Lima persen per tahun? Rata-rata kenaikan harga minyak mentah tiap tahun saja sebesar 8,4 persen jika dihitung dari tahun 1947, bahkan 20,7 persen jika dihitung dari tahun 2000 (inflationdata.com). Kenaikan lima persen per tahun akan menyisakan selisih kenaikan harga yang harus ditutup dengan kenaikan subsidi. Sepertinya, Basri menyebutkan angka 5 persen hanya berdasarkan batas psikologis kenaikan harga yang tidak mengejutkan dan membebani masyarakat.
Analisis APBN P 2008
Oleh Faisal Basri, staf pengajar Fakultas Ekonomi UI
Pemerintah Membelenggu Diri Sendiri
Belum genap satu triwulan berjalan, pemerintah masih saja berkutat dengan asumsi-asumsi APBN 2008. Tak tanggung-tanggung, yang dilakukan ialah perombakan drastis atas hampir semua asumsi.
Target pertumbuhan ekonomi dikerek turun dari 6,8 persen menjadi 6,4 persen. Koreksi paling besar untuk lifting minyak, yakni dari 1.034 ribu barel per hari menjadi 910 ribu barel per hari. Juga untuk asumsi harga minyak, dari 60 dolar AS menjadi 83 dolar AS per barel.
Asumsi laju inflasi diperlonggar dari 6,0 persen menjadi 6,5 persen. Demikian pula asumsi nilai tukar rupiah, dari Rp 9.100 menjadi 9.150 per dolar AS. Hanya asumsi suku bunga SBI yang tidak diutik-utik, yakni tetap 7,5 persen.
Apakah asumsi-asumsi baru tersebut cukup menggambarkan kecenderungan dinamika jangka pendek sepanjang tahun ini, sehingga realisasi APBN 2008 tidak lagi melenceng jauh?
Tampaknya, yang paling mungkin meleset ialah asumsi pertumbuhan ekonomi. Hampir seluruh negara diperkirakan mengalami penurunan pertumbuhan ekonomi sebagai akibat tekanan berbagai arah: dampak krisis keuangan di Amerika Serikat yang belum kunjung menunjukkan tanda-tanda berakhir, serta ancaman inflasi dunia sebagai akibat kenaikan harga minyak mentah serta komoditas pangan dan tambang.
Apakah perekonomian Indonesia cukup memiliki tenaga ekstra untuk melawan arus, mengingat target yang dikoreksi ke bawah tetap lebih tinggi dari realisasi laju pertumbuhan 2007 sebesar 6,3 persen? Menghadapi perkembangan yang sangat bergejolak dewasa ini, tampaknya bisa menembus 6,0 persen saja sudah prestasi yang cukup baik.
Target inflasi tampaknya juga sulit terpenuhi. Dua bulan pertama tahun ini saja laju inflasi selalu di atas 7 persen. Padahal, potensi kenaikan harga-harga tetap besar. Sampai seberapa tahan pemerintah bersikukuh tak menaikkan harga BBM dan tarif listrik? Harus diingat bahwa harga bersubsidi ini tidak berlaku bagi kalangan dunia usaha, sehingga kenaikan harga pasar energi otomatis menambah ongkos produksi, yang pada gilirannya berdampak pada harga barang dan jasa.
Tak Diikuti Koreksi
Pertanyaan selanjutnya, mengapa koreksi terhadap asumsi laju inflasi tak diikuti koreksi terhadap asumsi suku bunga? Bukankah kedua variabel itu sangat terkait erat? Bukankah meningkatnya ancaman inflasi akan mempersempit kemungkinan penurunan suku bunga?
Bertolak dari evaluasi umum di atas, tampaknya sekalipun pemerintah telah merombak asumsi-asumsi APBN 2008 secara drastik, tetap saja menyisakan masalah yang menggantung. Perombakan drastis lebih disebabkan asumsi-asumsi yang ditetapkan sebelumnya teramat ngawur.
Jadi, alangkah baiknya momentum perubahan sekarang ini tak dilakukan setengah-setengah, sehingga memperkecil kemungkinan dilakukan perombakan besar-besaran lagi pada tahun anggaran yang sama tahun ini.
Sekadar pertimbangan, ada baiknya mengedepankan skenario alternatif, dengan asumsi-asumsi sebagai berikut: laju pertumbuhan ekonomi 6,1 persen, laju inflasi 6,9 persen, suku bunga 7,8 persen, harga minyak 85 dolar AS per barrel, lifting minyak 900 ribu barel per hari.
Dengan skenario alternatif di atas, sisi penerimaan negara tak banyak berubah. Yang bermasalah adalah sisi pengeluaran, terutama pos subsidi BBM dan listrik. Pada rancangan APBN-P 2008, subsidi total menggelembung lebih dua kali lipat dibanding APBN 2008, yakni dari Rp 98 triliun menjadi Rp 209 triliun. Lebih dari tiga perempat subsidi ini disedot untuk subsidi energi, masing-masing Rp 106 triliun untuk subsidi BBM dan Rp 55 triliun untuk subsidi listrik.
Subsidi yang menggelembung membuat postur anggaran negara sangat tidak sehat. Belanja non K/L (kementerian/lembaga) telah melampaui belanja K/L, masing-masing Rp 369 triliun dan Rp 272 triliun.
Kesenjangan itu disebabkan di satu pihak belanja non K/L naik tajam, di lain pihak belanja K/L justru sebaliknya. Sebagian penurunan belanja K/L memang mencerminkan upaya penghematan, tapi sudah barang tentu berdampak pada kualitas pelayanan publik. Mengingat, selama ini besarnya konsumsi pemerintah umum akhir (final general government consumption) - yang mencerminkan kapasitas dan kualitas pelayanan publik- sudah tergolong sangat rendah dibanding negara-negara lain, terutama negara tetangga dekat.
Pos pengeluaran untuk subsidi sangat berpeluang semakin menggelembung jika harga minyak tetap bertengger di atas 100 dolar AS untuk kurun waktu cukup lama. Apalagi, jika diiringi harga-harga komoditas pangan yang tetap tinggi.
Ditambah lagi jika terjadi kegagalan panen padi sehingga Indonesia terpaksa mengimpor beras dan gula. Pemerintah terpaksa menggelontorkan lebih banyak dana untuk subsidi pangan. Yang terakhir ini secara politik tak mungkin disampingkan.
Justru yang paling mungkin ditekan ialah subsidi BBM. Dengan melakukan kenaikan rata-rata 5 persen setahun, pemerintah memiliki ruang gerak lebih leluasa untuk mengalokasikan anggaran bagi kepentingan rakyat miskin, sehingga lebih tepat sasaran.
Adalah jauh lebih realistik, secara politik sekalipun, menaikkan harga BBM secepatnya ketimbang pada akhirnya nanti pemerintah tidak punya pilihan lain ketika masa pemilihan umum kian dekat.
Dengan bersikukuh pada posisinya seperti sekarang, sama saja artinya pemerintah membelenggu diri sendiri, sehingga mengakibatkan pilihan-pilihan alternatif kebijakan kian tak rasional. Karena itu, pada akhirnya kos politik dan sosial yang harus dibayar bertambah mahal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar