Kamis, 29 Desember 2011

Keuangan Islam, Kembalilah ke Jati Dirimu!

Hingga saat ini, sebagian besar kreasi produk keuangan Islam di Indonesia diinisiasi oleh pelaku industri keuangan Islam. Terang saja, motif pelaku ini adalah memenangkan persaingan antara mereka dengan keuangan konvensional. Persaingan antara pelaku industri keuangan terjadi pada aspek harga dan diversifikasi layanan. Permintaan fatwa produk keuangan baru didorong oleh persaingan diversifikasi layanan ini.

Sayangnya, keuangan Islam hanya menjadi pengikut dalam melakukan diversifikasi produk. Dengan demikian, produk keuangan Islam tidak memiliki keunggulan atas produk keuangan konvensional selain label Islam yang mereka bawa. Di sisi harga, produk keuangan Islam selalu kalah dari produk konvensional karena skema multi-transaksi yang digunakan dalam menghasilkan tiruan produk keuangan konvensional senantiasa memerlukan biaya transaksi yang lebih besar daripada skema transaksi tunggal utang berbunga.

Inovasi produk keuangan Islam yang memiliki diferensiasi terhadap produk keuangan konvensional juga menghadapi masalah keasingan bukan hanya dari pasar, tapi juga dari regulator. Produk keuangan Islam yang memiliki keunggulan pada aspek risk-sharing justru mendapat penalti dari regulator keuangan yang bias terhadap keamanan dana nasabah. Penalti tersebut biasanya berwujud kewajiban penambahan modal untuk mengkompensasi peningkatan risiko. 

Inkompatibilitas antara berbagai elemen industri keuangan Islam, mencakup fatwa, regulasi keuangan, dan praktik pelaku, merupakan konsekuensi dari pilihan untuk melakukan perubahan secara gradual. Keunggulan dari strategi gradual ini adalah perubahan itu bisa langsung dijalankan dan terlihat hasilnya walau sedikit demi sedikit dan banyak terkendala masalah. Pilihan strategi perubahan lain, yakni perubahan seketika, hanya mungkin dijalankan jika terdapat momentum cukup kuat yang membuat semua pihak bersedia menerima, atau paling tidak membiarkan, perubahan besar tersebut.

Bahaya terbesar yang dihadapi ketika melakukan perubahan dengan pendekatan gradual adalah kehilangan orientasi. Alih-alih mewarnai industri keuangan yang terjangkiti wabah riba dan gharar, keuangan Islam justru menjadi bunglon yang menyesuaikan warnanya dengan keuangan konvensional serta ikut tertular riba dan gharar.

Kreasi produk keuangan Islam harus menghindari riba dan gharar ini secara substantif. Substansi keduanya tidak akan hilang hanya dengan mengambil jalan memutar melalui penggunaan multiakad dalam membuat replika produk keuangan konvensional.

Terkait produk pembiayaan, lembaga keuangan Islam hanya memiliki skema bagi laba-rugi sebagai pilihan yang bebas riba selama regulator membatasi lembaga keuangan dari melakukan aktivitas sektor riil. Skema jual-beli dan penyewaan akan melanggar batasan regulator tersebut, kecuali jika transaksi jual-beli dan penyewaan itu hanya di atas kertas sedangkan praktiknya adalah sekedar peminjaman uang pada nasabah.

Kerugian lembaga keuangan Islam dari sisi penalti regulator atas risiko pembiayaan bisa dikompensasi dengan return yang lebih besar dari pembiayaan syirkah ini. Mendapatkan ceruk pasar pembiayaan profit-loss sharing sebanding dengan pangsa aset lembaga keuangan Islam yang masih sangat kecil bukanlah  kemustahilan.

Segmen gemuk pasar yang lebih memilih pembayaran tetap (fixed interest) bisa dilayani oleh lembaga keuangan Islam jika regulator telah mengijinkan mereka melakukan aktivitas jual-beli dan penyewaan yang sebenarnya. Kalaupun hal ini tidak pernah terjadi, lembaga keuangan Islam bisa melayani segmen tersebut secara tidak langsung dengan memberikan modal pada produsen dan pedagang untuk menjual secara kredit produk mereka atau menyewakannya pada pelanggan yang tidak ingin membelinya secara tunai.