Senin, 05 September 2011

Obat Krisis Bukan Kebijakan Moneter, tapi Kebijakan Pembiayaan

Dalam sejarah ekonomi, penurunan nilai mata uang (currency debasement) oleh negara merupakan salah satu penyebab krisis, bukan penyembuh. Ironisnya di masa ini, sebagian besar ekonom percaya bahwa penurunan nilai mata uang adalah salah satu jalan keluar dari resesi. Penurunan nilai mata uang ini dikenal sebagai kebijakan moneter ekspansif, atau kebijakan uang longgar (easy money).

Mayoritas ekonom lebih mempercayai efektivitas kebijakan moneter dalam meredakan siklus ekonomi daripada kebijakan fiskal. Kebijakan fiskal ekspansif berupa defisit menjadi tidak efektif karena kenaikan permintaan utang akibat baru pemerintah akan mendorong tingkat bunga naik dan mengurangi investasi, biasa dikenal sebagai efek mendesak keluar (crowding out). Sementara kebijakan moneter longgar justru berdampak menurunkan tingkat bunga sehingga menarik lebih banyak konsumsi dan investasi.

Namun di saat resesi besar seperti yang dialami Amerika Serikat sejak 2008 hingga sekarang, atau yang dialami Indonesia sejak tahun 1997 hingga sekarang, kebijakan moneter longgar tidak mampu mendorong ekonomi karena sistem intermediasi mengalami kemacetan bukan hanya dari sisi pasokan tapi juga permintaan. Dari sisi pasokan, keruntuhan lembaga keuangan membuat mereka mengurangi penyaluran kredit. Kondisi ekonomi lesu juga mengurangi permintaan kredit untuk investasi maupun konsumsi.

Dalam situasi seperti ini, kebijakan fiskal lebih efektif untuk mendorong perekonomian. Belanja pemerintah bisa ditingkatkan untuk mengkompensasi penurunan belanja rumah tangga dan perusahaan. Crowding out cenderung tidak terjadi di situasi seperti ini karena dana yang masuk ke pemerintah adalah dana yang cari aman, bukan dana yang cari imbalan tertinggi. Kesuksesan pemerintah menghindari crowding out bergantung pada reputasi kreditnya. Jika investor mempersepsi utang pemerintah tidak lebih aman dari utang swasta, maka crowding out tetap akan terjadi.

Jika resesi yang melanda perekonomian masih berskala ringan, maka mayoritas ekonom lebih menganjurkan penggunaan kebijakan moneter ekspansif. Di sinilah titik tembak kritik saya.  Kebijakan moneter ekspansif berkonsekuensi penurunan nilai mata uang. Padahal saya ungkapkan di awal bahwa dalam sejarah penurunan nilai mata uang senantiasa terkait dengan masalah ekonomi, khususnya inflasi.

Argumen pendukung kebijakan moneter adalah bahwa peningkatan jumlah uang beredar akan mendorong tingkat bunga turun sehingga memberi insentif masyarakat untuk mengambil kredit baik untuk konsumsi maupun investasi. Peningkatan inflasi akibat terlalu banyak uang beredar justru dapat menjadi alat untuk untuk mendorong rumah tangga dan perusahaan membelanjakan uangnya. Resesi dalam perekonomian cenderung dibarengi dengan deflasi, sehingga inflasi justru merupakan indikator pemulihan ekonomi.

Jika yang diinginkan adalah penurunan biaya kredit, maka ada alternatif yang lebih cepat memangkas biaya kredit, yakni larang pemungutan bunga atas kredit sama sekali. Orang yang masih membutuhkan pinjaman dapat memperolehnya dengan dua cara. Jika kebutuhan pinjaman untuk produktif, maka pengusaha dapat memperoleh dana dengan menjual sebagian saham kepemilikan perusahaannya pada investor. Jika pinjaman dimotivasi kebutuhan konsumtif, maka orang bisa mendapatkannya tanpa bunga dari keluarga, tetangga, rekanan, dan lembaga sosial.

Pelarangan bunga tidak hanya relevan dalam masa krisis, namun urgensinya semakin terasa di saat krisis. Situasi ekonomi lesu membuat bisnis malas mengambil utang karena jika bisnisnya gagal ia masih harus mengembalikan pokok utang plus membayar bunga. Dalam situasi resesi, bisnis perlu didorong untuk bangkit dengan memberikan pembiayaan yang relatif bebas risiko berupa penyertaan modal.

Solusi ini menghadapi masalah jika investor terlalu takut untuk mengambil risiko dengan menanam modal, bukannya memberikan pinjaman. Apalagi, situasi krisis semakin menurunkan kepercayaan investor bahwa bisnis tersebut dapat mencetak cukup keuntungan. Interaksi antara permintaan dan penawaran modal akan menghasilkan tingkat harga saham yang membawa keduanya pada keseimbangan. Investor akan lebih untung untuk berinvestasi di saat resesi karena harga saham cenderung lebih rendah. Keuntungannya akan meningkat ketika perekonomian pulih karena tingkat imbal investasinya lebih tinggi.

Dengan cara ini, upaya pemulihan resesi tidak perlu lagi melibatkan penurunan nilai mata uang yang merugikan masyarakat berpendapatan tetap. Peningkatan jumlah uang beredar belum tentu tersalurkan ke sektor riil, sebaliknya seringkali justru dimanfaatkan untuk berspekulasi yang dapat ditengarai dari penggelembungan harga aset dan komoditas. Penggelembungan ini sendiri berpotensi untuk menjadi pemicu krisis berikutnya.

1 komentar:

bulba mengatakan...

Menurutku, masalah utama ekonomi adalah kerakusan (greed) yg tak terbendung. Dlm hal ini, kebijakan fiskal dan moneter ga bisa mengatasi.

Jika kerakusan msh jd paradigma para pelaku ekonomi, pelarangan bunga sekalipun cm akan menciptakan 'bunga' baru (dinamakan 'bagi hasil' oleh sebagian orang). Saham yg ga dijamin dividennya aja, orang masih bisa ngitung yield dan risikonya ~ supaya bisa diperbandingkan dg obligasi.

Selain itu, paradigma kerakusan pada dasarnya bersifat menghancurkan perekonomian. Sbg gambaran, perusahaan yg dlm kondisi bullish cenderung enggan mbagi sahamnya krn profit mau dimakan sendiri. Ini menyebabkan sebagian besar rejeki cm terkonsentrasi pd sebagian kecil orang. Dlm kondisi bearish, investor males beli saham kerena risiko tinggi. Tanpa dukungan tambahan modal, ya tambah nukik kondisi perusahaan.

Kalo motif para pelaku ekonomi tidak demikian didominasi oleh kerakusan tapi kebermanfaatan, maka akan terlihat suatu 'keberpihakan' kolektif yg akan menuntun pada kesejahteraan masyarakat ~ bukan sekedar mengandalkan pemerintah utk nggarap yg ga mau digarap swasta. Masalahnya, institusi macam mana yg bisa mengendalikan dan menggerakkan perilaku ekonomi masyarakat?