Jumat, 20 Februari 2009

Kerugian Masyarakat dari Regulasi Pupuk

Ahmad Adi Nugroho, pegiat KPPU, memaparkan tata niaga pupuk bersubsidi dalam dua posting (bagian I , bagian II ). Salah satu tabel dalam tulisan bagian kedua memberikan fakta menarik:


Perbandingan Harga Pupuk Urea per Kg Menurut HET dengan Harga Pokok Produksi (HPP) per Kg
Harga Eceran Tertinggi Rp 1.200
[HPP]
PT. Pupuk Sriwijaya Rp 2.100
PT. Pupuk Kaltim Rp 4.052
PT. Pupuk Kujang Rp 2.443
PT. Petrokimia Gresik Rp 2.168

Sumber: Departemen Pertanian

catatan: keterangan [HPP] merupakan tambahan dari saya

Kita dapat melihat bahwa HPP pupuk urea produksi PT Pupuk Kaltim hampir dua kali lebih tinggi dari lainnya.  Ada dua kemungkinan penyebab tingginya HPP PT Pupuk Kaltim:

  • Kualitas pupuk urea produksi PT Pupuk Kaltim lebih baik dari lainnya.
  • HPP mencakup biaya transportasi di mana PT Pupuk Kaltim menanggungnya lebih besar dari pabrik lain karena wilayah kerjanya mencakup Kalimantan bagian timur dan seluruh wilayah Indonesia Timur

Sepertinya kualitas pupuk urea antarprodusen tidak signifikan berbeda. Faktor biaya transportasi lebih mungkin menjelaskan tingginya HPP PT Pupuk Kaltim.

Pemerintah menetapkan HET dan memberikan subsidi untuk mendukung kebijakan pangan murah. Namun, pencapaian tujuan ini menimbulkan efek samping negatif berikut.

  • Transfer pendapatan dari pembayar pajak kepada pekerja pabrik pupuk dan produsen pengguna pupuk bersubsidi (tidak selalu petani tanaman pangan, namun juga pengusaha perkebunan yang secara ilegal membeli pupuk bersubsidi).  Dengan HET Rp 1.200, masyarakat harus menyubsidi paling sedikit Rp 2.800 per kg urea produksi PT Pupuk Kaltim. Sementara untuk pupuk urea produksi tiga perusahaan lainnya, masyarakat menyubsidi paling sedikit Rp 900 per kg urea.
  • Inefisiensi penggunaan pupuk urea. Petani yang mengejar peningkatan produksi akan menggunakan pupuk urea melebihi takaran efisien. Dampak jangka panjangnya adalah penurunan kualitas hara tanah yang justru semakin mendorong petani untuk menggunakan pupuk lebih banyak lagi.
  • Tidak menariknya penggunaan pupuk organik karena pupuk urea cukup murah dan jauh lebih praktis. Padahal pupuk organik lebih aman bagi kesehatan dan lingkungan.
Penetapan HET dan pemberian subsidi bukanlah penyebab mandeknya inovasi produsen untuk meningkatkan efisiensi. Pada harga yang ditetapkan pemerintah sekalipun, produsen masih memiliki insentif untuk meningkatkan efisiensi karena akan meningkatkan laba mereka.  Efisiensi juga meningkatkan keuntungan dalam situasi harga disubsidi.

Produsen pupuk di Indonesia yang dimiliki negara tidak memiliki insentif untuk melakukan efisiensi karena kinerja mereka tidak diukur dari efisiensinya. Tugas utama BUMN tersebut adalah menyediakan pupuk dalam jumlah yang mencukupi permintaan. Besarnya biaya produksi atau keuntungan tidak menjadi perhatian pemerintah sebagai prinsipal mereka.

Karena itu, langkah pertama untuk meningkatkan efisiensi produksi dan ketersediaan pupuk adalah dengan membuka pintu persaingan bagi produsen swasta. Pemerintah dapat membuat tender yang tidak berpihak untuk menjadi penyedia pupuk bersubsidi. Produsen yang memerlukan subsidi terkecil untuk menyediakan pupuk pada harga sesuai HET akan mendapatkan hak memproduksi pupuk bersubsidi.

Liberalisasi impor pupuk akan memberikan tekanan persaingan yang lebih kuat pada produsen pupuk domestik. Akan tetapi, liberalisasi impor pupuk cenderung menghadapi resistensi politik yang kuat dengan membawa isu kemandirian pangan. Liberalisasi persaingan domestik produksi dan distribusi pupuk lebih mudah diterima selama dapat memberikan hasil berupa pupuk yang lebih murah.

Subsidi harga pupuk perlu dikurangi secara bertahap. Subsidi lebih dari 50 persen dari biaya produksi tidak sehat bagi perekonomian, apalagi bagi produk semacam pupuk kimiawi yang memberikan eksternalitas negatif. Desain subsidi pupuk urea yang memberikan subsidi bagi penggunaan tanaman pangan tapi tidak lainnya sulit dipertahankan. Penyelewengan penyaluran produk bersubsidi di dalam negeri lebih sulit dicegah daripada penyelundupan antarnegara. Ongkos pengawasan kebijakan subsidi ini terlalu besar sehingga tidak mungkin dijalankan sepenuhnya oleh pemerintah. Sebaliknya, subsidi pupuk urea secara keseluruhan akan membutuhkan anggaran subsidi terlalu besar.

Harga eceran tertinggi adalah kebijakan yang paling berbahaya. Kelangkaan pupuk merupakan konsekuensi yang niscaya dari kebijakan HET. Penetapan harga ini mencegah, atau paling tidak memperlambat, respon produsen untuk meningkatkan produksi ketika terjadi kenaikan permintaan. Ketika terjadi kenaikan biaya produksi, produsen terpaksa menurunkan produksi karena mereka tidak diperbolehkan menaikkan harga atau belum mendapatkan kenaikan subsidi. Selain menghilangkan sinyal kelangkaan ketika terjadi permintaan, HET juga menghilangkan insentif pada produsen berupa tambahan laba untuk meningkatkan kapasitas produksi.

Tidak ada komentar: