Jumat, 03 Agustus 2012

Kajian Ekonomi Murabahah Emas


Fatwa DSN MUI no. 77 tahun 2010 tentang Murabahah Emas mengundang pertanyaan dan kajian. Untuk kajian fiqh, bisa didapatkan dari Abdul WasikMas Habib dan Faishol. Sementara untuk kajian ekonomi, saya baru mendapatkannya dari Ali Sakti

Pada artikel ini, saya akan lebih banyak membahas dari sisi ekonomi yang sesuai dengan latar belakang keilmuan saya. Ali Sakti tidak setuju dengan pendapat bahwa emas dan perak telah kehilangan fungsinya sebagai mata uang (tsaman) sehingga boleh dijual secara tidak tunai, sebagaimana barang lainnya. Ia berpendapat bahwa walau emas bukan merupakan mata uang resmi yang dipakai oleh suatu negara, sehingga tidak dipakai sebagai alat tukar, secara de facto emas masih memiliki fungsi uang lainnya, yakni sebagai penyimpan nilai.

Kelemahan argumen ini adalah bahwa uang bukan satu-satunya benda yang bisa menyimpan nilai. Secara umum, benda yang bisa digunakan untuk menyimpan nilai disebut aset. Perbedaan uang dengan aset lainnya adalah uang merupakan satu-satunya aset yang bisa langsung digunakan dalam pertukaran dengan barang dan jasa lain. Sementara, aset non-uang harus dijual dulu untuk mendapat uang yang lalu digunakan untuk membeli barang dan jasa lain.

Jika Ali Sakti menggunakan karakteristik ('illat) penyimpan nilai dari emas untuk memutuskan bahwa emas masih berstatus sebagai mata uang (tsaman), walau tidak lagi bisa digunakan sebagai alat tukar, sehingga tidak bisa dijual secara kredit, maka konsekuensinya semua jenis aset juga berstatus tsaman dan tidak boleh dijual secara kredit.

Konsekuensi yang terlalu luas ini bisa dihindari jika 'illat dibatasi pada penyimpan nilai yang bersifat tidak bisa hancur sendiri. Karakteristik ini dimiliki oleh semua jenis logam mulia, tidak hanya emas dan perak. Dengan demikian, platinum dan jenis-jenis logam mulia lainnya akan terkena hukum yang sama dengan emas dan perak.

Sementara, Imam Syafii mempertegas bahwa emas dan perak secara kebendaan sudah memiliki sifat sebagai tsaman, yang tidak dimiliki benda-benda lain. Sehingga, benda lain akan terkena hukum ribawi ketika menjadi mata uang, sementara emas dan perak tetap terkena hukum ribawi walaupun tidak menjadi mata uang. 

Kesimpulan Imam Syafi'i ini sebenarnya masih membuka pertanyaan, mengapa hanya emas dan perak yang memiliki status tetap sebagai tsaman? Apakah ada karakteristik khusus pada emas dan perak yang membuat status tsaman-nya menetap? Salah satu kemungkinan karakteristik yang menetap di emas dan perak walau sudah tidak menjadi mata uang adalah keawetannya. Jika keawetan ini diterima sebagai illat, maka tidak lagi hanya emas dan perak yang memiliki status tetap sebagai tsaman, sebagaimana telah dibahas.

Saya sendiri cenderung berpendapat bahwa 'illat tsaman tidak hanya terbatas pada emas dan perak, tapi semua jenis benda yang memiliki karakteristik mirip, yakni keawetan. Masyarakat sendiri dalam memilih jenis uangnya selalu mencari benda yang awet. Jika benda tidak awet dijadikan ukuran harga, maka perdagangan akan terhambat karena penjual bisa jadi meminta uang lebih dari harga yang diminta karena kualitas uang sudah memburuk.

Karena sifat keawetan ini menetap di kebendaan logam mulia, termasuk emas dan perak, bisa jadi 'illat tsaman-nya masih berlaku walaupun keduanya sudah tidak lagi digunakan sebagai uang. Namun untuk lebih yakin, sebaiknya kita juga melihat hikmah di balik larangan pertukaran non kontan antara uang yang berbeda jenis. Detil kajian mengenai hikmah larangan ini sudah saya tuliskan di posting sebelumnya.

Pertukaran non kontan antara uang berbeda jenis dilarang karena perubahan nilai tukar antar waktu akan menghasilkan keuntungan di satu pihak dan kerugian di pihak lainnya. Hal ini juga terjadi dalam pembelian tempo emas. Jika harga emas naik di waktu pelunasan, maka pembeli dengan mudah mendapat untung, cukup dengan menjual emasnya ia sudah mampu melunasi utang dan masih menyisakan keuntungan. Keawetan emas, dan logam mulia lainnya, membuatnya bisa disimpan tanpa terjadi penurunan kualitas sehingga bisa dijual kembali dengan kualitas sama pada harga baru yang berlaku. Dampaknya, orang akan tergiur melakukan spekulasi dengan membeli emas secara kredit.

Sebaliknya, jika harga emas turun sementara orang yang membeli emas itu selama ini menyimpannya, ia harus membayar untuk emas tersebut lebih banyak dari harga berlaku. Tidak sebagaimana dalam penjualan tempo barang, kerugian dalam membeli tempo emas ini tidak dikompensasi oleh manfaat penggunaan emas karena emas batangan tidak memiliki manfaat konsumsi.


Kesimpulan

Dari analisis ekonomi terhadap 'illat, saya menyimpulkan bahwa larangan riba fadl pada emas dan perak masih berlaku walau keduanya sudah tidak lagi menjadi uang karena kemungkinan 'illat sebenarnya adalah sifat keawetan dari logam mulia ini. Pertukaran tempo antar mata uang cenderung menyebabkan kerugian di satu pihak tanpa kompensasi dan cenderung mendorong spekulasi. Karenanya, menurut saya pembiayaan murabahah pada emas batangan masih terkategori riba fadl. 

Ekonomika Riba Fadl

 Sumber hukum riba fadl adalah hadits Nabi Muhammad saw. berikut: 
“(Jual beli) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya'ir dengan sya'ir, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam (dengan syarat harus) sama dan sejenis serta secara tunai. Jika jenisnya berbeda, juallah sekehendakmu jika dilakukan secara tunai.” (riwayat Muslim, Abu Daud, Tirmizi, Nasa'i, dan Ibnu Majah)

Untuk empat komoditas selain emas dan perak, ulama cenderung bersepakat bahwa 'illat ribawi-nya adalah karakteristik benda itu bisa ditimbang atau diukur. Mahmoud el-Gamal (2006) menginterpretasi secara ekonomi bahwa yang dimaksud adalah bahwa benda itu bersifat fungible, yakni bisa saling menggantikan karena cenderung standar.

Mahmoud el-Gamal juga mengutip pendapat Ibnu Rushd bahwa tujuan dari larangan tambahan dan penundaan pada pertukaran antara komoditas  fungible adalah untuk menjamin keadilan. Bagi komoditas yang tidak terstandarisasi, pertukaran pada kuantitas yang sama tidak dimungkinkan, sehingga keadilan dicapai hanya dengan menjual barang yang dimiliki pada harga yang berlaku, lalu uang hasil penjualan itu digunakan untuk membeli barang yang diinginkan. Namun untuk barang yang terstandarisasi, pertukaran pada kuantitas sama dimungkinkan, sehingga keadilan dipastikan dengan mewajibkan cara itu.

Namun untuk emas dan perak, terdapat perbedaan antara ulama apakah 'illat ribawi-nya adalah karakteristik bisa ditimbang atau diukur (fungible), atau karena keduanya merupakan alat tukar dan nilai harga (tsaman), yakni sebagai uang. Emas dan perak dibedakan dari komoditas lain karena untuk barang selain emas dan perak boleh ditukarkan dengan keduanya secara non tunai, sementara emas dan perak harus ditukarkan di antara keduanya secara tunai.

Kebolehan pertukaran non tunai, baik salam maupun jual kredit, antara barang fungible dengan emas dan perak, atau uang secara umum, kemungkinan didorong oleh motivasi yang sama dengan kebolehan utang-piutang yang melibatkan pertukaran uang dengan uang secara tidak tunai. Motivasinya adalah kemanfaatan yang besar dalam transaksi non tunai tersebut.

Dengan demikian kita mendapati kebolehan pertukaran non tunai antara barang fungible dengan uang pada harga yang disepakati, dan antara uang yang sejenis dengan kuantitas yang sama. Sementara pertukaran antara jenis uang yang berbeda menggunakan harga yang disepakati, tapi harus tunai.

Bahwa rasio pertukaran harus sebanding antara uang yang sejenis bisa dipahami untuk menjamin keadilan. Sementara rasio pertukaran sesuai kesepakatan antara barang dan uang serta antara uang beda jenis bisa dipahami karena benda yang berbeda jenis tidak mungkin ditukar pada kuantitas yang sama. 

Yang lebih sulit dipahami adalah mengapa perbedaan jenis di antara uang berdampak pada larangan pertukaran non tunai. Jika kembali mencermati hadits riba,sebenarnya larangan pertukaran non tunai antara jenis yang berbeda ini tidak hanya berlaku pada uang, tapi juga pada barang fungible lainnya. 

                                   Rasio Pertukaran         Non-tunai
Fungible vs Uang         Harga Pasar                Boleh
Uang sejenis                Sebanding (1:1)           Boleh (Pinjaman)
Fungible sejenis           Sebanding (1:1)           Boleh (Pinjaman)
Uang beda jenis           Harga pasar                Tidak boleh
Fungible beda jenis      Harga pasar                Tidak boleh

Salah satu kemungkinan bolehnya transaksi non-tunai untuk pertukaran barang vs uang adalah karena kebutuhan manusia untuknya sangat besar, dan akan mendorong penciptaan nilai tambah (produksi). Manfaat produktif ini lebih besar dan lebih pasti daripada potensi bahaya ketidakadilan dari perubahan nilai tukar antarwaktu di antara barang dengan uang. Kalaupun salah satu pihak dirugikan oleh perubahan nilai tukar, kerugian itu terkompensasi oleh manfaat pertukaran

Pertukaran uang beda jenis dengan tempo dilarang karena perubahan nilai tukar antara kedua mata uang ini akan menghasilkan keuntungan bagi satu pihak dan kerugian bagi pasangan transaksinya. Pertukaran uang tidak memberikan surplus manfaat seperti pertukaran barang dengan uang, sehingga tidak ada kompensasi bagi pihak yang merugi. 

Sementara transaksi qardh (hutang uang) tanpa tambahan (riba), yang sejatinya adalah pertukaran uang sejenis antarwaktu, dibolehkan bukan karena manfaat produksi yang mutualis, tapi karena motif menolong dari pemberi pinjaman. Pemberi pinjaman tidak mungkin mencari keuntungan jika ia memberikan pinjaman tanpa meminta tambahan. Sekalipun nilai riil pinjaman itu naik di saat pengembalian, pemberi pinjaman bisa mendapatkan hasil yang sama dengan menyimpan sendiri uang itu, tanpa harus meminjamkannya. Demikian pula sebaliknya, pemberi pinjaman menghadapi risiko kerugian sama ketika nilai riil  uang turun  baik uang itu dipinjamkan ataupun disimpan sendiri.

Ketika ia meminjamkan, ia justru menghadapi risiko pinjamannya tidak dikembalikan. Namun kerugian ini dikompensasi oleh pengalihan tanggung jawab dalam menjaga harta. Jika seseorang menyimpan sendiri uangnya, ia menghadapi risiko perampasan. Namun dengan meminjamkannya, beban mengamankan harta itu ditangun oleh peminjam.

Di sisi peminjam, manfaat sudah pasti didapatkan dari uang pinjaman, sementara kerugian jika terjadi kenaikan nilai riil pinjaman bersifat tidak pasti. Kalaupun memang terjadi kerugian itu, manfaat dari pinjaman uang sudah mengkompensasinya. Selain itu, masih ada kemungkinan nilai riil pinjaman justru turun