Selasa, 18 Maret 2008

Reregulasi Pasar Keuangan

Investor Daily (18/3) memberitakan bahwa krisis finansial di AS mendorong spekulan memindahkan uangnya dari surat berharga ke komoditas primer, sehingga harga komoditas terdorong naik. Yang menarik adalah tanggapan dari penulis berita terhadap perilaku investor finansial ini.

Kita tidak bisa menyalahkan ulah para investment banker dan hedgefunds yang kini menyerbu komoditas pangan. Kegiatan utama mereka adalah melipatgandakan keuntungan. Di mana ada potensi keuntungan, ke sana mereka pergi. Seperti air yang selalu mengalir ke tempat yang rendah, para pengelola dana pun selalu mencari lahan investasi yang memberikan keuntungan.


Benarkah perbuatan investor finansial ini tidak salah? Apakah ada permasalahan etik di industri keuangan? Jika ada permasalahan etik, perlukah ditegakkan dengan regulasi?

Salah-benar bergantung pada standar yang digunakan. Jika standar etika digunakan, maka orang biasanya berkelit dengan mempertanyakan standar etika siapa yang akan digunakan. Maka standar paling jelas adalah hukum yang berlaku. Selama hukum tidak melarang perbuatan investor tersebut, maka tidak ada yang salah dari perbuatan tersebut.

Walau demikian, dalam negara demokrasi yang tidak mengenal absolutisme hukum, masyarakat dapat mengupayakan perubahan hukum yang merugikan mereka. Jika masyarakat merasa bahwa kegiatan spekulasi investor merugikan mereka, maka masyarakat dapat menuntut lembaga perwakilan untuk membuat aturan yang melarang kegiatan tersebut.

Bagaimanapun juga, suatu aturan tidak dapat diterbitkan hanya berdasarkan reaksi masyarakat awam. Pendapat para ahli juga menjadi pertimbangan. Di sinilah ekonom berperan menyampaikan argumentasi apakah aturan lama (baru) telah (akan) membawa manfaat atau bencana pada masyarakat.

Investasi yang membawa manfaat langsung pada masyarakat adalah pembelian alat dan bahan produksi pada awal dan selama beroperasinya perusahaan. Aktivitas di pasar keuangan yang berkaitan langsung dengan investasi ini berada di pasar primer. Sementara pasar sekunder hanya memindahkan kepemilikan instrumen investasi di antara para investor.

Instrumen derivatif lebih renggang lagi terkait dengan aktivitas riil perusahaan atau perekonomian. Instrumen derivatif menjadi pisau bermata dua. Pada satu sisi, instrumen derivatif bermanfaat untuk melindungi pembelinya dari risiko. Di sisi lain, instrumen derivatif sering digunakan untuk spekulasi yang justru membawa risiko pada perekonomian.

Perlu pihak ketiga yang menjadi pengawas dari aktivitas keuangan yang mempromosikan jenis-jenis transaksi dan instrumen keuangan yang bermanfaat dan menyeleksi agar transaksi yang merugikan masyarakat tidak dilangsungkan. Pihak ketiga ini biasanya adalah pemerintah, melalui badan pengawas pasar uang. Departemen Keuangan telah memiliki Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam). Akan tetapi, Bapepam belum menjalankan fungsi seleksi jenis transaksi tersebut. Jangankan Bapepam, House Financial Services pemerintah AS saja baru mengeluarkan wacana pengetatan supervisi dan regulasi terhadap pasar finansial yang kembali menjerumuskan AS ke dalam krisis.

Mobilitas modal ke berbagai negara membuat negara-negara kesulitan meregulasi aktivitas pasar uang. Pemerintah masing-masing negara khawatir jika mereka meregulasi aktivitas investor, investor tersebut akan melarikan uangnya ke negara lain di mana mereka dapat lebih bebas.

Aktivitas modal lintas-negara ini hanya dapat diatur melalui regulasi yang juga bersifat lintas-negara. Koordinasi kebijakan pengaturan pasar keuangan antarnegara akan mempersempit pilihan investor karena banyak negara menerapkan peraturan yang sama.

Jumat, 14 Maret 2008

Flight to commodities, sampai kapan? - Helmi Arman

Analisis Helmi Arman di Bisnis Indonesia (10/03/2008) pada perkembangan harga komoditas primer menyimpulkan bahwa kenaikan harga belakangan ini disebabkan lebih banyak oleh pengalihan arus likuiditas dari instrumen keuangan daripada faktor fundamental atau pelemahan dolar AS. Untuk kasus minyak, saya menilai pengalihan arus likuiditas itu hanya memperkuat tren kenaikan yang memang didorong oleh kekurangan pasokan minyak. Sedangkan kenaikan harga emas dipengaruhi bersamaan oleh pelemahan dolar dan spekulasi dari pengalihan likuiditas ini.

Flight to commodities, sampai kapan?

oleh : Helmi Arman (Ekonom Bahana Securities)


Saat ini, dunia menghadapi anomali. Di tengah prospek melesunya pertumbuhan ekonomi dunia, harga komoditas primer justru melambung tinggi. Sampai kapankah tren ini berlanjut?

Sumber daya alam yang menjadi sumber energi memang semakin langka. Namun, kenaikan harga komoditas primer belakangan ini yang cepat tampaknya sulit dijustifikasi dengan alasan kelangkaan.

Pertumbuhan permintaan dunia terhadap komoditas primer hampir dipastikan melambat. Hal ini karena prospek resesi di Amerika Serikat dan dampak negatifnya terhadap perekonomian global.

Alasan yang sering dikemukakan untuk menjelaskan pesatnya kenaikan harga komoditas belakangan ini adalah melemahnya nilai dolar AS terhadap mata uang negara-negara besar lainnya. Sejak pertengahan tahun lalu, dolar AS melemah sebesar 16% terhadap yen dan 19% terhadap euro.

Karena perdagangan komoditas primer didenominasikan dalam satuan dolar AS, kenaikan harga komoditas itu sering diasosiasikan dengan pelemahan mata uang tersebut. Namun, argumentasi ini dapat dengan mudah disanggah, karena penurunan nilai dolar AS jauh lebih kecil dibandingkan dengan kenaikan harga komoditas primer.

Contohnya, dalam kurun waktu yang sama, harga minyak mentah dunia naik hampir 40%. Harga emas pun meningkat 60%.

Artinya, harga komoditas memang semakin mahal bagi keseluruhan dunia terlepas dari pelemahan mata uang yang menjadi kuotasi harganya. Mengapa hal ini bisa terjadi?

Peranan premi spekulatif dalam kenaikan harga komoditas primer tampaknya memang sangat kental. Awal 2007, perekonomian Asia diprediksi mampu bertahan menghadapi penurunan pertumbuhan ekonomi AS.

Namun, ekspektasi tersebut mulai sirna. Hal ini terlihat dari kecenderungan melemahnya kinerja berbagai indeks harga saham di Asia sejak kuartal ketiga 2007.

Sebagai contoh, indeks harga saham di Korea (Kospi), Jepang (Nikkei), bahkan Filipina (PSE) turun lebih dari 20% dibandingkan dengan posisi tertingginya pada akhir 2007. Hanya indeks harga saham di Indonesia [Bursa Efek Indonesia] yang cukup bertahan, itu pun hanya ditopang oleh kenaikan nilai saham perusahaan yang bergerak di sektor pertambangan.

Pada saat pertumbuhan ekonomi dunia melemah, kita sering menyaksikan terjadinya gejala flight to quality, yaitu beralihnya arus likuiditas global mencari instrumen investasi yang dianggap paling aman.

Secara historis, surat perbendaharaan negara AS (US Treasury Securities) banyak menjadi tujuan pelarian.

Namun, saat ini kondisinya berbeda. Karena dolar AS berada dalam tren melemah dan tekanan inflasi di Negeri Paman Sam itu meningkat, flight to quality menuju US Treasurys tampaknya tidak terjadi.

Berdasarkan data, pembelian neto US Treasury Securities oleh investor di luar AS justru menunjukkan tren menurun. Rata-rata berjalan (six month moving average) pembelian neto surat berharga US Treasury turun dari US$94 miliar pada Juni 2007 menjadi hanya US$36,2 miliar pada Desember 2007.

Jadi, pada saat pertumbuhan dunia melambat dan investasi saham dijauhi, tidak terlihat adanya flight to quality signifi-kan menuju pasar US-treasury. Lantas, kemanakah likuiditas dunia mengalir?

Mungkin yang kita saksikan sekarang adalah flight to commodities! Komoditas primer, terutama energi, menjadi tujuan investasi, karena dianggap semakin langka.

Kecenderungan ini tidak bisa dibuktikan. Namun, sulit pula dipungkiri, karena pada Februari saja, misalnya, indeks harga komoditas naik hampir 20%!

Sampai kapankah tren ini berlanjut?

Ada alasan kuat mengapa kita boleh memperkirakan harga komoditas akan tetap berada dalam tren menanjak tahun ini. Periode kontraksi perekonomian di AS biasanya terjadi dalam kurun waktu 6-16 bulan.

Melihat besarnya dampak krisis subprime mortgage yang dihadapi saat ini, sangat mungkin AS masih berada dalam kondisi resesi selama 2008. Dalam kondisi seperti itu pula, the Fed diperkirakan terus memotong suku bunga dan memimpin pelemahan nilai dolar AS. Selama itu pula, komoditas primer bisa terus menjadi tujuan penempatan dana investor global.

Prospek berlangsungnya flight to commodities ini membawa implikasi yang serius bagi Indonesia. Isu yang paling hangat adalah menyangkut RAPBN-P 2008.

Realisasi harga rata-rata minyak mentah dunia tahun ini kemungkinan besar berada dalam asumsi RAPBN-P 2008, yaitu sebesar US$83 per barel.

Artinya, beban subsidi BBM berisiko membengkak melebihi anggaran. Defisit anggaran pun bisa melebar dan lebih mendorong kenaikan imbal hasil obligasi.

Kaum Petani dan Paradoks Produktivitas Hasil Pertanian - Khudori

Kompas (6/3/2008) memuat analisis Khudori mengenai karakteristik sektor pertanian padi dan kebijakan pembelian Bulog. Struktur pasar gabah merugikan petani sebagai produsen, sementara struktur pasar beras merugikan konsumen. Pada kedua pasar tersebut, pengolah dan pedagang menjadi pihak yang menikmati rente. Pemerintah sendiri tidak berbuat banyak untuk memperbaiki situasi ini.

Kaum Petani dan Paradoks Produktivitas Hasil Pertanian
oleh
Khudori

Setiap usaha tani, tak terkecuali usaha tani padi, memiliki ketergantungan terhadap cuaca dan iklim. Ketergantungan ini menghasilkan irama tanam dan panen yang (hampir) ajek.

Produksi beras utama dihasilkan pada empat bulan panen raya (Februari-Mei), mencapai 60 persen-65 persen dari total produksi nasional. Produksi berikutnya dihasilkan pada musim panen gadu I (Juni-September) dengan produksi 25 persen-30 persen. Sisanya dihasilkan pada musim paceklik (Oktober Januari). Perubahan iklim membuat irama tanam dan panen kacau.

Irama panen yang tidak merata membuat harga berfluktuasi. Harga gabah/beras melorot ketika panen raya, sebaliknya harga gabah/beras naik tajam saat paceklik.

Nasib petani terombang-ambing di antara dua kutub itu. Ini terjadi karena daya tawar petani lemah dalam perdagangan gabah sebab surplus jual dan kemampuan menyimpan gabah rendah, sedangkan kebutuhan likuiditasnya tinggi.

Petani menjual seluruh gabah segera setelah panen dalam bentuk gabah kering panen (GKP). Padahal, kualitas gabah amat dipengaruhi cuaca. Saat hujan/mendung mutu GKP amat buruk. Dengan karakteristik demikian, pasar gabah bersifat monopsonistik dan tersegmentasi secara lokal.

Adapun penawaran gabah petani amat inelastis. Pasar gabah lokal di tingkat petani tak sempurna, inefisien, dan sangat tidak adil (merugikan petani, tetapi menguntungkan pedagang).

Perpaduan

Perpaduan antara produksi padi yang fluktuatif, penawaran gabah yang inelastis, dan pasar gabah yang monopsonistik membuat fluktuasi harga gabah di level petani amat tinggi dan tak menentu.

Artinya, di samping risiko produksi, petani juga menghadapi risiko harga. Jadi secara keseluruhan risiko usaha tani padi amat tinggi.

Fluktuasi produksi dan harga juga jadi risiko usaha pedagang gabah (mitra Bulog). Namun, karena daya tawarnya tinggi, risiko diinternalisasikan pedagang ke ongkos (margin) pemasaran yang tinggi. Terjadilah paradoks produktivitas.

Porsi terbesar nilai tambah peningkatan produktivitas usaha tani dinikmati mereka yang di luar usaha tani. Akibatnya, pendapatan riil petani kian tertinggal jauh dari pendapatan mereka di sektor non-usaha tani.

Karakteristik yang sama terjadi pada pasar beras: harga produksi pertanian di tingkat konsumen dan di tingkat produsen bersifat asimetri (Simatupang, 2001).

Ini berarti peningkatan harga beras di tingkat konsumen ditransmisikan tidak sempurna dan lambat ke harga gabah di tingkat petani. Adapun penurunan harga beras di tingkat konsumen ditransmisikan sempurna dan cepat ke harga gabah di tingkat petani.

Sebaliknya, peningkatan harga gabah di tingkat petani ditransmisikan sempurna dan cepat ke harga beras di tingkat konsumen, sedangkan penurunan harga gabah di tingkat petani ditransmisikan tidak sempurna dan lambat ke harga beras di tingkat konsumen. Artinya, fluktuasi harga beras atau gabah cenderung merugikan petani dan konsumen. Kalaupun ada manfaatnya, yang menikmati adalah pedagang dan penggilingan padi.

Rencana Bulog

Dalam kondisi demikian, rencana Bulog (Kompas, 19/2/8) memberlakukan tiga syarat tambahan baru—derajat sosoh 95 persen, butir kuning maksimal 3 persen, dan kandungan menir maksimal 2 persen—di luar dua syarat instruksi presiden (kadar air GKG maksimal 14 persen dan kadar hampa maksimal 3 persen) merupakan malapetaka baru.

Bulog boleh berdalih, syarat itu untuk menaikkan kualitas beras. Namun, dalih ini tak lebih sebagai upaya lepas tangan dan usaha Bulog menekan harga jual gabah/beras petani. Selama ini untuk memenuhi dua syarat instruksi presiden saja petani sudah kesulitan, bagaimana jadinya bila ditambah syarat baru.

Untuk meminimalkan risiko ini, pemerintah melakukan intervensi. Lewat Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2007 tentang Perberasan, pemerintah mematok harga pembelian pemerintah (HPP) atau procurement price: GKP Rp 2.000 per kg, gabah kering giling (GKG) Rp 2.575 per kg, dan beras Rp 4.000 per kg.

Namun, HPP bukanlah perlindungan harga, baik harga langit-langit (ceiling price) maupun harga dasar (floor price). Batu pijak konsep HPP adalah kuantitas: membeli sejumlah tertentu beras/gabah (untuk raskin dan stok nasional) pada harga yang ditentukan.

Oleh karena sifatnya target kuantum, pengaruh pembelian terhadap tingkat harga di pasar menjadi residual. Konsep HPP yang diterakan sejak tahun 2002 itu punya limitasi kembar. Ketika pasar beras terbuka, procurement price tidak lagi menyentuh kepentingan petani. Demikian pula saat harga gabah/beras anjlok. Sebaliknya, saat harga naik, procurement price juga tidak menyentuh kepentingan konsumen.

Diktum-diktum di Instruksi Presiden No 3/2007 cuma mengatur pengadaan beras Bulog. Tak jelas siapa yang bertanggung jawab atas perlindungan harga (naik/anjlok). Akhirnya jadi terang benderang, syarat tambahan baru itu menunjukkan kekompakan pemerintah-Bulog: sama-sama lepas tangan dan tidak mau tahu atas risiko besar yang ditanggung petani.

Kamis, 13 Maret 2008

Analisis APBN P 2008 - Faisal Basri

Faisal Basri menulis di Jawa Pos hari ini (13/03/2008) mengenai APBN P 2008. Ia menyoroti penggelembungan anggaran subsidi lebih dari dua kali lipat terutama karena kenaikan harga minyak dunia. Basri menyarankan agar pemerintah mengurangi subsidi minyak dengan menaikkan harga 5 persen per tahun.

Lima persen per tahun? Rata-rata kenaikan harga minyak mentah tiap tahun saja sebesar 8,4 persen jika dihitung dari tahun 1947, bahkan 20,7 persen jika dihitung dari tahun 2000 (inflationdata.com). Kenaikan lima persen per tahun akan menyisakan selisih kenaikan harga yang harus ditutup dengan kenaikan subsidi. Sepertinya, Basri menyebutkan angka 5 persen hanya berdasarkan batas psikologis kenaikan harga yang tidak mengejutkan dan membebani masyarakat.

Analisis APBN P 2008

Oleh Faisal Basri, staf pengajar Fakultas Ekonomi UI

Pemerintah Membelenggu Diri Sendiri

Belum genap satu triwulan berjalan, pemerintah masih saja berkutat dengan asumsi-asumsi APBN 2008. Tak tanggung-tanggung, yang dilakukan ialah perombakan drastis atas hampir semua asumsi.

Target pertumbuhan ekonomi dikerek turun dari 6,8 persen menjadi 6,4 persen. Koreksi paling besar untuk lifting minyak, yakni dari 1.034 ribu barel per hari menjadi 910 ribu barel per hari. Juga untuk asumsi harga minyak, dari 60 dolar AS menjadi 83 dolar AS per barel.

Asumsi laju inflasi diperlonggar dari 6,0 persen menjadi 6,5 persen. Demikian pula asumsi nilai tukar rupiah, dari Rp 9.100 menjadi 9.150 per dolar AS. Hanya asumsi suku bunga SBI yang tidak diutik-utik, yakni tetap 7,5 persen.

Apakah asumsi-asumsi baru tersebut cukup menggambarkan kecenderungan dinamika jangka pendek sepanjang tahun ini, sehingga realisasi APBN 2008 tidak lagi melenceng jauh?

Tampaknya, yang paling mungkin meleset ialah asumsi pertumbuhan ekonomi. Hampir seluruh negara diperkirakan mengalami penurunan pertumbuhan ekonomi sebagai akibat tekanan berbagai arah: dampak krisis keuangan di Amerika Serikat yang belum kunjung menunjukkan tanda-tanda berakhir, serta ancaman inflasi dunia sebagai akibat kenaikan harga minyak mentah serta komoditas pangan dan tambang.

Apakah perekonomian Indonesia cukup memiliki tenaga ekstra untuk melawan arus, mengingat target yang dikoreksi ke bawah tetap lebih tinggi dari realisasi laju pertumbuhan 2007 sebesar 6,3 persen? Menghadapi perkembangan yang sangat bergejolak dewasa ini, tampaknya bisa menembus 6,0 persen saja sudah prestasi yang cukup baik.

Target inflasi tampaknya juga sulit terpenuhi. Dua bulan pertama tahun ini saja laju inflasi selalu di atas 7 persen. Padahal, potensi kenaikan harga-harga tetap besar. Sampai seberapa tahan pemerintah bersikukuh tak menaikkan harga BBM dan tarif listrik? Harus diingat bahwa harga bersubsidi ini tidak berlaku bagi kalangan dunia usaha, sehingga kenaikan harga pasar energi otomatis menambah ongkos produksi, yang pada gilirannya berdampak pada harga barang dan jasa.

Tak Diikuti Koreksi

Pertanyaan selanjutnya, mengapa koreksi terhadap asumsi laju inflasi tak diikuti koreksi terhadap asumsi suku bunga? Bukankah kedua variabel itu sangat terkait erat? Bukankah meningkatnya ancaman inflasi akan mempersempit kemungkinan penurunan suku bunga?

Bertolak dari evaluasi umum di atas, tampaknya sekalipun pemerintah telah merombak asumsi-asumsi APBN 2008 secara drastik, tetap saja menyisakan masalah yang menggantung. Perombakan drastis lebih disebabkan asumsi-asumsi yang ditetapkan sebelumnya teramat ngawur.

Jadi, alangkah baiknya momentum perubahan sekarang ini tak dilakukan setengah-setengah, sehingga memperkecil kemungkinan dilakukan perombakan besar-besaran lagi pada tahun anggaran yang sama tahun ini.

Sekadar pertimbangan, ada baiknya mengedepankan skenario alternatif, dengan asumsi-asumsi sebagai berikut: laju pertumbuhan ekonomi 6,1 persen, laju inflasi 6,9 persen, suku bunga 7,8 persen, harga minyak 85 dolar AS per barrel, lifting minyak 900 ribu barel per hari.

Dengan skenario alternatif di atas, sisi penerimaan negara tak banyak berubah. Yang bermasalah adalah sisi pengeluaran, terutama pos subsidi BBM dan listrik. Pada rancangan APBN-P 2008, subsidi total menggelembung lebih dua kali lipat dibanding APBN 2008, yakni dari Rp 98 triliun menjadi Rp 209 triliun. Lebih dari tiga perempat subsidi ini disedot untuk subsidi energi, masing-masing Rp 106 triliun untuk subsidi BBM dan Rp 55 triliun untuk subsidi listrik.

Subsidi yang menggelembung membuat postur anggaran negara sangat tidak sehat. Belanja non K/L (kementerian/lembaga) telah melampaui belanja K/L, masing-masing Rp 369 triliun dan Rp 272 triliun.

Kesenjangan itu disebabkan di satu pihak belanja non K/L naik tajam, di lain pihak belanja K/L justru sebaliknya. Sebagian penurunan belanja K/L memang mencerminkan upaya penghematan, tapi sudah barang tentu berdampak pada kualitas pelayanan publik. Mengingat, selama ini besarnya konsumsi pemerintah umum akhir (final general government consumption) - yang mencerminkan kapasitas dan kualitas pelayanan publik- sudah tergolong sangat rendah dibanding negara-negara lain, terutama negara tetangga dekat.

Pos pengeluaran untuk subsidi sangat berpeluang semakin menggelembung jika harga minyak tetap bertengger di atas 100 dolar AS untuk kurun waktu cukup lama. Apalagi, jika diiringi harga-harga komoditas pangan yang tetap tinggi.

Ditambah lagi jika terjadi kegagalan panen padi sehingga Indonesia terpaksa mengimpor beras dan gula. Pemerintah terpaksa menggelontorkan lebih banyak dana untuk subsidi pangan. Yang terakhir ini secara politik tak mungkin disampingkan.

Justru yang paling mungkin ditekan ialah subsidi BBM. Dengan melakukan kenaikan rata-rata 5 persen setahun, pemerintah memiliki ruang gerak lebih leluasa untuk mengalokasikan anggaran bagi kepentingan rakyat miskin, sehingga lebih tepat sasaran.

Adalah jauh lebih realistik, secara politik sekalipun, menaikkan harga BBM secepatnya ketimbang pada akhirnya nanti pemerintah tidak punya pilihan lain ketika masa pemilihan umum kian dekat.

Dengan bersikukuh pada posisinya seperti sekarang, sama saja artinya pemerintah membelenggu diri sendiri, sehingga mengakibatkan pilihan-pilihan alternatif kebijakan kian tak rasional. Karena itu, pada akhirnya kos politik dan sosial yang harus dibayar bertambah mahal.

Obesitas Keuntungan Perbankan - L Wiji Widodo

Artikel Widodo di Republika (11/3) berikut membuat kita merenungkan ketimpangan kemajuan antara sektor finansial dengan sektor riil, terutama sektor pertanian yang menjadi pencaharian mayoritas rakyat Indonesia. Ada dua mazhab terkait masalah ketertinggalan sektor pertanian. Pertama, bahwa sektor pertanian sudah kelebihan penawaran tenaga kerja. Perbandingan lahan terhadap pekerja sudah sedemikian kecil sehingga upah pekerja pertanian menjadi sangat rendah. Solusinya adalah industrialiasi untuk menyerap kelebihan tenaga kerja ini.

Mazhab kedua melihat bahwa endowment sumber daya alam dan manusia di sektor pertanian justru memberikan peluang untuk dijadikan andalan. Mazhab kedua ini memprediksi bahwa pembangunan sektor pertanian akan mendistribusikan hasilnya dengan lebih merata daripada pembangunan sektor manufaktur dan jasa yang dikuasai oleh segelintir penguasa dan pemilik modal. Widodo berada pada mazhab kedua ini.

Obesitas Keuntungan Perbankan

Oleh :
L Wiji Widodo
Staf Pusat Dokumentasi dan Publikasi Ilmiah (PDPI) Fakultas Ekonomi Univ Brawijaya Malang

Pada 2007 alunan merdu didendangkan kinerja perbankan kita. Bagaimana tidak, laba bank tumbuh 23,6 persen, bank umum mencetak laba bersih Rp 35,015 triliun. Angka ini pun setelah dipangkas oleh pajak.

Perolehan ini sungguh sangat menyejukkan mata bila disandingkan dengan perolehan laba tahun 2006 yang hanya mengantongi Rp 28,3 triliun. Total aset pun berhasil dikerek lebih tinggi. Pada 2006 sebesar Rp 1.693,85 triliun, lalu pada 2007 total aset lebih membara lagi, mencapai Rp 1.986,5 triliun.

Bila melacak peran perbankan dalam mengucurkan kredit juga terjadi lonjakan. Pada 2006 kran kredit yang dialirkan sebesar Rp 792,29 triliun dan pada 2007 dibuka lebih deras lagi, Rp 1.002,01 triliun.

Gelontoran kredit yang melonjak seolah sebagai jawaban atas imbauan pemerintah kepada bank-bank untuk lebih dermawan mengucurkan kredit. Tentu menjadi pertanyaan, ke manakah derasnya arus kredit mengalir?

Keberpihakan bank
Keberpihakan bank lewat kredit adalah sebagai sebuah darah segar, tetapi yang sering tersaji ketimpangan kucuran kredit. Persentase kredit perbankan untuk perindustrian menghadirkan disparitas yang sangat tajam, yakni mencapai 23,28 persen, sementara untuk pertanian dan perikanan hanya 5,39 persen.

Demikian juga dengan penyebaran kredit yang menunjukkan perbedaan yang cukup mencolok, di mana Rp 382,87 triliun disebar di Provinsi DKI yang merupakan 49 persen dari total kredit perbankan nasional. Padahal, pertumbuhan sektor pertaniannya hanya 0,69 persen (BPS 2000). Sisanya, sebanyak 51 persen disebar di 32 provinsi, di mana di daerah ini sektor pertanian lebih banyak mendominasi.

Begitu juga kalau ditinjau dari penerima kredit, tampaknya kredit perbankan begitu royal terhadap properti mewah, seperti apartemen. Untuk yang disebut terakhir ini, kredit yang dikucurkan mencapai Rp 33.069 miliar. Bandingkan dengan agrobisnis yang hanya menerima kucuran kredit sebesar Rp 11.329 miliar.

Tentu saja hal ini tidak mengalunkan kecemasan seandainya sektor industri dihuni lebih sesak dari pada sektor pertanian. Tetapi, kenyataan sektor pertanian lebih riuh tenaga kerja. Pada 2006 ada 42,32 juta yang berteduh di sektor pertanian, meningkat lagi pada 2007, mencapai 42,61 juta jiwa.

Sementara itu, serapan tenaga kerja pada sektor industri pada 2007 hanya 12,09 juta jiwa, lebih tinggi dari tahun sebelumnya yang hanya 11,58 juta jiwa. Maka, dengan bahasa sederhana, ketika kucuran kredit lebih digelontorkan pada sektor pertanian, tentu dapat bermanfaat lebih banyak. Laju pertumbuhan pertanian tentu dapat didorong lebih kencang.

Rasio yang diperankan perbankan sedikit sekali pada sektor pertanian. Pada awal musim tanam kekurangan modal sering menjadi pil pahit yang harus ditelan petani. Di sinilah seolah dosa perbankan, permohonan kredit yang berbelit dan berliku membuat petani harus bersimpuh di kaki para pengijon, tengkulak, bahkan rentenir.

Karena itu, diperlukan akses yang lebih besar untuk pembiayaan bagi petani lewat perbankan. Pihak perbankan diharapkan mempunyai skenario baru yang lebih fokus terhadap sektor pertanian.

Menganak tirikan pertanian yang sering diperankan perbankan selama ini dikarenan sektor ini dianggap mempunyai risiko kegagalan yang sangat tinggi walaupun alasan ini akan mentah bila kita mau melongok Thailand. Begitu mesranya hubungan perbankkan dan pertanian di Negara Gajah Putih itu.

Negara tersebut menyadari bahwa pertanian dapat dijadikan sebuah jalan untuk menuju kemakmuran. Berbagai elemen membahu untuk mewujudkan sekaligus meruntuhkan sekat yang menghalangi kemajuan di sektor pertanian.

Petinggi yang berkuasa di Thailand menyadari bahwa transformasi ekonomi yang benar ialah dengan memperkuat fondasi yang memang mereka yakin bisa bersaing dalam hal tersebut. Dengan kemajuan pertanian yang telah dicapai, maka sedikit demi sedikit masalah krisis ekonomi yang melanda negara tersebut dapat teratasi.

Bahkan, sekarang Thailand menjadi salah satu negara agraris yang hasil pertaniannya dapat memenuhi kebutuhan dinegara ASEAN. Tak hanya mencukupi, tetapi dapat membanjiri pasar-pasar buah di Tanah Air.

Petani Thailand boleh dibilang tidak punya persoalan dengan bibit unggul baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Departemen Pertanian dan juga pengusaha berada di garda paling depan untuk menyediakan bibit yang dibutuhkan para petani.

Penelitian untuk mencari varitas unggul telah menjadi keharusan di Thailand. Petani juga tidak harus menunggu dan melalui alur yang rumit untuk mengajukan kredit sebagai tambahan modal. Thailand memiliki Bank for Agriculture and Agricultural Cooperatives (BACC) yang memang khusus menjadi lembaga keuangan untuk sektor pertanian.

Entahlah kemesraan antara perbankan dan pertanian di negara ini kapan akan dihadirkan. Gendutnya perolehan laba dan royalnya kucuran kredit dari perbankan tampaknya belum mampu menghangatkan ruang sektor pertanian dan kubangan kemiskinan pun masih cukup dalam karena 23,61 juta jumlah penduduk miskin dari total 37,17 juta orang itu berada di daerah perdesaan. Umumnya terlibat atau berhubungan dengan sektor pertanian.

Bahkan, 72 persen kelompok petani miskin adalah dari bidang pertanian pangan. Maka sulitnya permodalan bagi petani masih subur diperankan oleh para tengkulak dan rentenir dan belum dapat disandarkan pada perbankan nasional. Gemerlapnya kondisi perbankan tahun kemarin dengan lebatnya perolehan laba, moncernya kucuran kredit serta mengelembungnya total aset hanya akan menjadi figura indah dalam potret kesedihan bangsa.

Perang moneter global-Yanuar Rizky

Mulai saat ini, saya akan mempostingkan salinan artikel dari para analis ekonomi yang dimuat di berbagai media. Dengan demikian, pengunjung Komentar Ekonomi akan dimudahkan karena dapat membaca analisis dari berbagai ekonom di satu tempat. Saya sendiri untung karena lebih mudah memperoleh materi untuk direferensi dan didiskusikan.

Artikel pertama berikut saya ambilkan dari milik Yanuar Rizky yang dimuat Bisnis Indonesia (10/03/2008). Saya sangat menyukai gaya analisisnya yang membaca pikiran masing-masing pemain di sektor finansial.


Perang moneter global


oleh : Yanuar Rizky, Analis Independen-Aspirasi Indonesia Research Institute (AIR Inti)

Sebagai analis, ada dua kejadian menarik dalam dua minggu terakhir ini. Pertama, menjadi nara sumber di acara investor gathering sebuah perusahaan sekuritas (1 Maret 2008). Kedua, dengar pendapat di Komisi XI DPR-RI terkait pemilihan Gubernur BI periode 2008-2013 (5 Maret 2008). Kedua acara tersebut serupa dari sisi potret perang moneter global, meski berbeda sisi pandangnya.

Di kedua acara tersebut, saya memulai gambaran tentang posisi pasar finansial seperti yang telah dibahas di kolom rutin ini. Yaitu, perang moneter antara Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed) dan Cina (PBC). Saya pun memulai dari memetakan potret posisi lapangan finansial pada 2005 yang berulang di 2007, dengan jebakan off-side yang sama, yaitu harga minyak dunia.

Bedanya di 2007, The Fed mendapat tekanan internal, sehingga perlu mengatur permainan di lapangan tengah, disaat politik dalam negerinya menuntut penurunan tempo sang play maker (The Fed) berupa Fed rate rendah. Di sisi lain, PBC bertanding dengan posisi lebih siap untuk tidak terjebak off-side, dengan cadangan energi alternatif yang telah dikumpulkannya, sehingga sang play maker (PBC) bermain lebih menyerang dengan menaikkan rate.

Lalu, di manakah posisi Indonesia? Suka atau tidak, di kedua periode pertarungan kita merupakan penonton dan berpotensi menjadi korbannya. Faktanya, kejadiannya batuk-batuk pasar finansial global pada 2005 dan 2007 telah menimbukan efek yang sama, yaitu tergerusnya kebebasan fiskal negara. Tekanan ke masyarakat pun sama, harga-harga naik disaat daya kerja terus menggerus daya beli itu sendiri.

Pemerintah dan Bank Indonesia selama ini hanya sebatas mengatur lalu lintas penonton.

Pertama, kelompok mampu yang dapat membeli tiket di dalam lapangan finansial, sehingga madu permainan (tim asing) tentu dapat pula dinikmati.

Kedua, kelompok kurang beruntung yang tak mampu membeli tiket (ataupun kurang pengetahuan) untuk masuk stadion, sehingga hanya mendengar riuh-rendah sorak sorai dan tak jarang menjadi korban tawuran atas pertandingan yang tidak dia tonton langsung.

Jika kita perbandingkan pasar finansial China dan Indonesia, meriah dimulai dari tahun yang sama, yaitu 2002. Bedanya, pada 2005, Cina sudah menjadi pemain. Dan 2007, semakin mantap sebagai pemain utama peta moneter gobal. Yang dilakukan Cina sederhana saja secara teori ekonomi, yaitu memanfaatkan momentum perbaikan parameter makro untuk menggerakan kembali sektor riil.

Menggerakkan sektor riil berarti memicu daya kerja masyarakat untuk menopang daya beli konsumen itu sendiri. Layaknya sebuah mesin, untuk bergerak dibutuhkan pelumas dan bahan bakar.

Itulah fungsi stimulus fiskal dari sisi belanja negara dan intermediasi sistem keuangan dari sisi transaksi antar masyarakat. Kuncinya jelas, harmonisasi kebijakan perekonomian negara (fiskal) dengan moneter. Dan pengemudinya jelas kepala negara.

Pada 2002-2005, China menyeimbangkan kenaikan cadangan devisa dari masuknya hot money dengan menyalurkannya ke sektor riil. Instrumen jaminan sosial berbasis investasi (melalui sekuritisasi sovereign wealth fund/SWF) maupun menyeimbangkan penyaluran kredit perbankan (LDR). Dalam banyak pidato anggota Dewan Gubernur PBC, jelas dinyatakan bahwa LDR difokuskan ke sektor terfokus ke penyerapan tenaga kerja yang sekaligus memperkuat fundamental perekonomian.

Membaiknya parameter makro untuk menggerakkan sektor riil akan meningkatkan jumlah penonton ke lapangan finansial, sekaligus memicu semangat tim negaranya untuk masuk ke lapangan pertandingan. Itulah fakta dari pertumbuhan orang sejahtera di Cina (Hong Kong dan Cina), yang saat ini telah berada di kisaran angka pertumbuhan 100% jika dibandingkan 2002 (Riset Merill Lynch-Capgemini, rata-rata pertumbuhan orang sejahtera di Cina dan Hongkong rata-rata 15-30% per tahunnya sejak 2004).

Sementara itu, di Indonesia, meski indeks bursa merangkak fantastis dari kisaran 350 (awal 2002) ke kisaran 2.700 (awal 2008) dengan rata-rata nilai transaksi harian dari Rp350 Miliar ke Rp5,3triliun, angka penonton di stadion masih berada di kisaran 0,01% populasi penduduk produktif. Data rekening efek (KSEI) menunjukan angka 228.157 (agregat tersebut tentu tercampur pula penonton (investor) asing).

Dari sisi aset penonton di stadion finansial tersebut, pada 2007 investor lokal mampu menaikan nilai asetnya sebesar 95,06% dibandingkan 2006 dan investor asing meningkat sebesar 52,39%. Dari sisi jumlah aset investor lokal masih 61,38% dari total aset investor asing.

Ada dua implikasi dari data tersebut, yaitu: Pertama, masih dominannya penonton asing menikmati pertandingan dari negaranya di pasar negara berkembang (emerging market) seperti Indonesia; Kedua, meluasnya kesenjangan antara penonton lokal di dalam dan luar stadion finansial, sehingga tak heran angka pengangguran meningkat menyertai kenaikan indeks itu sendiri.

Teradap dua fenomena tersebut, tentu tergantung dari mana kita mengambil angle-nya. Kalau dari sisi kebijakan ekonomi negara, tentu inilah tantangan riil perekonomian negara. Dari sisi pelaku pasar, sepanjang mampu membaca arah pertandingan, maka keuntungan finansial akan diperoleh. Sedangkan masyarakat luas tentu saja semakin tertekan, yang tercermin dari jeritan kenaikan harga-harga.

Prediksi

Posisi indeks yang menaik di periode sebelumnya perlu dicermati ke arah penurunan. Karena tren rekening kontrak RePO, SLTD dan TAF di rekenig The Fed telah menunjukan akhir dari open position pembentukan harga atas untuk ambil untung. Di minggu berikutnya, indeks menurun.

Di akhir minggu ini rekening The Fed kembali menunjukan angka kenaikan 34,16% (year on year). Itulah peta riil pertarungan moneter global yaitu negara maju mengambil financial netting untuk mengatasi kontraksi likuiditas dari penurunan rate. Di sisi ini, China masih menunjukan pertumbuhan devisa-nya dengan bermain menyerang melalui kenaikan rate dan disiplin di pertahanan.

Kalau Anda beruntung dengan feel pasar, maka tentu saja akan ikut beruntung sebagai penonton. Dan jika itu terjadi, ada baiknya Anda membaginya dengan membelanjakan ke pasar riil di luar stadion. Agar raktyat banyak ikut menikmati madunya.

Bagi negara, tentu tantangan tidak ringan bagi pemerintah dan Bank Indonesia. Itulah tantangan riil bagi Gubernur Bank Indonesia berikutnya. Suka atau tidak, di 2005 saat otoritas moneter (Bank Indonesia) tidak dihinggapi politisasi, dalam fluktuasi rupiah, angka OPT (Operasi Pasar Terbuka) yang dihabiskan lebih kecil dari 2008 dengan diikuti peningkatan cadangan devisa.

Di Februari 2008 memang cadagan devisa kembali meningkat (Rp57 triliun), meski belum menyetuh angka sebelum intervensi besar di pasar kurs 29 Januari 2008 tatkala politisasi menyentuh kembali kredibilitas BI (Rp58 triliun). Kalau dilihat rekening Devisa BI, maka sumber peningkatannya adalah dari terserapnya Obligasi Pemerintah. Sementara, rekening OPT meningkat dan uang beredar (primer dan giro) mengalami tekanan penurunan.

Kalau dipetakan secara fair dan ojektif, Gubernur BI ke depan menghadapi masalah yang tidak ringan. Untuk itu, kemampuan team work sebagai jalan keluar dari politisasi lembaga adalah keharusan. Bukan soal dari luar dan dalam BI, tapi seorang dengan kapasitas lebih dalam membaca, merasakan dan memengaruhi ekspektasi pasar haruslah di atas rata-rata.

Ambil contoh, di Amerika Serikat, Presiden Ronald Reagen melakukan branding atas figur Alan Grenspan dari setahun sebelum dicalonkan. Demikian pula Presiden Bush Jr dan Grenspan melakukan branding terhadap Bernanke (Gubernur The Fed saat ini) setahun sebelum dicalonlan.

Rasanya, jejak rekam kedua calon GBI versi pemerintah belum menunjukan ke arah tokoh kharismatik tersebut. Itu karena, Presiden SBY tidak pernah melakukan komunikasi publik untuk menyakinkan kapasitas calonnya (Branding).

Pemimpin politik selalu asyik di dalam stadion-nya (kotak kenikmatan) dan melupakan bahwa bagi rakyat banyak yang dibutuhkan adalah stabilitas makro termanfaatkan untuk menjalankan intermediasi penyediaan lapangan kerja (financial deepening). Quo vadis perekonomian Indonesia.

Rabu, 12 Maret 2008

Moral Hazard Layanan Kesehatan

Senin (3/3) saya dikabari bahwa bapak saya opname. Saya pulang hari Rabu dan ikut menunggu Bapak di RS hingga keluar. Selama waktu menunggu tersebut, saya melihat sendiri dampak dari cacat mekanisme pasar layanan kesehatan.

Bapak jatuh dari tangga hari Jumat, namun baru dironsen hari Senin. Hasil ronsen menunjukkan adanya retak tulang belakang. Dokter ortopedi baru memeriksa hari Rabu dan menawarkan pilihan untuk operasi atau digips. Karena mempertimbangkan bapak sudah sepuh dan memiliki penyakit jantung, kami memilih untuk digips saja. Gips dipasang hari Kamis. Sejak selesai pemasangan hingga saat penulisan artikel ini (Senin, 10/3), dokter ortopedi tidak pernah datang lagi untuk memeriksa kondisi Bapak. Kami juga tidak diberikan perkiraan kapan Bapak selesai rawat inap.

Kami tidak memiliki pengetahuan apakah perbedaan perawatan rumah sakit dengan rawat di rumah sendiri benar-benar signifkan mempengaruhi kesembuhan Bapak. Namun sejak pemasangan gips itu, perbedaan layanan yang diberikan rumah sakit hanya infus. Pengukuran tensi dapat kami lakukan sendiri. Selama di rumah sakit, kami mengontrol sendiri konsumsi obat yang diberikan dokter. Apakah infus ini cukup berharga hingga menimbulkan tambahan biaya kotor nominal bagi kami senilai minimal 130 ribu rupiah per hari? Saya cenderung menilai infus tidak memberikan tambahan manfaat yang sebanding.

Bagaimanapun, bukan praktik yang lazim pasien memutuskan sendiri kapan ia selesai rawat inap. Risiko yang kami hadapi jika kami melakukannya adalah hubungan kami dengan dokter ortopedi bersangkutan akan memburuk. Sebenarnya, dokter ortopedi tersebut telah mengawali hubungan buruk dengan menimbulkan kerugian bagi kami. Menghentikan hubungan buruk ini sedini mungkin adalah upaya meminimumkan kerugian kami.

Saya menduga bahwa dokter tersebut tidak memiliki insentif untuk mempertahankan kami sebagai pelanggannya jika melalui RS pemerintah. Ia tidak kehilangan apapun jika kami dan pasien lain segera menyelesaikan rawat inap. Ia mendapatkan gaji dari pemerintah untuk bekerja di RS ini pada jumlah yang tetap, berapapun banyaknya pasien yang ia rawat. Sebaliknya, ia mengeluarkan biaya waktu dan upaya pada setiap pasien yang dirawatnya. Ia dapat memaksimumkan manfaat bersih dengan meminimumkan jumlah pasien yang ia rawat.

Dengan demikian, keluar dari rumah sakit secepatnya adalah ekuilibrium di antara dokter dan kami pasiennya. Lalu mengapa kami tidak segera meninggalkan rumah sakit ini? Sebagaimana diterangkan di atas, kami menghadapi ketidakpastian mengenai kondisi Bapak, apakah memang sudah cukup aman untuk dirawat jalan. Kami menghindari kemungkinan sekecil apapun yang dapat memperparah atau memperlama kesembuhan Bapak. Sebaliknya, dokter ortopedi bersangkutan juga tidak memiliki insentif untuk sekedar datang sekali memeriksa pasien di RS pemerintah sehingga kami bisa mendapatkan kepastian mengenai apakah Bapak boleh dirawat jalan.

Pengelola rumah sakit bahkan memiliki insentif untuk mencegah kami segera keluar, sehingga mereka tidak berusaha menuntut dokter untuk memberikan kepastian pada kami. Pengelola rumah sakit relatif rugi jika pasien rawat inap di paviliun segera keluar karena pemasukan akan berkurang. Walaupun kamar paviliun akan segera terisi oleh pasien baru atau pindahan dari kelas yang lebih rendah, jumlah penerimaan akan lebih besar jika pasien paviliun saat ini tidak pergi sementara pasien baru masuk di kamar kelas lebih rendah yang masih kosong.

Senin siang kami mendapatkan keputusan bahwa Bapak boleh dirawat jalan, namun bukannya oleh dokter ortopedi, melainkan oleh dokter lain yang biasa mengecek tekanan darah. Given motivasi dia untuk mengunjungi pasien setiap hari, pertanyaan kami kepadanya mengenai kapan Bapak boleh pulang tiap kali ia datang merupakan biaya psikologis untuknya. Beban psikologis itu terakumulasi tiap kali pertanyaan itu didapatkannya. Pada akhirnya, ia merasa beban psikologis itu lebih berat daripada risiko yang ia hadapi jika memutuskan sendiri mengenai kebolehan pasien untuk dirawat jalan.

Saya juga memposting artikel berjudul "Metode Pembayaran Tetap pada Layanan Kesehatan" di blog Ekonomi Baru Indonesia mengenai gagasan untuk mengeliminasi moral hazard di atas.