Senin, 02 November 2009

Memacu Pertumbuhan Bank Syariah

(dimuat di rubrik Opini majalah Sharing edisi November 2009)

Pada akhir tahun 2008 lalu, banyak pemerhati ekonomi syariah kecewa dengan kegagalan bank syariah mencapai target 5 persen pangsa aset perbankan nasional. Nampaknya kekecewaan itu akan berlanjut tahun ini karena hingga akhir bulan Agustus lalu aset perbankan syariah masih 2,4 persen dari aset perbankan nasional.

Walau pangsa aset gagal mencapai target, namun dari sisi pertumbuhan aset bank syariah sebenarnya menunjukkan prestasi sangat baik tahun lalu, yakni mencapai 50 persen. Kenaikan aset ini jauh lebih tinggi daripada tahun 2007 yang hanya tumbuh 23,6 persen. Rata-rata pertumbuhan aset bank syariah yang sekitar 30 persen juga masih dua kali lipat dari pertumbuhan aset bank konvensional.

Namun angka menggembirakan ini tidak cukup memuaskan jika tujuannya adalah agar bank syariah bisa sejajar dengan bank konvensional sesegera mungkin. Jika rata-rata pertumbuhan aset bank syariah bertahan sekitar 30 persen, dan bank konvensional sekitar 15 persen, maka butuh waktu 32 tahun agar aset bank syariah bisa menyamai bank konvensional.

Dapatkah kita bersabar selama itu sekedar untuk menyamai bank konvensional, belum mendominasinya? Satu-satunya cara memangkas waktu adalah dengan mempercepat pertumbuhan bank syariah. Hambatan-hambatan perlu disingkirkan dan perlu langkah-langkah terobosan agar bank syariah bisa melaju lebih cepat


Hambatan

Ada beberapa dugaan sebab kelambanan pertumbuhan bank syariah ini. Pertama, masyarakat yang sadar syariah sebenarnya berjumlah banyak dan sebagian besar masih belum tergabung dalam bank syariah manapun. Akan tetapi, mereka kecewa pada bank syariah yang tidak memenuhi harapan atau standar kesyariahan mereka. Kelompok masyarakat ini tidak bersedia pindah dari bank konvensional ke bank syariah karena menganggap tidak ada bedanya menabung dan meminjam di bank konvensional atau bank syariah.

Hambatan juga terjadi dari kebijakan industri keuangan. Hingga awal 2008 lalu, bank syariah tidak memiliki instrumen investasi yang likuid sebagaimana bank konvensional. Terpaksa bank syariah menaruh seluruh DPK di pembiayaan yang berisiko dan tidak likuid. Risiko pembiayaan dan risiko likuiditas yang tinggi membuat bank syariah menerapkan marjin laba lebih tinggi daripada bank konvensional. Hal ini menyebabkan bank syariah sulit bersaing dengan bank konvensional baik pada sisi pendanaan maupun pembiayaan.

Aspek kekeliruan kebijakan lainnya adalah penerapan aturan kehati-hatian (prudential) pada bank syariah yang sama dengan yang diterapkan pada perbankan konvensional. Padahal, bank syariah pada prinsipnya harus mau menanggung risiko pembiayaan yang tinggi karena mengandalkan akad bagi hasil. Dipaksa oleh aturan kehati-hatian yang ketat, bank syariah pada praktiknya lebih banyak menggunakan akad jual-beli yang mirip dengan kredit konvensional. Kemiripan ini menimbulkan masalah kedua di atas, di mana masyarakat yang peduli syariah menjadi tidak peduli terhadap bank syariah.

Kemungkinan terakhir, bank syariah sulit tumbuh cepat karena mayoritas bank syariah saat ini merupakan cabang atau anak perusahaan bank konvensional. Tentunya bank konvensional sebagai induk hanya akan merestui perkembangan anaknya selama tidak mengganggu dirinya. Begitu bank konvensional merasa terusik oleh bank syariah anaknya, ia akan menghambat perkembangan si anak tanpa harus mematikannya.


Mengatasi hambatan

Kelambatan pertumbuhan bank syariah bisa disebabkan oleh salah satu atau kombinasi dari berbagai kemungkinan sebab di atas. Bank syariah dapat kembali tumbuh cepat jika hambatan-hambatan tersebut diatasi.

Dari sisi bank syariah sendiri, mereka harus merombak desain produk dan cara kerja agar masyarakat dapat dengan jelas melihat perbedaan mereka dengan bank konvensional. Perbedaan yang paling jelas dapat dilihat adalah jika bank syariah menggunakan akad bagi hasil dalam pembiayaan produktif mereka.

Akad jual beli hanya digunakan untuk pembiayaan konsumtif, namun praktiknya harus diperbaiki sehingga bank syariah berlaku sebagaimana penjual, bukan kreditor. Sebagai penjual, bank syariah harus bisa menyebutkan barang apa yang ia jual dan melakukan sendiri pembelian barang dagangnya, bukan diwakilkan lagi ke pembeli sehingga kelihatan menyiasati akad untuk mensyariahkan praktik kredit konvensional.

Kondisi likuiditas bank syariah kini sudah membaik karena sejak pertengahan 2008 tersedia SBI Syariah dan Sukuk Negara sebagai instrumen investasi yang likuid. Di sisi lain, persoalan aturan kehati-hatian nampaknya belum akan diperbaiki dalam waktu dekat. Karenanya, bank syariah masih terdorong untuk lebih mengembangkan pembiayaan jual beli yang berisiko lebih kecil daripada pembiayaan bagi hasil.

Sejak 2008, beberapa unit usaha syariah sudah dilepaskan (spin off) menjadi bank umum syariah. Pelepasan ini sudah merupakan langkah maju karena bank syariah tersebut akan lebih bebas mengelola dan bersaing dengan bank induknya. Namun sebagaimana telah disampaikan, kepemilikan bank induk ke bank syariah baru hasil pelepasan ini berpotensi tetap menyisakan kendali dari bank induk, sehingga perkembangan bank syariah baru ini tidak bisa maksimal. Walau demikian kita masih bisa berharap banyak karena sudah ada contoh sebelumnya di mana bank umum syariah hasil pelepasan bisa berkembang pesat, jauh melebihi cabang-cabang syariah bank konvensional.


Terobosan

Setelah hambatan hilang, bank syariah bisa tumbuh lebih cepat, namun mungkin belum cukup cepat. Perlu langkah-langkah terobosan yang bisa semakin mempercepat pertumbuhan bank syariah. Pertama, pemain baru perlu didatangkan untuk mendirikan bank syariah di Indonesia. Kedua, bank konvensional bisa dikonversi seutuhnya menjadi bank syariah.

Bank syariah baru yang tidak lahir dari induk konvensional berpotensi untuk tumbuh lebih cepat dan lebih progresif dalam menerapkan prinsip-prinsip syariah pada produk perbankan. Pemerintah perlu melonggarkan syarat pendirian bank syariah dan membuka peluang lebar-lebar bagi investor domestik maupun asing yang berniat mendirikan bank syariah.

Pemerintah juga bisa intervensi langsung dengan mendirikan BUMN bank syariah. Langkah ini tidak tabu diambil pemerintah, walau nampak bertentangan dengan arus privatisasi. Perkembangan industri keuangan di negara berkembang seringkali harus diinisiasi oleh pemerintah. Faktanya, sebagian besar bank konvensional besar saat ini pada awalnya merupakan BUMN yang kemudian diprivatisasi. Bank syariah bentukan pemerintah inipun suatu saat bisa diprivatisasi, jika perlu.

Skala intervensi yang lebih besar dapat dilakukan pemerintah dengan mengharuskan bank konvensional untuk beralih sepenuhnya menjadi bank syariah. Intervensi besar ini bukan sebuah langkah gegabah, namun dilandasi untuk menjaga kepentingan publik.
Perbankan konvensional mengandung risiko besar terkena krisis. Negara dan masyarakat mengeluarkan biaya besar untuk mencegah terjadinya krisis ini, yakni dengan melakukan penjaminan simpanan. Biaya jauh lebih besar akan ditanggung masyarakat jika krisis benar-benar terjadi. Pengalaman krisis perbankan tahun 1997 telah menelan biaya ratusan triliun.

Mengkonversi sepenuhnya perbankan konvensional menjadi perbankan syariah meniadakan kebutuhan biaya tersebut. Penyesuaian otomatis sisi kewajiban terhadap sisi aset membuat bank syariah terhindar dari risiko gagal bayar (default) pada penabung.
Sudah menjadi sifat industri keuangan bahwa bentuk dan perkembangannya sangat ditentukan oleh kebijakan pemerintah. Bentuk industri keuangan saat ini adalah buah dari kebijakan di masa lalu yang dipertahankan hingga sekarang. Maka bukanlah sebuah keanehan jika pemerintah menata ulang kebijakan dan bentuk industri keuangan demi kepentingan masyarakat.