Jumat, 24 Oktober 2008

Pembatasan Arus Modal, atau Krisis!

Saya kira semua orang yang mengikuti perkembangan situasi ekonomi dari hari ke hari akan memiliki kecemasan yang sama dengan saya akan peluang krisis ekonomi terjadi lagi di indonesia. Sebagaimana krisis sebelumnya di tahun 1997, krisis yang mungkin terjadi akan berawal dari kejatuhan rupiah. Tanda-tanda ke arah sana mulai terlihat: melemahnya mata uang negara-negara Asia kecuali beberapa negara seperti China, kasus default Indover yang 100 persen milik Bank Indonesia, arus balik uang panas dari investor portofolio asing, dan ketatnya penyaluran kredit ekspor.

Kecemasan seperti ini bisa berdampak buruk karena mendorong perilaku individu yang mengejar kepentingan dirinya melakukan tindakan-tindakan yang justru membuat apa yang dicemaskan menjadi nyata. Namun berlagak bodoh atau overconfidence seperti yang pemerintah lakukan juga tidak membantu. Hanya orang awam yang bisa ditenangkan dengan cara itu. Pelaku pasar barang dan uang hanya akan tenang jika mereka mengetahui pemerintah telah melakukan cukup antisipasi terhadap kemungkinan krisis.


Sejauh ini, pemerintah telah menerbitkan perpu jaring pengaman sistem keuangan yang berisi protokol penanganan krisis. BI pada akhirnya mau menyelamatkan Indover untuk menjaga kredibilitas mereka dalam mengelola sistem keuangan dan perbankan.

Untuk menjaga nilai tukar rupiah, BI sempat menaikkan BI rate, namun kemudian menurunkannya kembali karena banyak tuntutan agar BI melonggarkan likuiditas. Pengalaman krisis 1997 memberi pelajaran bahwa kebijakan suku bunga tinggi justru memukul sektor riil dan keuangan sekaligus karena ketidakmampuan para debitur untuk membayar bunga tinggi.

Kini konsistensi BI kembali diuji dengan terus melorotnya nilai tukar rupiah. Agar tidak bertentangan dengan kepentingan melonggarkan likuiditas, BI bisa melakukan intervensi langsung ke pasar valuta asing. Namun cara ini pun tidak akan efektif karena cadangan devisa BI tidak akan cukup untuk melawan arus besar modal keluar yang berlangsung di banyak negara.

Satu-satunya cara yang efektif hanyalah pembatasan arus modal dan devisa, paling tidak berlaku sementara di kala krisis. Sebagaimana suspensi perdagangan bursa saham awal bulan ini, pemerintah dapat membatasi aktivitas pasar yang berpotensi merugikan banyak pihak, padahal pelaku pasar saham hanya sebagian kecil dari rakyat Indonesia. Dalam kasus nilai tukar rupiah, jumlah rakyat yang berpotensi dirugikan jauh lebih banyak. Karena itu, pemerintah semestinya berani mengintervensi pasar lebih jauh untuk menyelamatkan nasib rakyat.

Korea dan Malaysia menerapkan pembatasan arus modal dan valas ini pada krisis mata uang Asia lalu. Hasilnya, dua negara tersebut berhasil meredam dampak krisis jauh lebih baik daripada negara lain. Negara-negara yang meliberalkan arus modal dan valasnya mengalami dampak paling parah.

Modal adalah darah perekonomian. Jika kita mengalami pendarahan akut, kita tidak dapat hanya mengandalkan mekanisme alami tubuh untuk menutup dan menyembuhkan luka tersebut. Pendarahan dalam ekonomi harus distop dulu dengan mengikat sumber pendarahan kuat-kuat.

Semoga pemerintah dan BI segera menerapkan pembatasan arus modal dan valas sebelum terlambat.


Kamis, 09 Oktober 2008

BI Hanya Menjalankan Tugasnya

Ketika Rabu lalu (8/10) BI mengumumkan kenaikan BI rate, sebagian kalangan menyayangkan kebijakan tersebut karena memberatkan dunia usaha. Langkah BI ini dinilai aneh di tengah banyaknya bank sentral di seluruh dunia yang justru menurunkan suku bunga mengikuti inisiatif bank sentral Amerika Serikat.

Walau kebijakan BI dengan bank sentral lain terlihat kontras, namun mereka sebenarnya sama menjalankan tugasnya masing-masing. Bank sentral negara lain berusaha mengurangi dampak krisis keuangan pada sektor riil karena mereka lebih mengkhawatirkan resesi ekonomi daripada risiko inflasi. Sementara Bank Indonesia menitikberatkan pada pengendalian inflasi karena undang-undang mengamanati mereka dengan tujuan tunggal ini.

Lagipula, pekan-pekan terakhir ini rupiah terus mengalami tren melemah yang didorong penarikan dana oleh investor asing. Karenanya, BI memilih menaikkan suku bunga untuk mengimbangi penurunan selisih suku bunga riil dalam mata uang asing akibat pelemahan rupiah tersebut. Dengan demikian, arus modal keluar dapat diminimalkan.

Bagaimanapun, BI tidak boleh terlalu lama mematok suku bunga pada level tinggi. Suku bunga rendah dan pelemahan nilai rupiah lebih menguntungkan bagi sektor riil domestik. Jika pengusaha tidak terbebani pembayaran bunga kredit yang tinggi, mereka dapat menjual produknya dengan harga lebih rendah, sehingga mendorong ekspor dan menurunkan harga domestik. Nilai rupiah yang rendah juga membuat harga produk ekspor terkesan murah bagi negara lain, sehingga ekspor kita akan meningkat dan cadangan devisa bertambah.