Jumat, 29 Mei 2009

Peran Pasar dan Negara: Inti Debat Neoliberal vs Ekonomi Kerakyatan

Kemarin malam, saya menonton diskusi tentang ekonomi kerakyatan di TVRI yang menghadirkan cawapres Prabowo. Satu ungkapan Prabowo yang terngiang cukup keras adalah bahwa pemerintah tidak boleh hanya jadi wasit, namun harus campur tangan langsung untuk mengatasi masalah-masalah ekonomi. Bentuknya antara lain adalah pemberdayaan BUMN untuk menggerakkan ekonomi, membalikkan arus privatisasi saat ini.

Anda setuju? Perlu diingat bahwa kebijakan privatisasi diambil tidak hanya karena desakan IMF, tanpa rasionalisasi sama sekali. BUMN telah lama dikenal sebagai sapi perah bukan hanya penguasa, namun juga swasta yang bermitra dengannya. Kabarnya banyak BUMN merugi karena inefisiensi pengelolaan maupun kebocoran yang tidak ada kaitannya dengan operasional BUMN.

Kalau BUMN sudah rugi, pada akhirnya pemerintah juga yang diminta menutupi kerugian tersebut dengan anggaran negara. Uang yang semestinya bisa digunakan untuk kemanfaatan rakyat justru digunakan untuk mensubsidi BUMN yang dikelola dengan buruk.

Privatisasi dianjurkan untuk mengobati BUMN bermasalah seperti ini. Kepemilikan swasta diharapkan dapat menegakkan disiplin pengelolaan. Jika inefisiensi terjadi lagi, pasar akan meresponnya dengan kejatuhan harga saham. Kerugian tidak akan ditolerir oleh pemilik swasta. Pemilik swasta merasa lebih baik melikuidasi perusahaan yang rugi terus-menerus. Likuidasi ini bagi manajemen dan karyawan berarti kehilangan pekerjaan. Karenanya, mereka akan berusaha mencegah jangan sampai perusahaan merugi.

Sayang sekali, tujuan baik privatisasi disalahgunakan oleh oportunis asing maupun domestik. Dengan menumpangi privatisasi, pemodal asing mengambil alih BUMN dari tangan pemerintah.

Mending jika BUMN yang dibeli memang perusahaan yang selama ini merugi. Kenyataannya, BUMN yang dijual justru yang selama ini berkinerja cukup bagus dan memiliki prospek yang sangat baik. Pola ini paling nampak dalam kasus privatisasi Indosat dan Telkomsel. Kedua BUMN ini memimpin pasar oligopolis pada sektor telekomunikasi yang mengalami pertumbuhan tercepat di Indonesia.

Kegagalan privatisasi juga disebabkan metode pengalihan saham dengan menjualnya pada investor strategis. Pemilihan investor strategis sangat tidak transparan dan rawan korupsi. Metode penjualan di bursa saham jauh lebih transparan dan memastikan adanya disiplin pasar.

Pemerintah saat itu beralasan bahwa pemilihan investor strategis akan memastikan terjadinya transfer teknologi dari investor strategis ke BUMN yang diprivatisasi. Masalahnya, tidak ada ukuran dan cara evaluasi yang pasti untuk mengetahui apakah transfer teknologi tersebut benar-benar terjadi pasca pengalihan.

Kegagalan privatisasi di Indonesia dikontribusi sebagian oleh proses penyelenggaraan negara yang buruk. Kegagalan pengelolaan BUMN juga disebabkan buruknya penyelenggaraan negara. Masalah terjadi dengan atau tanpa privatisasi, karena sumber masalahnya bukan pada privatisasi, melainkan pada kegagalan negara.

Pasar di mana pelakunya mengejar kepentingan diri masing-masing memang tidak bisa menjamin pemerataan. Di sisi lain, kita punya negara yang tidak bisa diandalkan. Seperti kampanye Ronald Reagan, "the state is not the solution, the state is the problem".

Prabowo menyadari hal ini di tengah pemaparan usulannya mengenai penggunaan BUMN sebagai penggerak ekonomi dengan menyebut bahwa memang selama ini belum sempurna namun bisa diperbaiki. Pengertian "belum sempurna" ini yang sering luput dari pendukung liberalisasi. Kebelumsempurnaan mencerminkan adanya manfaat, walaupun tidak sepenuhnya sesuai harapan.

Program pemerataan seperti BLT dan program pemberdayaan lain memang belum mampu mewujudkan tujuan pengentasan kemiskinan, namun bukannya tanpa guna. Pengendalian harga bahan pokok oleh BULOG mungkin tidak sepenuhnya efektif dan banyak kebocoran, namun tanpa BULOG harga bahan pokok jauh lebih tak terkendali.

Kaidah yang perlu diterapkan adalah, "kalau tidak dapat semua, jangan dibuang semua". Intervensi negara dalam setiap ranah kehidupan selalu diwarnai ketidaksempurnaan, namun tanpa intervensi tersebut banyak ketidakadilan dan ketelantaran.

Korupsi memang menghambat pencapaian kesejahteraan, namun eksistensi korupsi tidak menihilkan kemampuan pemerintah untuk memajukan kesejahteraan rakyat. China dan India adalah contoh negara yang tumbuh cepat walau korupsi masih dipraktikkan secara luas.

Pemberantasan korupsi dan intervensi pemerintah dalam ekonomi adalah dua masalah yang berbeda dan dapat dijalankan secara paralel. Walau pemberantasan korupsi belum selesai, intervensi pemerintah dalam ekonomi tetap dapat berjalan dan memberikan hasil.

Perekonomian kita memang memerlukan penyesuaian struktural agar fundamen lebih kokoh. Namun penyesuaian tersebut harus dijalankan secara pelan dan bertahap, sambil memperhatikan dampak-dampak yang tidak diinginkan. Penyesuaian tergesa-gesa yang dipaksakan oleh IMF dan ditunggangi banyak kepentingan justru membawa masalah yang bisa jadi lebih besar daripada masalah asal.

3 komentar:

bobikusayang mengatakan...

ekerakyata, liberal..... sama aja klo UMR minimum belun 100rb/hr atau 3jt/bl .. program pemerintah hanya menciptakan orang kaya baru. pekerja tetap miskin. pemerataan tidak ada... daya beli kurang. uang kebanyakan di Bank (tdk produktif). dimasyarakat sedikit....
mana bisa belanja..... gaji pas-pasan.... nailin UMR min. 4 x lipat baru sedikit ada pemerataannnn.. berani ga capres ???????????

bobikusayang mengatakan...

Hidup di Indonesia. hanya untuk pengusaha..... makanya anak gausah disekolahin tingggi-tinggiiiiii. cukup SD. trus ajarin dagang.... umur 20 th dijamin produktif bisa bantu orang tua. tapi klo kuliah.. gadein sawah .... begitu sarjana.... pengangguran, klo kerja gaji pas-pasan tinggal masih numpang ama ortu.. kasihan deh luh....
jadi pengusaha dehhhhhhh ga usah jadi pekerja.. karena pemerintah memanjakan pengusaha. pekerja; makan tahu tempe aja cukupppppppppppp.

Said mengatakan...

Upah pekerja manufaktur mencakup 60 persen dari total nilai tambah manufaktur. Apakah bagian pemilik modal 40 persen masih terlalu tinggi? Kalau dibanding sistem paron pada pertanian tradisional, bagian 60 persen di atas sudah lebih baik.

Dengan 60 persen itu, persoalannya ada pada distribusi di antara pekerja. Memperbaiki distribusi pendapatan di antara pekerja dapat dilakukan dengan memperbaiki distribusi pendidikan di antara penduduk Indonesia. Selama buruh hanya menjual tenaga, dengan ketrampilan minim, maka upahnya akan senantiasa rendah dan terdesak oleh mesin-mesin yang semakin murah.

Jika faktor distribusi berubah, namun kita menginginkan pendapatan naik 5x lipat, maka produksi per orang harus meningkat 5x juga. Kalau jam kerja dah mentok, ga bisa lembur lagi, jalannya hanya pengintensifan modal. Seseorang yang bekerja dengan tangan akan menghasilkan kurang dari yang bekerja dengan peralatan sederhana, apalagi dari yang menggunakan mesin canggih.

Memang akan ada pekerja yang terdesak keluar oleh mesin tersebut, namun tidak satu banding satu. Karena efisiensi oleh mesin akan menurunkan harga dan meningkatkan penjualan, sehingga butuh tambahan orang juga.

Selain itu, penghematan pengeluaran oleh konsumen pada produk tersebut akan dibelanjakan pada produk lain yang membuat produsen produk lain itu merekrut pekerja baru. Pengangguran dari sektor yang melakukan mesinisasi akan terserap oleh sektor lain yang permintaannya meningkat.