Rabu, 12 Maret 2008

Moral Hazard Layanan Kesehatan

Senin (3/3) saya dikabari bahwa bapak saya opname. Saya pulang hari Rabu dan ikut menunggu Bapak di RS hingga keluar. Selama waktu menunggu tersebut, saya melihat sendiri dampak dari cacat mekanisme pasar layanan kesehatan.

Bapak jatuh dari tangga hari Jumat, namun baru dironsen hari Senin. Hasil ronsen menunjukkan adanya retak tulang belakang. Dokter ortopedi baru memeriksa hari Rabu dan menawarkan pilihan untuk operasi atau digips. Karena mempertimbangkan bapak sudah sepuh dan memiliki penyakit jantung, kami memilih untuk digips saja. Gips dipasang hari Kamis. Sejak selesai pemasangan hingga saat penulisan artikel ini (Senin, 10/3), dokter ortopedi tidak pernah datang lagi untuk memeriksa kondisi Bapak. Kami juga tidak diberikan perkiraan kapan Bapak selesai rawat inap.

Kami tidak memiliki pengetahuan apakah perbedaan perawatan rumah sakit dengan rawat di rumah sendiri benar-benar signifkan mempengaruhi kesembuhan Bapak. Namun sejak pemasangan gips itu, perbedaan layanan yang diberikan rumah sakit hanya infus. Pengukuran tensi dapat kami lakukan sendiri. Selama di rumah sakit, kami mengontrol sendiri konsumsi obat yang diberikan dokter. Apakah infus ini cukup berharga hingga menimbulkan tambahan biaya kotor nominal bagi kami senilai minimal 130 ribu rupiah per hari? Saya cenderung menilai infus tidak memberikan tambahan manfaat yang sebanding.

Bagaimanapun, bukan praktik yang lazim pasien memutuskan sendiri kapan ia selesai rawat inap. Risiko yang kami hadapi jika kami melakukannya adalah hubungan kami dengan dokter ortopedi bersangkutan akan memburuk. Sebenarnya, dokter ortopedi tersebut telah mengawali hubungan buruk dengan menimbulkan kerugian bagi kami. Menghentikan hubungan buruk ini sedini mungkin adalah upaya meminimumkan kerugian kami.

Saya menduga bahwa dokter tersebut tidak memiliki insentif untuk mempertahankan kami sebagai pelanggannya jika melalui RS pemerintah. Ia tidak kehilangan apapun jika kami dan pasien lain segera menyelesaikan rawat inap. Ia mendapatkan gaji dari pemerintah untuk bekerja di RS ini pada jumlah yang tetap, berapapun banyaknya pasien yang ia rawat. Sebaliknya, ia mengeluarkan biaya waktu dan upaya pada setiap pasien yang dirawatnya. Ia dapat memaksimumkan manfaat bersih dengan meminimumkan jumlah pasien yang ia rawat.

Dengan demikian, keluar dari rumah sakit secepatnya adalah ekuilibrium di antara dokter dan kami pasiennya. Lalu mengapa kami tidak segera meninggalkan rumah sakit ini? Sebagaimana diterangkan di atas, kami menghadapi ketidakpastian mengenai kondisi Bapak, apakah memang sudah cukup aman untuk dirawat jalan. Kami menghindari kemungkinan sekecil apapun yang dapat memperparah atau memperlama kesembuhan Bapak. Sebaliknya, dokter ortopedi bersangkutan juga tidak memiliki insentif untuk sekedar datang sekali memeriksa pasien di RS pemerintah sehingga kami bisa mendapatkan kepastian mengenai apakah Bapak boleh dirawat jalan.

Pengelola rumah sakit bahkan memiliki insentif untuk mencegah kami segera keluar, sehingga mereka tidak berusaha menuntut dokter untuk memberikan kepastian pada kami. Pengelola rumah sakit relatif rugi jika pasien rawat inap di paviliun segera keluar karena pemasukan akan berkurang. Walaupun kamar paviliun akan segera terisi oleh pasien baru atau pindahan dari kelas yang lebih rendah, jumlah penerimaan akan lebih besar jika pasien paviliun saat ini tidak pergi sementara pasien baru masuk di kamar kelas lebih rendah yang masih kosong.

Senin siang kami mendapatkan keputusan bahwa Bapak boleh dirawat jalan, namun bukannya oleh dokter ortopedi, melainkan oleh dokter lain yang biasa mengecek tekanan darah. Given motivasi dia untuk mengunjungi pasien setiap hari, pertanyaan kami kepadanya mengenai kapan Bapak boleh pulang tiap kali ia datang merupakan biaya psikologis untuknya. Beban psikologis itu terakumulasi tiap kali pertanyaan itu didapatkannya. Pada akhirnya, ia merasa beban psikologis itu lebih berat daripada risiko yang ia hadapi jika memutuskan sendiri mengenai kebolehan pasien untuk dirawat jalan.

Saya juga memposting artikel berjudul "Metode Pembayaran Tetap pada Layanan Kesehatan" di blog Ekonomi Baru Indonesia mengenai gagasan untuk mengeliminasi moral hazard di atas.

Tidak ada komentar: