Senin, 11 Mei 2009

Kemandirian Mikro vs Makro

Ada cerita menarik tentang pembangunan Singapura yang dilontarkan oleh seorang audien dalam seminar yang diselenggarakan National Press Center Indonesia bertajuk "Kemandirian untuk Kesejahteraan Bangsa" di FE Universitas Airlangga hari ini. Audien tersebut menyampaikan penuturan Lee Kuan Yew mengenai strategi pembangunan Singapore.

Secara singkat, Lee Kuan Yew menuturkan bahwa pada saat Singapore baru merdeka, ia menargetkan bahwa dalam 10 tahun Singapore harus bebas pengangguran. Maka kemudian ia menempuh jalan apapun yang dapat mewujudkan target ini. Investasi asing diundang dengan agresif, yakni dengan memberi tax holiday hingga 10 tahun dan pengurusan perijinan investasi selesai hanya dalam 1 hari. Hasilnya, nol pengangguran tercapai tidak sampai 10 tahun, melainkan hanya dalam 4 tahun! Bahkan, Singapore setelah itu harus mengimpor tenaga kerja asing untuk menutupi kekurangan tenaga kerja lokal.

Target berikutnya adalah meningkatkan penghasilan pekerja. Target ini dicapai dengan meningkatkan industri capital-intensive dan mengurangi industri labor-intensive. Industri capital-intensive adalah industri dengan produktivitas per tenaga kerja yang tinggi, karenanya ia mampu menggaji tinggi pekerjanya.

Apa hubungan cerita tersebut dengan kemandirian? Saya menangkap bahwa kemandirian yang dikejar Singapore adalah kemandirian pada level individu, dengan mengesampingkan ego kemandirian pada level makro.

Pekerjaan adalah sarana individu memperoleh kemandirian. Dengan terbebas dari menggantungkan diri secara ekonomi pada orang lain, individu bebas menentukan pilihan sendiri pada ranah nilai, sosial, maupun politik.

Namun Singapore mengorbankan kemandirian pada level makro dengan membuka pintu investasi selebar-lebarnya pada pemodal asing. Mungkin Singapore tidak melihat adanya esensi penting dari kemandirian pada level makro ini, atau maksimal kalah penting daripada kemandirian level individu.

Pada kasus Indonesia, kemandirian mikro masih sangat memprihatinkan. BPS mencatat bahwa tingkat pengangguran pada Agustus 2007 masih berada pada level 9,11 persen. Padahal, kita tidak mengalami krisis parah seperti Amerika Serikat yang baru mencapai tingkat pengangguran 8,9 persen pada April 2009.

Dengan gambaran kemandirian mikro yang buruk seperti ini, masih perlukah kita mempertahankan kemandirian makro, misal dengan tidak menyetujui liberalisasi investasi asing?

Argumen utama penentang liberalisasi investasi asing ada dua: bahwa investasi asing menyerap surplus lebih besar daripada dana yang ditanamkan, dan; bahwa investasi asing mengeruk sumber daya alam dengan memberikan pendapatan yang tidak sebanding. Dua proposisi tersebut perlu diuji secara empirik. Ada yang berminat mengujinya?

Tidak ada komentar: