang dibeli memang perusahaan yang selama ini merugi. Kenyataannya, BUMN yang dijual justru yang selama ini berkinerja cukup bagus dan memiliki prospek yang sangat baik. Pola ini paling nampak dalam kasus privatisasi Indosat dan Telkomsel. Kedua BUMN ini memimpin pasar oligopolis pada sektor telekomunikasi yang mengalami pertumbuhan tercepat di Indonesia.

Kegagalan privatisasi juga disebabkan metode pengalihan saham dengan menjualnya pada investor strategis. Pemilihan investor strategis sangat tidak transparan dan rawan korupsi. Metode penjualan di bursa saham jauh lebih transparan dan memastikan adanya disiplin pasar.

Pemerintah saat itu beralasan bahwa pemilihan investor strategis akan memastikan terjadinya transfer teknologi dari investor strategis ke BUMN yang diprivatisasi. Masalahnya, tidak ada ukuran dan cara evaluasi yang pasti untuk mengetahui apakah transfer teknologi tersebut benar-benar terjadi pasca pengalihan.

Kegagalan privatisasi di Indonesia dikontribusi sebagian oleh proses penyelenggaraan negara yang buruk. Kegagalan pengelolaan BUMN juga disebabkan buruknya penyelenggaraan negara. Masalah terjadi dengan atau tanpa privatisasi, karena sumber masalahnya bukan pada privatisasi, melainkan pada kegagalan negara.

Pasar di mana pelakunya mengejar kepentingan diri masing-masing memang tidak bisa menjamin pemerataan. Di sisi lain, kita punya negara yang tidak bisa diandalkan. Seperti kampanye Ronald Reagan, "the state is not the solution, the state is the problem".

Prabowo menyadari hal ini di tengah pemaparan usulannya mengenai penggunaan BUMN sebagai penggerak ekonomi dengan menyebut bahwa memang selama ini belum sempurna namun bisa diperbaiki. Pengertian "belum sempurna" ini yang sering luput dari pendukung liberalisasi. Kebelumsempurnaan mencerminkan adanya manfaat, walaupun tidak sepenuhnya sesuai harapan.

Program pemerataan seperti BLT dan program pemberdayaan lain memang belum mampu mewujudkan tujuan pengentasan kemiskinan, namun bukannya tanpa guna. Pengendalian harga bahan pokok oleh BULOG mungkin tidak sepenuhnya efektif dan banyak kebocoran, namun tanpa BULOG harga bahan pokok jauh lebih tak terkendali.

Kaidah yang perlu diterapkan adalah, "kalau tidak dapat semua, jangan dibuang semua". Intervensi negara dalam setiap ranah kehidupan selalu diwarnai ketidaksempurnaan, namun tanpa intervensi tersebut banyak ketidakadilan dan ketelantaran.

Korupsi memang menghambat pencapaian kesejahteraan, namun eksistensi korupsi tidak menihilkan kemampuan pemerintah untuk memajukan kesejahteraan rakyat. China dan India adalah contoh negara yang tumbuh cepat walau korupsi masih dipraktikkan secara luas.

Pemberantasan korupsi dan intervensi pemerintah dalam ekonomi adalah dua masalah yang berbeda dan dapat dijalankan secara paralel. Walau pemberantasan korupsi belum selesai, intervensi pemerintah dalam ekonomi tetap dapat berjalan dan memberikan hasil.

Perekonomian kita memang memerlukan penyesuaian struktural agar fundamen lebih kokoh. Namun penyesuaian tersebut harus dijalankan secara pelan dan bertahap, sambil memperhatikan dampak-dampak yang tidak diinginkan. Penyesuaian tergesa-gesa yang dipaksakan oleh IMF dan ditunggangi banyak kepentingan justru membawa masalah yang bisa jadi lebih besar daripada masalah asal.

Kamis, 28 Mei 2009

Pelajaran dari Ekonomi Rakyat untuk Ekonomi Islam

Ekonomi rakyat belum dapat dianggap sebagai disiplin ilmu. Namun terlalu meremehkan jika menganggapnya hanya sebagai jargon politik. Paling tepat, ekonomi rakyat ini dikategorikan sebagai sebuah paham atau strategi pembangunan.

Dengan keberpihakan yang amat kentara, hingga dicerminkan dalam namanya, ekonomi rakyat ini mudah memperoleh dukungan dari masyarakat. Sayangnya, konsep ekonomi rakyat sendiri belum terlalu jelas. Literatur yang membahas konsep ekonomi rakyat sangat sulit diperoleh.

Ketika konsep orisinil tidak ada, maka cara paling mudah untuk memperkenalkan ekonomi rakyat ke masyarakat adalah dengan melakukan kritik pada konsep ekonomi lain Maka diambillah neoliberalisme sebagai sasaran kritik

Pembahasan ekonomi rakyat marak mendekati pilpres ini karena dua fakor:
1. Ekonomi rakyat diusung oleh Prabowo sebagai materi kampanye
2. Salah satu pasangan capres-cawapres disinyalir sebagai neolib

Dibandingkan dengan ekonomi kerakyatan, literatur ekonomi Islam jauh lebih berkembang dan banyak. Tapi mengapa ekonomi Islam tidak mampu menembus debat Pilpres 2009?

Pertama, tidak ada parpol yang mau membawa ekonomi syariah, meskipun parpol Islam. Sepertinya, parpol Islam walau sudah menyatakan diri sebagai parpol Islam masih ragu untuk secara tegas membawa ide-ide Islam dalam aspek hukum formal dan tata ekonomi. Parpol Islam perlu menyadari bahwa pemilu dan pilpres justru merupakan momen yang tepat untuk menjual ide-ide tersebut. Rumus suksesnya, kritik sistem yang berlaku dan berikan argumen yang kuat mengapa sistem yang ditawarkan lebih baik.

Kedua, ekonomi Islam selama ini lebih banyak dikemas dalam label kepatuhan terhadap syariat Islam, bukan pada prospeknya untuk membawa kesejahteraan pada masyarakat. Padahal, mayoritas masyarakat lebih peduli pada isu kedua, bukan isu pertama.

Ketiga, perkembangan dan fokus kajian ekonomi Islam lebih banyak pada keuangan Islam yang tidak nampak perbedaannya dalam praktik maupun dampak. Apa yang nampak dari keuangan Islam, yakni lembaga-lembaga keuangan Islam, dianggap identik dengan ekonomi Islam. Ketika lembaga keuangan Islam tidak memperoleh simpati masyarakat, maka citra ekonomi Islam ikut terimbas.

Sabtu, 16 Mei 2009

Mencari Pengganti Dolar

(dimuat di Republika, 16 Mei 2009)

Pemerintah mulai mengurangi ketergantungan pada dolar dan meragamkan mata uang basis transaksi internasional (Republika, 25/3). Harapannya, ekonomi domestik akan terhindar dari risiko ketidakstabilan mata uang basis transaksi. Kebijakan ini memiliki kelemahan, yakni berkurangnya fleksibilitas penggunaan devisa untuk keperluan transaksi dengan berbagai negara.

Pada dasarnya, uang berfungsi sebagai alat perantara pertukaran barang dan jasa. Barang apa pun bisa menjadi uang selama diterima oleh pihak-pihak yang bertransaksi. Pada skala individu, akan jauh lebih mudah bagi seseorang untuk menggunakan satu jenis uang saja yang diterima oleh semua mitra transaksinya.

Hal sama berlaku pada skala makro. Negara-negara mudah untuk saling bertransaksi jika mereka memiliki satu alat pembayaran yang disepakati. Karena itu, kita dapat melihat, sepanjang sejarah, negara-negara selalu memiliki satu mata uang yang diterima oleh semua.

Banyaknya ragam mata uang transaksi berpotensi menghambat perdagangan dan transaksi internasional lainnya. Dapat terjadi ketidaksesuaian di pasar antara mata uang yang kelebihan penawaran dan mata uang yang kelebihan permintaan.

Mata uang negara yang neraca perdagangannya defisit cenderung kelebihan permintaan. Sebaliknya, mata uang yang neraca perdagangannya positif cenderung kelebihan pasokan.

Dalam sistem alat pembayaran internasional tunggal, defisit kita dengan suatu negara dapat dibayar dengan surplus kita dari negara lain. Jika pemerintah jadi mengadopsi rencana peragaman mata uang, transaksi internasional dan pertumbuhan ekonomi akan terhambat.

Namun, mata uang tunggal tidak bisa memfasilitasi perdagangan dengan baik jika nilainya tidak menentu. Dolar kini sulit diandalkan kestabilannya karena situasi dan kebijakan ekonomi Amerika Serikat (AS) masih tidak menentu. Dulu, dolar menguat karena penarikan dana lembaga-lembaga keuangan asing. Ke depan, dolar cenderung melemah dengan adanya penerbitan baru dolar dalam jumlah besar untuk membiayai defisit anggaran AS.

Banyak negara mulai mengalihkan devisanya ke euro. Untuk saat ini, euro mungkin pilihan yang lebih baik daripada dolar. Tetapi, suatu saat, krisis ekonomi juga bisa melanda Uni Eropa.

Apakah kita cukup sekadar mengganti mata uang basis transaksi internasional setiap kali negara penerbit mata uang tersebut mengalami krisis? Penggantian mata uang internasional bukannya tanpa biaya.

Pada saat konversi terjadi, mata uang lama akan terdepresiasi karena pasokannya membludak tiba-tiba. Sebaliknya, mata uang baru akan terapresiasi karena permintaan meningkat pesat. Negara yang telah menumpukkan cadangan devisa dalam mata uang lama akan rugi karena nilainya turun jika diukur dengan mata uang baru.


Mata uang internasional


Dolar AS disepakati menjadi mata uang internasional pada konferensi Bretton Woods di bulan Juli 1944. Pemilihan dolar AS merupakan pertengahan antara sistem nilai tukar mengambang yang penuh ketidakpastian dan menghambat perdagangan internasional dengan standar emas yang terlalu restriktif.

Pada sistem ini, negara-negara sepakat untuk mematok nilai tukar mata uangnya terhadap dolar AS. Di sisi lain, Amerika Serikat menjamin konvertibilitas dolar terhadap emas yang waktu itu pada level 35 dolar AS per ons emas.

Robert Triffin (1960) menangkap dilema yang dihadapi oleh AS dengan sistem ini. Ia berpendapat bahwa mata uang suatu negara tidak dapat bertahan sebagai alat pembayaran internasional.

AS harus terus mengalami defisit neraca perdagangan untuk memenuhi kebutuhan dolar masyarakat internasional. Di sisi lain, meningkatnya pasokan dolar di luar negeri melemahkan nilai tukar dolar AS terhadap emas di negara lain. Selisih ini mendorong arus keluarnya emas besar-besaran dari AS.

Pada Agustus 1971, Pemerintah AS di bawah presiden Nixon menghentikan konvertibilitas dolar terhadap emas. Akibatnya, nilai tukar dolar terhadap emas dan komoditas lain merosot. Negara lain terpaksa memutuskan patokan nilai tukar mata uang mereka ke dolar untuk mencegah penularan inflasi AS ke perekonomian domestik. Sejak saat itu, sistem nilai tukar dunia kembali ke rezim mengambang.

Walau sudah tidak lagi menjadi patokan, dolar AS tetap menjadi mata uang utama transaksi internasional dan komponen mayoritas cadangan devisa semua negara. Hal ini disebabkan transaksi internasional sudah terbiasa dinilai dan dibayar dengan dolar. Selain itu, dengan skala ekonominya yang besar, AS masih menjadi mitra dagang utama sebagian besar negara.

Krisis AS saat ini mengurangi kemenarikan dolar sebagai mata uang internasional. Nilai tukar dolar AS terus berfluktuasi mengikuti perkembangan situasi krisis dan upaya pemulihannya.


Kembali ke emas

Selama berabad-abad, negara-negara di dunia saling bertransaksi dengan menggunakan emas sebagai alat pembayaran. Sekalipun menggunakan uang kertas, pemerintah negara penerbitnya menjamin uang kertas tersebut dapat ditukarkan dengan emas.

Sepanjang sejarah penerapan standar emas, inflasi tinggi jarang terjadi. Inflasi terjadi hanya sewaktu ditemukan sumber emas baru. Secara umum, tingkat produksi emas stabil sehingga jarang terjadi kejutan harga.
Penentangan pada standar emas datang dari ekonom penganjur intervensi pemerintah, terutama dari aliran Keynesian. Menurut mereka, standar emas membatasi ruang gerak pemerintah dalam melakukan intervensi. Terutama, dalam situasi resesi, pemerintah perlu mendorong permintaan dengan memasok lebih banyak uang. Mereka juga mengajukan fakta bahwa negara yang lebih dulu meninggalkan standar emas mengalami pemulihan dari depresi besar dengan lebih cepat daripada negara yang belakangan meninggalkan standar emas.

Ekonom Austrian, dengan tokoh utama Mises dan Hayek, memandang sebab depresi besar dari sisi berbeda. Mereka berpendapat bahwa depresi besar merupakan konsekuensi siklus yang tak terhindarkan setelah ekspansi moneter besar sepanjang Perang Dunia I. Mereka justru menganjurkan kembali ke standar emas untuk mencegah pemerintah mencetak uang tanpa kendali.


Alternatif lain

Keynes sendiri memiliki usulan alternatif mata uang internasional yang disebut dengan bancor. Bancor merupakan mata uang internasional yang nilainya ditetapkan dalam 30 macam komoditas, termasuk emas. Dengan demikian, harga komoditas-komoditas tersebut dalam satuan bancor akan stabil. Usulan Keynes ini tidak pernah direalisasikan sehingga kita tidak bisa mengevaluasi keberhasilannya.

Dalam pidatonya pada 23 Maret lalu, Gubernur Bank Rakyat China, Zhou Xiaochuan, menyebutkan, gagasan bancor dari Keynes ini berpandangan jauh ke depan. Mengadopsi gagasan bancor, Zhou mengusulkan pengadopsian Special Drawing Right (SDR) IMF sebagai mata uang internasional. Ia berargumen, karena SDR tidak diterbitkan oleh satu negara, mata uang ini akan terhindar dari dilema Triffin.

Emas dan bancor ala Keynes atau Zhou sama-sama terhindar dari dilema Triffin. Bancor memiliki keunggulan fleksibilitas pasokan dibandingkan emas. Akan tetapi, produksi bancor yang teregulasi akan tetap menghadapi risiko digunakan untuk kepentingan pihak yang berkuasa.

Pada akhirnya, pemilihan mata uang internasional tidak dapat menjadi keputusan sepihak satu negara. Penetapan mata uang internasional harus melalui koordinasi dan kesepakatan antarnegara. Pemerintah Indonesia perlu memanfaatkan forum G20 untuk mengusulkan penataan ulang sistem moneter internasional. Satu hal yang pasti, Indonesia telah memiliki banyak pengalaman buruk dengan dolar.

Senin, 11 Mei 2009

Kemandirian Mikro vs Makro

Ada cerita menarik tentang pembangunan Singapura yang dilontarkan oleh seorang audien dalam seminar yang diselenggarakan National Press Center Indonesia bertajuk "Kemandirian untuk Kesejahteraan Bangsa" di FE Universitas Airlangga hari ini. Audien tersebut menyampaikan penuturan Lee Kuan Yew mengenai strategi pembangunan Singapore.

Secara singkat, Lee Kuan Yew menuturkan bahwa pada saat Singapore baru merdeka, ia menargetkan bahwa dalam 10 tahun Singapore harus bebas pengangguran. Maka kemudian ia menempuh jalan apapun yang dapat mewujudkan target ini. Investasi asing diundang dengan agresif, yakni dengan memberi tax holiday hingga 10 tahun dan pengurusan perijinan investasi selesai hanya dalam 1 hari. Hasilnya, nol pengangguran tercapai tidak sampai 10 tahun, melainkan hanya dalam 4 tahun! Bahkan, Singapore setelah itu harus mengimpor tenaga kerja asing untuk menutupi kekurangan tenaga kerja lokal.

Target berikutnya adalah meningkatkan penghasilan pekerja. Target ini dicapai dengan meningkatkan industri capital-intensive dan mengurangi industri labor-intensive. Industri capital-intensive adalah industri dengan produktivitas per tenaga kerja yang tinggi, karenanya ia mampu menggaji tinggi pekerjanya.

Apa hubungan cerita tersebut dengan kemandirian? Saya menangkap bahwa kemandirian yang dikejar Singapore adalah kemandirian pada level individu, dengan mengesampingkan ego kemandirian pada level makro.

Pekerjaan adalah sarana individu memperoleh kemandirian. Dengan terbebas dari menggantungkan diri secara ekonomi pada orang lain, individu bebas menentukan pilihan sendiri pada ranah nilai, sosial, maupun politik.

Namun Singapore mengorbankan kemandirian pada level makro dengan membuka pintu investasi selebar-lebarnya pada pemodal asing. Mungkin Singapore tidak melihat adanya esensi penting dari kemandirian pada level makro ini, atau maksimal kalah penting daripada kemandirian level individu.

Pada kasus Indonesia, kemandirian mikro masih sangat memprihatinkan. BPS mencatat bahwa tingkat pengangguran pada Agustus 2007 masih berada pada level 9,11 persen. Padahal, kita tidak mengalami krisis parah seperti Amerika Serikat yang baru mencapai tingkat pengangguran 8,9 persen pada April 2009.

Dengan gambaran kemandirian mikro yang buruk seperti ini, masih perlukah kita mempertahankan kemandirian makro, misal dengan tidak menyetujui liberalisasi investasi asing?

Argumen utama penentang liberalisasi investasi asing ada dua: bahwa investasi asing menyerap surplus lebih besar daripada dana yang ditanamkan, dan; bahwa investasi asing mengeruk sumber daya alam dengan memberikan pendapatan yang tidak sebanding. Dua proposisi tersebut perlu diuji secara empirik. Ada yang berminat mengujinya?

Sabtu, 04 April 2009

Regulasi Outsource Diskriminatif

Pada dasarnya, outsourcing merupakan spesialisasi kerja yang meningkatkan efisiensi produksi. Secara makro, output nasional dan kesejahteraan masyarakat bisa meningkat karena outsourcing ini.

Kesalahan terletak pada regulasi yang mendiskriminasi pekerja outsourcing dengan pekerja tetap. Pekerja tetap berhak mendapatkan perlindungan dan pesangon, sementara pekerja outsource tidak mendapatkannya. Perbedaan standar kesejahteraan ini menjadi celah regulasi yang dimanfaatkan perusahaan untuk menghemat biaya tenaga kerja. Perusahaan tidak lagi melakukan outsource untuk tujuan spesialisasi, melainkan untuk menghindar dari kewajiban menjamin kesejahteraan pekerja tetap.

Jika motif penghindaran ini mendistorsi keputusan perusahaan dalam mengelola tenaga kerja, yakni perusahaan merekrut tenaga outsource yang berkinerja lebih buruk daripada pekerja tetap, maka dampaknya justru menurunkan efisiensi dan kualitas output perusahaan.Ini bukan salah outsource, tapi salah regulasi yang diskriminatif.

Senin, 02 Maret 2009

Risiko Pembiayaan Likuiditas Bank Syariah

(dimuat di Republika, 3 Maret 2009)

Pada 10 Desember 2008 lalu, BI menerbitkan dua aturan mengenai instrumen moneter syariah, yakni Peraturan BI No 10/36/PBI/2008 tentang Operasi Moneter Syariah dan Surat Edaran BI No 10/44/DPM tentang Tatacara Repo Surat Berharga Syariah Negara (SBSN). Jika dilihat dari timing-nya, penerbitan dua aturan tersebut tampaknya berkaitan dengan kesulitan likuiditas bank syariah di akhir 2008.

Kesulitan likuiditas bank syariah ditandai oleh volume transaksi PUAS yang cenderung meningkat dan SWBI yang cenderung menurun di akhir 2008. Rasio pembiayaan terhadap dana pihak ketiga (FDR) perbankan syariah yang bergerak di sekitar angka 100 persen membuat mereka rawan krisis ketika terjadi penarikan simpanan secara serentak dan dalam jumlah besar.

Bank Indonesia menyediakan fasilitas likuiditas bagi perbankan syariah melalui transaksi repo yang berdasarkan akad jual (al-ba'i) dan dilanjutkan dengan janji (al-wa'd) untuk membeli kembali. Perbankan syariah dapat menjual SBSN kepada BI untuk memperoleh likuiditas yang dibutuhkan. Kemudian, bank syariah berjanji untuk membeli kembali surat berharga tersebut pada waktu yang ditentukan. Selain itu, fasilitas repo ini mengenakan biaya sebesar BI rate plus satu persen.

Penggunaan transaksi repo dan BI rate sebagai acuan biaya tentu akan mengundang kontroversi tentang legalitasnya secara syariah. Tampaknya, kecemasan terhadap potensi krisis perbankan syariah membuat penerbitan aturan operasi moneter syariah dilakukan sebelum kajian terhadap kesyariahan dan efektivitas instrumen benar-benar matang. Namun, tulisan ini akan membatasi pembahasan pada sisi dampak ekonominya.

Risiko Kerugian Spread

Di balik niatan untuk membantu bank syariah yang kesulitan likuiditas, fasilitas pembiayaan BI justru berisiko menjadi petaka bagi bank syariah. Dalam situasi perbankan mengalami pelarian uang, BI cenderung menerapkan kebijakan suku bunga tinggi. Biaya fasilitas likuiditas BI dapat melebihi pendapatan bank syariah dari pembiayaan. Bank syariah akan mengalami kerugian yang secara konsep ekuivalen dengan negative spread pada perbankan konvensional.

Dalam situasi ini, bank syariah cenderung menderita kerugian spread lebih besar dari bank konvensional. Perbankan konvensional mampu menyesuaikan bunga kredit mereka dengan kebijakan bunga BI sehingga mereka dapat mencegah atau meminimalkan negative spread. Sementara, bank syariah tidak memiliki fleksibilitas seperti itu. Bank syariah terikat akad dengan nasabah pembiayaan dan tidak dapat mengubahnya tanpa persetujuan pihak nasabah.

Bank syariah mungkin masih dapat menegosiasikan perubahan rasio pembagian laba dengan nasabah pembiayaan mudarobah dan musyarokah. Namun, pada pembiayaan murabahah, yang merupakan komponen terbesar pembiayaan perbankan syariah di Indonesia maupun di dunia, harga barang yang dibiayai dan margin laba bank syariah sudah tidak dapat diubah sekali kesepakatan dan angsuran pembayaran dilakukan.


Basis Mudhorobah

Kemungkinan kerugian spread pada bank syariah berasal dari ketidaksimetrisan antara hak imbal dari penyaluran dan kewajiban imbal pada sumber dana. Bank syariah mendapatkan imbal variabel dari penyaluran dana, tetapi harus membayarkan imbal atau biaya tetap pada BI sebagai sumber dana. Agar terhindar dari kemungkinan kerugian spread itu, pembiayaan likuiditas BI seharusnya juga memungut biaya atau imbal variabel sesuai dengan perubahan pendapatan bank syariah.

Akad mudhorobah merupakan landasan yang lebih tepat bagi pembiayaan likuiditas BI jika ditinjau dari tiga hal. Pertama, dana dari BI pada hakikatnya menggantikan modal dari simpanan mudhorobah yang sedang diwujudkan menjadi aset-aset produktif. Pada saat BI menyuntik dana ke bank syariah, BI dapat dianggap sebagai pemilik baru modal yang mendanai aset-aset produktif tersebut.

Kedua, pembiayaan likuiditas berbasis mudhorobah akan selalu hanya membebani bank syariah kurang dari pendapatannya dari penyaluran dana, dengan rasio sesuai kesepakatan. Dengan demikian, tidak ada potensi kerugian spread pada bank syariah. Kerugian hanya akan terjadi jika biaya operasional melebihi pendapatan bersih bank syariah yang telah dikurangi imbalnya kepada sumber dana. Kerugian semacam ini bersumber dari inefisiensi operasi bank syariah, bukan dari desain transaksi atau akad pendanaan.

Ketiga, pembiayaan likuiditas BI berbasis mudhorobah akan sebanding dengan sumber dana bank syariah lainnya, yakni simpanan mudhorobah dan investasi mudhorobah antarbank (IMA). Kesebandingan ini akan memudahkan pencegahan moral hazard bank syariah untuk menjadikan pembiayaan likuiditas BI sebagai first resort.

Selama BI menetapkan nisbah bagi hasil untuk dananya lebih dari nisbah bagi simpanan mudhorobah dan IMA, bank syariah akan mengambil pembiayaan likuiditas BI hanya jika dua sumber dana pertama tidak mencukupi kebutuhan likuiditasnya. Jika BI memungut biaya atau imbal tetap, ada saat di mana bank syariah melihat dana dari BI lebih murah daripada dari simpanan mudhorobah dan IMA, yakni ketika tingkat ekuivalen imbal dari dua sumber dana tersebut lebih dari biaya dana BI.

Dalam praktik, pembiayaan mudhorobah BI dapat diwujudkan dengan BI membeli sertifikat investasi mudhorobah yang diterbitkan oleh bank syariah. Konsep ini mudah diterapkan karena bank syariah sudah sering menerbitkan sertifikat IMA.

Agar fasilitas pembiayaannya hanya menjadi last resort, BI hanya perlu menjaga agar nisbah bagi hasilnya senantiasa lebih tinggi daripada nisbah simpanan dan IMA. Fasilitas pembiayaan mudhorobah ini juga berpotensi menjadi instrumen kebijakan moneter ekspansif dengan menetapkan nisbah bagi hasil yang lebih rendah dari nisbah simpanan dan IMA.

Selasa, 24 Februari 2009

Dampak Stimulus Amat Kecil, Mungkin Negatif

DPR hari ini mengetok palu untuk meloloskan paket stimulus fiskal 71,3 triliun. Nilai stimulus ini sangat kecil dibandingkan dengan total APBN yang di atas 1000 triliun (7 persen), apalagi jika dibandingkan dengan PDB yang lebih dari 5500 triliun (1,4 persen).


Kenaikan belanja pemerintah sekitar dua puluh triliun hanya meningkatkan PDB 0,4 persen. Dengan kecenderungan rata-rata konsumsi 60 persen dari pendapatan, penghematan pajak 50 triliun akan menambah konsumsi sekitar 30 triliun. Jika seperenam dari konsumsi ini bersumber dari impor, maka PDB hanya naik 25 triliun atau tumbuh lebih tinggi 0,5 poin persen. Jika defisit dibiayai dengan utang luar negeri, total PDB dengan stimulus lebih besar 45 triliun atau tumbuh 0,9 poin persen lebih tinggi dibanding PDB tanpa stimulus.

Dampak stimulus akan lebih kecil jika defisit dibiayai dengan utang domestik. Pemerintah akan bersaing dengan dunia usaha memperebutkan tabungan masyarakat. Pemerintah akan menawarkan bunga yang cukup menarik untuk mendapatkan dana yang cukup. Dunia usaha terpaksa menawarkan bunga lebih tinggi dari pemerintah untuk menarik pemilik dana. Kenaikan tingkat bunga akan mengurungkan sebagian rencana investasi.

Penurunan nilai investasi tidak sebesar obligasi pemerintah yang diterbitkan. Tabungan masyarakat sendiri telah meningkat 20 triliun. Sebagian dari penambahan tabungan tidak akan disalurkan ke investasi apapun, katakanlah 5 triliun digunakan untuk berjaga-jaga atau spekulasi. Pasokan dana untuk investasi meningkat 15 triliun. Kenaikan bunga juga akan menambah pasokan dana untuk investasi dengan mengurangi stok uang yang ditahan masyarakat.

Dengan demikian, tambahan permintaan dana 70 triliun dari pemerintah tidak akan mengurangi investasi swasta dengan nilai yang sama. Kita umpamakan penurunan investasi separuh dari nilai obligasi, yakni 35 triliun. Lima triliun dari nilai investasi yang batal sedianya dibelanjakan pada barang modal yang diimpor, sehingga pengurangan dampak stimulus pada PDB menjadi 30 triliun. Dampak neto stimulus pemerintah hanya menaikkan PDB 15 triliun atau tumbuh lebih tinggi 0,3 persen. Kenaikan PDB hanya sekitar seperlima dari kenaikan defisit.

Dengan dampak sekecil ini, mungkin masih ada yang tetap mendukung stimulus karena kenaikan pertumbuhan sekecil apapun kita perlukan. Jangan lupa bahwa utang untuk menutup defisit menimbulkan biaya berupa bunga. Dengan tingkat bunga obligasi pemerintah 10 persen, manfaat berupa kenaikan 0,3 persen pertumbuhan PDB dan penerimaan pajak masih jauh lebih kecil dari biayanya.

Kerugian masyarakat tergambar terlihat lebih jelas dalam hitungan anggaran negara. Dengan tingkat bunga nominal 10 persen, dari tambahan utang 70 triliun kita harus membayar bunga 7 triliun tiap tahun. Dengan tingkat pajak rata-rata 20 persen, tambahan kenaikan PDB 15 triliun hanya meningkatkan penerimaan pajak 3 triliun. Kekurangan 4 triliun akan diambil dari peningkatan pajak atau pengurangan belanja. Kita dapat menduga bahwa pos belanja yang dipotong adalah belanja modal dan subsidi karena belanja rutin seperti gaji dan biaya operasional sulit dikurangi.

Pada saat obligasi jatuh tempo, pemerintah membayarnya dengan meningkatkan pajak atau mengurangi pengeluaran. Saat itu, pertumbuhan PDB akan lebih lambat dari seharusnya. Hal ini bisa disiasati dengan terus menerbitkan utang baru selama perekonomian belum kembali ke tren jangka panjang. Namun penundaan pembayaran utang berkonsekuensi bertambahnya biaya bunga yang harus dibayar.

Belanja bunga sendiri merupakan transfer pendapatan dari pembayar pajak ke pembeli obligasi pemerintah. Pengurangan pajak yang dinikmati pembayar pajak saat pemerintah menjalankan stimulus harus dibayar dengan bagian pajak yang digunakan untuk membayar bunga utang pemerintah.

Masih mending jika utang pemerintah bersumber dari dalam negeri, sehingga uang pembayaran bunga akan kembali dinikmati oleh penduduk Indonesia dan terhitung dalam PDB. Jika utang diperoleh dari pihak asing, skenario optimis bunga empat persen saja masih tidak dapat dikejar oleh kenaikan pajak yang hanya 0,9 persen.

Dengan perhitungan di atas, desain stimulus fiskal di atas nampaknya tidak layak diterapkan. Dampak jangka pendek amat kecil, dampak neto jangka panjang negatif.

Jumat, 20 Februari 2009

Kerugian Masyarakat dari Regulasi Pupuk

Ahmad Adi Nugroho, pegiat KPPU, memaparkan tata niaga pupuk bersubsidi dalam dua posting (bagian I , bagian II ). Salah satu tabel dalam tulisan bagian kedua memberikan fakta menarik:


Perbandingan Harga Pupuk Urea per Kg Menurut HET dengan Harga Pokok Produksi (HPP) per Kg
Harga Eceran Tertinggi Rp 1.200
[HPP]
PT. Pupuk Sriwijaya Rp 2.100
PT. Pupuk Kaltim Rp 4.052
PT. Pupuk Kujang Rp 2.443
PT. Petrokimia Gresik Rp 2.168

Sumber: Departemen Pertanian

catatan: keterangan [HPP] merupakan tambahan dari saya

Kita dapat melihat bahwa HPP pupuk urea produksi PT Pupuk Kaltim hampir dua kali lebih tinggi dari lainnya.  Ada dua kemungkinan penyebab tingginya HPP PT Pupuk Kaltim:

  • Kualitas pupuk urea produksi PT Pupuk Kaltim lebih baik dari lainnya.
  • HPP mencakup biaya transportasi di mana PT Pupuk Kaltim menanggungnya lebih besar dari pabrik lain karena wilayah kerjanya mencakup Kalimantan bagian timur dan seluruh wilayah Indonesia Timur

Sepertinya kualitas pupuk urea antarprodusen tidak signifikan berbeda. Faktor biaya transportasi lebih mungkin menjelaskan tingginya HPP PT Pupuk Kaltim.

Pemerintah menetapkan HET dan memberikan subsidi untuk mendukung kebijakan pangan murah. Namun, pencapaian tujuan ini menimbulkan efek samping negatif berikut.

  • Transfer pendapatan dari pembayar pajak kepada pekerja pabrik pupuk dan produsen pengguna pupuk bersubsidi (tidak selalu petani tanaman pangan, namun juga pengusaha perkebunan yang secara ilegal membeli pupuk bersubsidi).  Dengan HET Rp 1.200, masyarakat harus menyubsidi paling sedikit Rp 2.800 per kg urea produksi PT Pupuk Kaltim. Sementara untuk pupuk urea produksi tiga perusahaan lainnya, masyarakat menyubsidi paling sedikit Rp 900 per kg urea.
  • Inefisiensi penggunaan pupuk urea. Petani yang mengejar peningkatan produksi akan menggunakan pupuk urea melebihi takaran efisien. Dampak jangka panjangnya adalah penurunan kualitas hara tanah yang justru semakin mendorong petani untuk menggunakan pupuk lebih banyak lagi.
  • Tidak menariknya penggunaan pupuk organik karena pupuk urea cukup murah dan jauh lebih praktis. Padahal pupuk organik lebih aman bagi kesehatan dan lingkungan.
Penetapan HET dan pemberian subsidi bukanlah penyebab mandeknya inovasi produsen untuk meningkatkan efisiensi. Pada harga yang ditetapkan pemerintah sekalipun, produsen masih memiliki insentif untuk meningkatkan efisiensi karena akan meningkatkan laba mereka.  Efisiensi juga meningkatkan keuntungan dalam situasi harga disubsidi.

Produsen pupuk di Indonesia yang dimiliki negara tidak memiliki insentif untuk melakukan efisiensi karena kinerja mereka tidak diukur dari efisiensinya. Tugas utama BUMN tersebut adalah menyediakan pupuk dalam jumlah yang mencukupi permintaan. Besarnya biaya produksi atau keuntungan tidak menjadi perhatian pemerintah sebagai prinsipal mereka.

Karena itu, langkah pertama untuk meningkatkan efisiensi produksi dan ketersediaan pupuk adalah dengan membuka pintu persaingan bagi produsen swasta. Pemerintah dapat membuat tender yang tidak berpihak untuk menjadi penyedia pupuk bersubsidi. Produsen yang memerlukan subsidi terkecil untuk menyediakan pupuk pada harga sesuai HET akan mendapatkan hak memproduksi pupuk bersubsidi.

Liberalisasi impor pupuk akan memberikan tekanan persaingan yang lebih kuat pada produsen pupuk domestik. Akan tetapi, liberalisasi impor pupuk cenderung menghadapi resistensi politik yang kuat dengan membawa isu kemandirian pangan. Liberalisasi persaingan domestik produksi dan distribusi pupuk lebih mudah diterima selama dapat memberikan hasil berupa pupuk yang lebih murah.

Subsidi harga pupuk perlu dikurangi secara bertahap. Subsidi lebih dari 50 persen dari biaya produksi tidak sehat bagi perekonomian, apalagi bagi produk semacam pupuk kimiawi yang memberikan eksternalitas negatif. Desain subsidi pupuk urea yang memberikan subsidi bagi penggunaan tanaman pangan tapi tidak lainnya sulit dipertahankan. Penyelewengan penyaluran produk bersubsidi di dalam negeri lebih sulit dicegah daripada penyelundupan antarnegara. Ongkos pengawasan kebijakan subsidi ini terlalu besar sehingga tidak mungkin dijalankan sepenuhnya oleh pemerintah. Sebaliknya, subsidi pupuk urea secara keseluruhan akan membutuhkan anggaran subsidi terlalu besar.

Harga eceran tertinggi adalah kebijakan yang paling berbahaya. Kelangkaan pupuk merupakan konsekuensi yang niscaya dari kebijakan HET. Penetapan harga ini mencegah, atau paling tidak memperlambat, respon produsen untuk meningkatkan produksi ketika terjadi kenaikan permintaan. Ketika terjadi kenaikan biaya produksi, produsen terpaksa menurunkan produksi karena mereka tidak diperbolehkan menaikkan harga atau belum mendapatkan kenaikan subsidi. Selain menghilangkan sinyal kelangkaan ketika terjadi permintaan, HET juga menghilangkan insentif pada produsen berupa tambahan laba untuk meningkatkan kapasitas produksi.

Perlunya Liberalisasi Pupuk

(dimuat di Pikiran Rakyat, 16 Februari 2009)

Kelangkaan pupuk selalu menjadi isu politik karena peran besar pemerintah pada penyediaannya. Buruknya pengelolaan pemerintah sering dituding sebagai penyebab masalah. Kita perlu mempertimbangkan kemungkinan lainnya, bahwa justru sistem penyediaan pupuk yang dimonopoli pemerintah itu sendiri yang merupakan akar masalah. Pasar yang bebas dari campur tangan pemerintah boleh jadi lebih mampu mencegah kekurangan pasokan pupuk dan memberikan harga lebih rendah.


Campur tangan besar pemerintah pada penyediaan pupuk merupakan bagian dari upaya pemerintah mengendalikan pasokan dan harga pangan. Penyediaan pangan murah merupakan prioritas pemerintah sejak awal orde baru. Cara yang ditempuh adalah dengan mengendalikan pasokan dan harga input produksi pangan. Agar harga pangan murah, pemerintah mensubsidi harga input produksi pangan.

Di masa orde baru, pemerintah juga mengelola distribusi pangan dan kebutuhan pokok lainnya melalui Bulog. Setelah krisis 1997, atas desakan IMF Bulog dibebaskan dari kewajiban mengelola distribusi kebutuhan pokok. Akan tetapi, liberalisasi penyediaan pangan ini tidak diikuti oleh liberalisasi penyediaan input produksi.



Kegagalan Pemerintah

Kelangkaan pupuk dapat diakibatkan satu atau lebih faktor berikut. Pertama, hambatan di tingkat produsen seperti keterlambatan pengembangan kapasitas produksi untuk memenuhi peningkatan permintaan atau kesulitan mendapatkan input. Kedua, hambatan distribusi seperti kerusakan jalan yang menyebabkan keterlambatan pengiriman. Ketiga, hambatan di tingkat penjual seperti penimbunan, penyelundupan ke pasar pupuk non subsidi, atau tidak memiliki persediaan yang cukup karena pembatasan kuota atau peningkatan permintaan yang tidak diprediksi.

Kelangkaan yang disebabkan hambatan distribusi dan peningkatan permintaan yang tidak diprediksi penjual hanya akan berlangsung sementara. Berakhirnya kelangkaan yang disebabkan penimbunan dan penyelundupan bergantung pada kesigapan aparat hukum untuk menindak pelakunya. Kelangkaan pupuk akan persisten jika disebabkan permintaan yang melebihi kapasitas produksi pupuuk atau kelangkaan input produksi puput yang juga persisten.

Kelangkaan pupuk di Indonesia yang cenderung persisten mengindikasikan bahwa masalah berada pada level produksi. Produsen pupuk telah memberikan keterangan bahwa mereka kesulitan mendapatkan gas sebagai bahan bakar produksi sehingga tidak dapat mencapai kapasitas maksimum. Kebutuhan tambahan pasokan pupuk sebesar 500 ribu ton yang direncanakan diimpor mestinya bisa dipenuhi oleh pabrik pupuk baru Pupuk Iskandar Muda (PIM) yang masih memiliki kapasitas potensial 460 ribu ton. Impor tidak perlu dilakukan jika pabrik pupuk dapat memperoleh tambahan pasokan gas.

Mengapa pabrik pupuk tidak dapat memperoleh pasokan gas? Jika pasokan gas memang langka, pabrik pupuk seharusnya dapat menawar harga lebih tinggi untuk mendapatkan gas yang tersedia. Akan tetapi, pabrik pupuk tidak mungkin melakukannya karena mereka tidak bisa menaikkan harga jual untuk mengkompensasi kenaikan harga gas. Selain itu, pasokan gas tidak mudah dialihkan pada penawar tertinggi setiap saat karena banyak produksi gas telah diikat kontrak-kontrak jangka panjang.

Kalau memang tidak ada harapan untuk menambah pasokan gas bagi pabrik pupuk, tidak ada cara lain untuk menambah persediaan pupuk dan menurunkan harganya kecuali dengan impor. Masalahnya, impor ini tidak bisa segera dilakukan keputusan dan pelaksanaannya karena harus melalui proses politik dan birokrasi di tingkat pusat.

Berkat jasa pers, informasi kelangkaan pupuk ini dapat segera mencapai dan memperoleh perhatian pemerintah pusat. Tidak dapat dibayangkan berapa lamanya informasi ini mencapai tingkat pusat jika mengandalkan jalur informasi birokrasi. Birokrasi di daerah bisa jadi justru menyembunyikan informasi ini agar tidak dinilai berkinerja buruk.

Pengambilan keputusan di pemerintah pusat memerlukan waktu untuk pengumpulan data dan pembahasan hingga mencapai keputusan. Kalaupun pemerintah telah mengambil keputusan, kadangkala pelaksanaannya tertunda karena keberatan dari DPR. Partai-partai ingin mencampuri keputusan ini karena kelangkaan pupuk merupakan isu strategis untuk meraih simpati pemilih.

Lebih jauh lagi, ada individu dan kelompok melancarkan lobi-lobi ke pemerintah dan DPR untuk mendapat keuntungan dari impor pupuk. Apapun bentuk kolusi dan korupsi yang menyertai proses impor ini akan mengakibatkan harga pupuk impor lebih tinggi dari seharusnya.

Sepanjang impor belum dilakukan, tidak ada tambahan pasokan pupuk sehingga kelangkaan terus terjadi. Sebagian petani mau membeli pupuk pada harga lebih tinggi. Nantinya, mereka akan meminta harga jual hasil panen untuk mengkompensasi kenaikan biaya ini. Petani marjinal tidak dapat memperoleh pupuk sehingga hasil panennya menurun. Keduanya akan mendorong harga pangan naik di masa depan.

Monopoli penyediaan pupuk oleh pemerintah menimbulkan kerugian pada petani dan konsumen karena kelambatan respon pemerintah menyebabkan kelangkaan pupuk dan kenaikan harga berlangsung lama. Campur tangan pemerintah yang sedianya menguntungkan petani dan konsumen justru berakibat sebaliknya.



Mekanisme Pasar

Dihadapkan pada masalah kelangkaan yang sama, mekanisme pasar lebih cepat mengembalikan kecukupan pasokan pupuk dan harga ke tingkat semula. Kenaikan harga pupuk di suatu daerah menjadi sinyal kelangkaan pupuk yang segera ditangkap oleh pelaku bisnis pupuk di berbagai wilayah. Pelaku bisnis pupuk akan saling beradu cepat memanfaatkan kesempatan mendapat keuntungan dari kelangkaan pupuk. Jika memang produksi pupuk dalam negeri tidak mencukupi, pedagang pupuk akan mengimpornya dari luar negeri selama terdapat marjin laba positif.

Respon keputusan dan pelaksanaan para pelaku bisnis pupuk ini jauh lebih cepat daripada respon pemerintah. Selama tidak ada syarat ijin pemerintah untuk memproduksi dan mengimpor pupuk, akan terdapat cukup banyak produsen dan pengimpor yang tidak memungkinkan terbentuknya kartel.

Liberalisasi impor pupuk akan memaksa produsen oligopolis pupuk domestik untuk meningkatkan efisiensi. Produsen pupuk domestik yang tidak efisien akan terpaksa tutup. Kita tidak perlu menangisi tergusurnya produsen yang inefiisen tersebut. Mereka selama ini hanya dapat bertahan karena proteksi dan subsidi pemerintah. Kinerja buruk mereka tidak patut dihargai dengan keuntungan.

Selasa, 27 Januari 2009

Efektifkah Stimulus?

Pada posting lalu, saya telah memaparkan rencana stimulus pemerintah dan dampak yang diharapkan. Kali ini, saya akan menganalisis apakah stimulus tersebut akan mencapai tujuannya.

Masalah utama perekonomian kita saat ini berada di sisi ekspor. Krisis di Amerika dan Eropa menjalar ke perekonomian dunia melalui jalur perdagangan internasional. Setiap negara yang menjadikan kedua wilayah itu sebagai tujuan utama ekspor akan mengalami penurunan pendapatan pada sektor ekspor. Amerika Serikat merupakan negara tujuan ekspor Indonesia yang kedua terbesar setelah Jepang. Penurunan ekspor ke Amerika Serikat akan mendorong perusahaan eksportir memberhentikan sebagian atau seluruh pekerjanya.

Sekarang kita lihat rencana stimulus dari pemerintah. Sebagian besar rencana tersebut tidak ada kaitannya dengan sektor ekspor kita. Argumen di balik stimulus tersebut adalah bahwa belanja pemerintah dan konsumsi masyarakat harus didorong untuk mengkompensasi penurunan ekspor, sehingga pertumbuhan ekonomi dan penyerapan pekerjaan dapat terjaga.

Ada empat kritik saya terhadap argumen tersebut. Pertama, pengangguran tercipta pada industri penghasil barang ekspor, akan tetapi stimulus juga disalurkan pada industri-industri selainnya. Stimulus di luar sektor ekspor tidak akan mampu menyerap pengangguran dari sektor ekspor. Hal ini disebabkan penganggur mantan pekerja sektor ekspor belum tentu memiliki ketrampilan untuk dipekerjakan di sektor lain, misal infrastruktur.

Kedua, stimulus pada sektor lain yang sudah mendekati full employment tidak akan efektif menyerap tenaga kerja baru. Belanja pada proyek infrastruktur akan mengalihkan perusahaan dan pekerjanya dari proyek swasta sehingga menurunkan investasi.

Ketiga, stimulus yang dibiayai dengan surat utang akan mengalihkan dana dari investasi swasta. Pemerintah harus menawarkan bunga yang bersaing dengan utang swasta dan imbal saham agar surat utangnya terjual. Dampaknya, swasta menderita biaya modal lebih tinggi dan beberapa proyek investasi tidak lagi layak pada tingkat bunga yang lebih tinggi. Penurunan investasi karena peningkatan belanja pemerintah ini mengurangi dampak stimulus pada pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja.

Keempat, kita perlu memikirkan beban pelunasan utang dan pembayaran bunga bagi pemerintahan mendatang. Penurunan belanja pemerintah atau kenaikan pajak di masa mendatang memperlambat pertumbuhan di masa itu. Apakah kita yakin keadaan ekonomi saat ini sedemikian gawatnya sehingga harus ditolong dengan mengorbankan pertumbuhan ekonomi di masa mendatang?

Rabu, 21 Januari 2009

Mengharap Dampak Stimulus

Pemerintahan SBY berusaha menggenjot kinerja ekonomi di akhir masa jabatannya dengan menggelontorkan stimulus ke sektor riil. Tahap pertama stimulus dari APBN 2009 sebesar 12,5 triliun diwujudkan dalam bentuk potongan pajak PPN, PPh, dan bea masuk. Tahap kedua stimulus masih menunggu pembahasan APBN-P 2009. Dari rencana awal 38 triliun, berita terakhir pemerintah menurunkan janji stimulus menjadi 15 triliun. Selain masih dialokasikan untuk potongan pajak, stimulus kedua ini juga akan diwujudkan dalam bentuk infrastruktur, subsidi, kredit, dan program pemberdayaan. Selain itu, penurunan harga BBM dan tarif angkutan

Dilihat dari wujud stimulus, nampak ada 4 sasaran yang ingin dicapai pemerintah.

Pertama, akselerasi pertumbuhan. Potongan PPh pribadi ditujukan untuk merangsang konsumsi agar dapat mengkompensasi penurunan ekspor akibat krisis global. Pembengkakan belanja pemerintah pada infrastruktur, subsidi, kredit, dan program lainnya juga merupakan jalan pintas untuk mendorong pertumbuhan.

Kedua, mengurangi pengangguran. Pembangunan infrastruktur merupakan program yang paling banyak menyerap tenaga kerja dibandingkan program lainnya. Program kredit UMKM juga menyerap tenaga kerja jika dapat berdampak pada pengembangan skala usaha. Keringanan PPh untuk perusahaan yang dibayangi rencana PHK, terutama karena permintaan ekspor menurun, juga akan mengerem laju penciptaan pengangguran baru. Secara umum, seluruh bentuk stimulus yang dimaksudkan untuk mengakselerasi pertumbuhan juga akan berdampak pada penyerapan tenaga kerja.

Ketiga, pengurangan kemiskinan. Subsidi-subsidi merupakan senjata pengurangan kemiskinan yang langsung menciptakan daya beli. Program pemberdayaan tidak dapat diharapkan dapat memberi hasil dalam jangka pendek.

Keempat, penurunan inflasi.  Memanfaatkan momentum penurunan harga minyak mentah, pemerintah SBY secara bertahap menurunkan harga BBM hingga mencapai 25% serta mendesak agar tarif angkutan turun 10%. Dorongan lebih besar pada penurunan inflasi dilakukan dengan memotong PPN barang jadi dan bea masuk impor, serta melanjutkan berbagai subsidi.

Tiga sasaran pertama sesuai dengan slogan 3 pro yang sering didengungkan SBY sejak awal menjabat, yakni pro poor, pro growth, dan pro job. Sasaran inflasi masuk ke prioritas pemerintah tahun ini, terutama setelah inflasi tahun 2008 menembus 2 digit, yakni 11,06 persen, naik tajam dari tahun 2007 sebesar 6,29 persen. Pemerintah nampaknya ingin memperbaiki prestasi stabilisasi harga sendiri tanpa bergantung pada BI.

Apakah stimulus akan mencapai sasarannya? Tunggu postingan berikutnya… insya Alloh.