Selasa, 11 Januari 2011

Beda Riba dengan Jual Beli

Hubungan bay' (jual beli) dengan ijarah sebagaimana hubungan riba fadhl dengan riba naasi'ah. Dalam bay' dan riba fadhl, kepemilikan barang/uang penjual diserahkan pada pembeli dengan harga yang melebihi pokok modal. Sementara pada ijarah dan riba naasi'ah, barang/uang itu dipinjamkan (pokok kembali) dengan imbalan (tambahan atas pokok).

Jika jual beli dan riba sama-sama pertukaran/peminjaman dengan tambahan/imbalan, lalu apa beda jual beli dan riba? Apa benar bedanya cuma di akad?


Makanya saya tidak setuju dengan pernyataan beda bunga (riba) dengan murabahah (jual beli) hanya pada akad saja, praktiknya sama-sama bank kasih uang lalu nasabah mengembalikan lebih banyak. Lalu diumpamakan kasus nikah dan zina, bahwa beda keduanya hanya pada akad, intinya sama yakni hubungan seksual.

Nikah dan zina bedanya bukan cuma di akad. Perbedaan nikah dan zina seperti perbedaan bumi dan langit.

Nikah bukan cuma kebebasan beraktivitas seksual, namun mencakup tanggung jawab dunia dan akhirat. Tanggung jawab dunia memberikan nafkah pada istri dan anak, memelihara dan mendidik anak agar mampu survive di dunia. Tanggung jawab akhirat memelihara keluarga dari api neraka. Sementara zina cuma satu aspek saja: kesenangan seksual.

Kalau beda nikah dan zina cuma akad, gampang aja datang ke pelacuran lalu melangsungkan akad nikah, tukang parkir jadi saksi pun jadi. Kalau pelacurnya sudah janda, tidak perlu ada wali. Bahkan kalau mau cari-cari pendapat fiqh yang memudahkan, ada juga yang membolehkan wanita dewasa menikah tanpa wali.

Sama juga untuk kasus jual beli dan riba, kesamaan keduanya adalah pertukaran serta ada tambahan/keuntungan untuk penjual. Dalam riba, uang yang didapat lebih dari uang yang diberikan. Dalam jual beli, uang yang didapat lebih dari uang modal.

Tapi perbedaan keduanya bukan cuma pada akad. Perbedaan riba dan jual beli seperti perbedaan bumi dan langit!

Dalam jual beli, penjual bukan cuma memberi barang dagangan (pokok modalnya), tapi juga memberikan manfaat tambahan seperti manfaat lokasi (tidak perlu pergi jauh beli ke produsen), dan juga menanggung risiko atas barang dagangan dari pemasok hingga diserahkan ke pembeli. Orang yang menyewakan barang juga masih menanggung risiko dan pemeliharaan barang yang disewakan. Manfaat tambahan dan penanggungan risiko itulah yang patut diberi imbalan dengan keuntungan.

Sementara dalam pinjaman dan pertukaran uang, tidak ada tambahan manfaat dan tanggungan risiko atas uang pokoknya. Karenanya, orang tidak berhak mendapatkan imbalan dari meminjamkan dan menukarkan uang.

LKS juga bisa mengambil pelajaran dari sini, bahwa perbedaan antara produk mereka dengan produk konvensional semestinya bukan cuma di akad. LKS harus memberikan manfaat dan menanggung risiko agar berhak mendapatkan imbalan. Jika unsur manfaat dan risiko itu tidak terdapat dalam praktik murabahah maupun mudharabah/musyarakah, maka LKS tidak berhak menarik keuntungan.

Sabtu, 08 Januari 2011

Cara Menetapkan Marjin Murabahah

Hingga saat ini, sebagian besar pembiayaan di lembaga keuangan syariah menggunakan basis akad murabahah, yakni penjualan yang menerangkan harga pokok dan marjin yang diambil. Sebenarnya, jika ditinjau dari sisi kredit yang diberikan, istilah yang lebih tepat adalah bay' bi tsaman 'ajil (penjualan angsuran). Penggunaan istilah murabahah menekankan pengambilan marjin oleh LKS di atas harga beli dari pemasok.

Praktik perhitungan marjin saat ini masih menggunakan pola perhitungan bunga dalam kredit konvensional. Besar marjin ditetapkan selain berdasarkan modal yang digunakan juga berdasarkan jangka waktu dan metode pelunasan. Sebagai dasar perhitungan, LKS telah menetapkan tingkat ekuivalen marjin efektif per tahun. Cara perhitungan seperti ini mengimpor dari metode perhitungan bunga nominal dan bunga efektif dalam keuangan konvensional.

Sebenarnya, metode ini tidak tepat diterapkan dalam pembiayaan Islam berbasis akad utang seperti pembiayaan murabahah. Hal ini karena hukum Islam melarang penambahan dan pengurangan total pembayaran utang, kecuali atas inisiatif dan kesukarelaan pihak yang terkena beban. Sekali harga disepakati, maka realisasi cara pembayaran tidak dapat mempengaruhi total nilai pembayaran.

Lalu bagaimana seharusnya cara LKS menghitung marjin untuk pembiayaan murabahah ini? LKS semestinya tidak perlu memperhitungkan jangka waktu pelunasan dalam menetapkan marjin. Jadi cukup satu harga untuk satu item barang yang djual, tanpa melihat berapa lama masa pelunasan.


Kamis, 06 Januari 2011

Koreksi Paradigma Investasi

Anda saat ini punya tabungan uang, bisa di celengan maupun di bank. Anda merasa bahwa tabungan itu sudah lebih dari cukup untuk berjaga-jaga dari keperluan konsumtif non rutin dalam waktu dekat. Sebenarnya masih ada keperluan konsumtif lain di masa depan, tapi masih butuh waktu lama untuk mengumpulkan tabungan hingga mampu membelinya, seperti keperluan naik haji dan beli rumah.

Anda pun berpikir bahwa sayang jika uang di tabungan dibiarkan menganggur. Apalagi anda tahu bahwa harga-harga cenderung terus naik tiap waktu, sehingga semakin lama semakin sedikit barang yang bisa dibeli oleh uang di tabungan itu.

Maka anda mulai mempertimbangkan untuk menginvestasikan uang anda. Tentu saja anda tahu bahwa ketika diinvestasikan, maka uang itu tidak lagi tersedia sewaktu-waktu ketika dibutuhkan. Benarkah seperti itu? Tidak juga, karena ada pilihan investasi yang likuid, dimana anda bisa mendapatkan kembali uang anda sewaktu-waktu. Contoh investasi yang likuid ini adalah deposito, saham, obligasi, dan emas. Jika uang dibelikan tanah atau dijadikan modal usaha, maka anda akan sulit mendapatkan kembali uang anda sewaktu-waktu. Demikian biasanya yang diajarkan dalam perencanaan keuangan keluarga.

Dihadapkan pada pilihan ini, sebagian besar orang yang hanya memiliki tabungan pas-pasan cenderung tidak memilih investasi yang tidak likuid. Dalam membeli investasi yang likuid, orang berusaha agar pokok uang yang diinvestasikan bisa kembali minimal utuh, dan harapannya ada kelebihan baik dari pembagian keuntungan, bunga, maupun kenaikan harga.

Pola pikir di atas keliru dalam memandang hakikat investasi.Investasi sebenarnya adalah membelanjakan uang menjadi barang, sama dengan konsumsi. Perbedaan investasi dengan konsumsi adalah barang yang dibeli diharapkan akan mendatangkan uang lagi dalam bentuk keuntungan usaha. Karenanya, keliru jika mengharapkan uang yang diinvestasikan bisa diambil sewaktu-waktu untuk konsumsi.