(dimuat di Pikiran Rakyat, 16 Februari 2009)
Kelangkaan pupuk selalu menjadi isu politik karena peran besar pemerintah pada penyediaannya. Buruknya pengelolaan pemerintah sering dituding sebagai penyebab masalah. Kita perlu mempertimbangkan kemungkinan lainnya, bahwa justru sistem penyediaan pupuk yang dimonopoli pemerintah itu sendiri yang merupakan akar masalah. Pasar yang bebas dari campur tangan pemerintah boleh jadi lebih mampu mencegah kekurangan pasokan pupuk dan memberikan harga lebih rendah.
Campur tangan besar pemerintah pada penyediaan pupuk merupakan bagian dari upaya pemerintah mengendalikan pasokan dan harga pangan. Penyediaan pangan murah merupakan prioritas pemerintah sejak awal orde baru. Cara yang ditempuh adalah dengan mengendalikan pasokan dan harga input produksi pangan. Agar harga pangan murah, pemerintah mensubsidi harga input produksi pangan.
Di masa orde baru, pemerintah juga mengelola distribusi pangan dan kebutuhan pokok lainnya melalui Bulog. Setelah krisis 1997, atas desakan IMF Bulog dibebaskan dari kewajiban mengelola distribusi kebutuhan pokok. Akan tetapi, liberalisasi penyediaan pangan ini tidak diikuti oleh liberalisasi penyediaan input produksi.
Kegagalan Pemerintah
Kelangkaan pupuk dapat diakibatkan satu atau lebih faktor berikut. Pertama, hambatan di tingkat produsen seperti keterlambatan pengembangan kapasitas produksi untuk memenuhi peningkatan permintaan atau kesulitan mendapatkan input. Kedua, hambatan distribusi seperti kerusakan jalan yang menyebabkan keterlambatan pengiriman. Ketiga, hambatan di tingkat penjual seperti penimbunan, penyelundupan ke pasar pupuk non subsidi, atau tidak memiliki persediaan yang cukup karena pembatasan kuota atau peningkatan permintaan yang tidak diprediksi.
Kelangkaan yang disebabkan hambatan distribusi dan peningkatan permintaan yang tidak diprediksi penjual hanya akan berlangsung sementara. Berakhirnya kelangkaan yang disebabkan penimbunan dan penyelundupan bergantung pada kesigapan aparat hukum untuk menindak pelakunya. Kelangkaan pupuk akan persisten jika disebabkan permintaan yang melebihi kapasitas produksi pupuuk atau kelangkaan input produksi puput yang juga persisten.
Kelangkaan pupuk di Indonesia yang cenderung persisten mengindikasikan bahwa masalah berada pada level produksi. Produsen pupuk telah memberikan keterangan bahwa mereka kesulitan mendapatkan gas sebagai bahan bakar produksi sehingga tidak dapat mencapai kapasitas maksimum. Kebutuhan tambahan pasokan pupuk sebesar 500 ribu ton yang direncanakan diimpor mestinya bisa dipenuhi oleh pabrik pupuk baru Pupuk Iskandar Muda (PIM) yang masih memiliki kapasitas potensial 460 ribu ton. Impor tidak perlu dilakukan jika pabrik pupuk dapat memperoleh tambahan pasokan gas.
Mengapa pabrik pupuk tidak dapat memperoleh pasokan gas? Jika pasokan gas memang langka, pabrik pupuk seharusnya dapat menawar harga lebih tinggi untuk mendapatkan gas yang tersedia. Akan tetapi, pabrik pupuk tidak mungkin melakukannya karena mereka tidak bisa menaikkan harga jual untuk mengkompensasi kenaikan harga gas. Selain itu, pasokan gas tidak mudah dialihkan pada penawar tertinggi setiap saat karena banyak produksi gas telah diikat kontrak-kontrak jangka panjang.
Kalau memang tidak ada harapan untuk menambah pasokan gas bagi pabrik pupuk, tidak ada cara lain untuk menambah persediaan pupuk dan menurunkan harganya kecuali dengan impor. Masalahnya, impor ini tidak bisa segera dilakukan keputusan dan pelaksanaannya karena harus melalui proses politik dan birokrasi di tingkat pusat.
Berkat jasa pers, informasi kelangkaan pupuk ini dapat segera mencapai dan memperoleh perhatian pemerintah pusat. Tidak dapat dibayangkan berapa lamanya informasi ini mencapai tingkat pusat jika mengandalkan jalur informasi birokrasi. Birokrasi di daerah bisa jadi justru menyembunyikan informasi ini agar tidak dinilai berkinerja buruk.
Pengambilan keputusan di pemerintah pusat memerlukan waktu untuk pengumpulan data dan pembahasan hingga mencapai keputusan. Kalaupun pemerintah telah mengambil keputusan, kadangkala pelaksanaannya tertunda karena keberatan dari DPR. Partai-partai ingin mencampuri keputusan ini karena kelangkaan pupuk merupakan isu strategis untuk meraih simpati pemilih.
Lebih jauh lagi, ada individu dan kelompok melancarkan lobi-lobi ke pemerintah dan DPR untuk mendapat keuntungan dari impor pupuk. Apapun bentuk kolusi dan korupsi yang menyertai proses impor ini akan mengakibatkan harga pupuk impor lebih tinggi dari seharusnya.
Sepanjang impor belum dilakukan, tidak ada tambahan pasokan pupuk sehingga kelangkaan terus terjadi. Sebagian petani mau membeli pupuk pada harga lebih tinggi. Nantinya, mereka akan meminta harga jual hasil panen untuk mengkompensasi kenaikan biaya ini. Petani marjinal tidak dapat memperoleh pupuk sehingga hasil panennya menurun. Keduanya akan mendorong harga pangan naik di masa depan.
Monopoli penyediaan pupuk oleh pemerintah menimbulkan kerugian pada petani dan konsumen karena kelambatan respon pemerintah menyebabkan kelangkaan pupuk dan kenaikan harga berlangsung lama. Campur tangan pemerintah yang sedianya menguntungkan petani dan konsumen justru berakibat sebaliknya.
Mekanisme Pasar
Dihadapkan pada masalah kelangkaan yang sama, mekanisme pasar lebih cepat mengembalikan kecukupan pasokan pupuk dan harga ke tingkat semula. Kenaikan harga pupuk di suatu daerah menjadi sinyal kelangkaan pupuk yang segera ditangkap oleh pelaku bisnis pupuk di berbagai wilayah. Pelaku bisnis pupuk akan saling beradu cepat memanfaatkan kesempatan mendapat keuntungan dari kelangkaan pupuk. Jika memang produksi pupuk dalam negeri tidak mencukupi, pedagang pupuk akan mengimpornya dari luar negeri selama terdapat marjin laba positif.
Respon keputusan dan pelaksanaan para pelaku bisnis pupuk ini jauh lebih cepat daripada respon pemerintah. Selama tidak ada syarat ijin pemerintah untuk memproduksi dan mengimpor pupuk, akan terdapat cukup banyak produsen dan pengimpor yang tidak memungkinkan terbentuknya kartel.
Liberalisasi impor pupuk akan memaksa produsen oligopolis pupuk domestik untuk meningkatkan efisiensi. Produsen pupuk domestik yang tidak efisien akan terpaksa tutup. Kita tidak perlu menangisi tergusurnya produsen yang inefiisen tersebut. Mereka selama ini hanya dapat bertahan karena proteksi dan subsidi pemerintah. Kinerja buruk mereka tidak patut dihargai dengan keuntungan.
1 komentar:
oooooooomong kosong bila gajiiiiiiii rakyat masih kecilllllllllll
sampe kiamat ga ada pemerataaaannnnnnn
Posting Komentar