Jumat, 16 September 2011

Gelembung Harga Emas

Siapa yang tidak tergiur untuk "investasi" emas, jika harganya terus mengalami kenaikan rata-rata 18% per tahun sepanjang periode 2002-2010. Tahun ini kenaikannya jauh lebih spektakuler, hingga 15 September 2011 ini harga sudah naik 50% dibanding rata-rata tahun 2010.

Namun justru di sinilah letak bahayanya. Semakin tinggi pohon yang dinaiki, semakin sakit ketika terjatuh. Semakin tinggi harga emas dan semakin banyak orang yang ikut membeli, maka akan semakin banyak korban ketika harga emas jatuh dan semakin besar kemungkinan krisis mengikuti.




Apa iya harga emas bisa jatuh, bukankah sudah 10 tahun emas mengalami kenaikan harga terus-menerus? Kalau kita tarik horizon kita lebih jauh lagi ke belakang, harga emas pernah mengalami tren menurun dari tahun 1980 ketika harga masih $613 hingga mencapai titik terbawah di tahun 2001 seharga $272. Kejatuhan terbesar harga emas terjadi pada tahun 1981, turun 25%, setelah tahun sebelumnya naik spektakuler 99%.

Dari sejarah itu, kita bisa ambil pelajaran bahwa kenaikan yang sangat tajam dari harga suatu aset merupakan tanda-tanda bahwa gelembung yang terjadi pada harga aset tersebut sudah mendekati titik jenuh. Proses pembentukan gelembung harga aset cenderung mengalami akselerasi sepanjang waktu karena pemasaran dari mulut ke mulut yang dilakukan oleh investor lama. Sebagaimana arisan berantai dan pemasaran berjenjang, multiplikasi investor akan terus terjadi sampai pada titik di mana sulit untuk mencari investor baru.

Dengan adanya topangan kredit, uang baru tidak harus datang dari investor baru. Selama investor masih bisa mendapatkan lembaga keuangan yang mau memberi pinjaman untuk membeli aset yang harganya sedang menggelembung, maka proses penggelembungan masih bisa dipertahankan.

Namun lembaga keuangan tidak memiliki komitmen sekuat investor. Mereka bisa mencabut dukungan kredit itu sewaktu-waktu jika terjadi perubahan situasi atau kebijakan. Jika ini terjadi, efeknya pada peledakan gelembung akan jauh lebih cepat daripada kehabisan investor baru.

Investor terpaksa menjual aset dengan tergesa untuk membayar kredit yang tak bisa diperpanjangnya. Penjualan yang tergesa ini akan mendorong penurunan harga aset. Maka pembalikan siklus harga mulai berlangsung. Penurunan harga akan mendorong pemilik aset saling berpacu untuk menjual asetnya lebih dulu untuk meminimalkan kerugian. Perlombaan menjual aset ini justru menyebabkan harga aset semakin jatuh dan mendorong semakin banyak pemilik aset untuk ikut menjual.

Proses pembentukan dan pecahnya gelembung harga di atas terjadi bukan hanya pada emas, tapi juga pada properti, saham, obligasi, dan komoditi selain emas. Semestinya investor di Indonesia belum lupa atas kejadian pecahnya gelembung harga saham di tahun 2008 lalu, di mana IHSG sempat mencapai level 2800-an bulan Januari lalu jatuh hingga hanya 1200-an di bulan Desember. Walau kini gelembung itu nampaknya sudah mulai terbentuk lagi, di mana mulai Juli lalu IHSG sudah menembus level 4000.

Saya tidak tahu kapan datangnya bencana finansial, yakni pecahnya gelembung emas dan saham. Hanya Alloh yang mengetahui masa depan. Manusia hanya belajar pola sebab-akibat dari alam dan sejarah, serta mempersiapkan diri untuk menghadapi masa-masa sulit. Dan dari pengamatan saya, salah satu kemungkinan peristiwa yang dapat memicu pecahnya gelembung emas maupun saham adalah ketika Bank Sentral AS mulai membalik arah kebijakannya, dari mengguyurkan dolar ke menyedotnya, dan dari menjaga bunga rendah ke menaikkannya. Di saat dolar mulai susah didapat, investor asing akan keluar dari negara-negara yang mengalami gelembung dan menjual emasnya. Akhir cerita, keruntuhan terjadi pada harga saham dan emas serta mata uang negara-negara yang mengalami gelembung karena selama ini disuntik oleh uang panas investor asing.

Lebih baik loncat dari balon udara sekarang, sebelum posisi terlalu tinggi ketika ia meletus.

Tidak ada komentar: