Rabu, 27 Februari 2008

Pembatasan Minyak

Pemerintah berencana melakukan pembatasan bahan bakar minyak bersubsidi dengan menggunakan kartu pintar. Gagasan ini sangat asing sehingga mengejutkan semua orang. Selama ini, wacana kebijakan subsidi minyak ketika menghadapi kenaikan harga minyak internasional selalu berputar di antara perlu-tidaknya kenaikan harga minyak. Masih banyak orang berpendapat agar harga minyak tidak dinaikkan.

Sekarang, masyarakat disodori alternatif pembatasan BBM bersubsidi. Mana yang lebih baik, kenaikan harga BBM atau pembatasan BBM bersubsidi? Adakah alternatif usulan yang lebih baik dari kedua pilihan tersebut?

Pemerintah menyatakan bahwa pembatasan BBM bersubsidi bertujuan mencegah kenaikan harga BBM tanpa meningkatkan defisit anggaran. Selama ini, kritik atas kenaikan harga BBM selalu menyorot penderitaan rakyat miskin yang daya belinya menurun karena inflasi yang mengiringi kenaikan harga BBM. Kompensasi subsidi BBM dinilai tidak mampu menjangkau semua rakyat miskin yang menjadi korban.

Kebijakan pembatasan BBM bersubsidi ternyata juga mengundang reaksi dari semua kalangan, baik akademisi, politisi, maupun praktisi bisnis. Banyak ekonom berpendapat bahwa kebijakan ini lebih buruk daripada kenaikan harga. Selain ongkos administratif yang besar, mereka menyangsikan pemerintah akan dapat menjalankan kebijakan ini, bercermin pada kekacauan semasa konversi minyak tanah ke gas elpiji. Praktisi mengeluhkan bahwa mereka kesulitan mengkalkulasi dampak kebijakan tersebut bagi bisnis mereka.

Saya menangkap kerancuan persepsi masyarakat atas rencana kebijakan pembatasan tersebut. Apakah pembatasan dilakukan ke semua BBM, atau hanya pembatasan BBM bersubsidi?

Pembatasan BBM tidak mungkin diterapkan pada semua jenis BBM, karena efeknya akan sangat buruk pada perekonomian. Produksi dan permintaan agregat akan terkendala oleh kuota BBM ini. Walau banyak calon penumpang, bus yang telah kehabisan kuota BBM tidak dapat mengantar mereka.

Pembatasan BBM hanya mungkin diterapkan pada BBM bersubsidi. Setiap penerima subsidi hanya berhak membeli BBM bersubsidi hingga kuantitas tertentu. Kelebihan kebutuhan mereka dari kuota masih dapat mereka beli pada harga non-subsidi. Mekanismenya akan mirip dengan raskin. Hanya saja, tidak ada perbedaan kualitas produk antara BBM bersubsidi dengan BBM non-subsidi.

Belanja subsidi pemerintah akan sebesar selisih harga pasar dengan harga BBM subsidi yang ditetapkan dikalikan dengan kuota. Belanja pemerintah untuk subsidi BBM akan lebih terkendali karena pemerintah telah menetapkan kuota sejak awal. Akan tetapi, selisih harga masih bergantung pada pergerakan harga pasar minyak. Selain itu, realisasi kuantitas BBM yang disubsidi masih bergantung pada perubahan jumlah kendaraan yang berhak mendapatkan subsidi.



Saya mengikuti saran dari komentator anonym untuk melakukan analisis individual dengan kurva indifferen. Kurva di atas menunjukkan pilihan bundel konsumsi seorang pada tiga situasi yang diwakili oleh tiga warna garis anggaran dan kurva indiferen. Warna hitam mewakili situasi subsidi penuh seperti saat ini. Warna merah mewakili situasi di mana seluruh subsidi BBM dicabut, sehingga konsumen mengurangi konsumsi BBM maupun komoditas lain akibat efek pendapatan. Kebijakan kuota pembelian BBM bersubsidi membuat konsumen tersebut masih menghadapi harga biasa (garis anggaran awal) hingga level kuota, kemudian setelahnya menghadapi harga non-subsidi (garis anggaran biru).

Kebijakan manapun akan membuat konsumen mengurangi konsumsi BBM. Apakah konsumsi barang lain bertambah atau berkurang bergantung pada efek pendapatan atau substitusi yang lebih besar.



Grafik di atas menggambarkan respon jangka pendek individu akan mekanisme kuota subsidi harga BBM. Konsumen A yang biasa mengkonsumsi BBM kurang dari kuota pada harga bersubsidi tidak akan merubah perilaku konsumsinya. Konsumen B dan C akan mengurangi konsumsinya daripada saat menikmati harga subsidi. Hanya saja, konsumen B akan berhenti konsumsi tepat pada kuota sehingga masih menikmati harga subsidi. Sedangkan konsumen C tetap mau mengkonsumsi lebih dari kuota.

Pada jangka panjang, konsumen akan mengubah strategi konsumsi BBM. Sebagian konsumen akan beralih pada tipe-tipe kendaraan yang berhak mendapatkan harga subsidi. Misalkan, jika tipe mobil sedan tidak berhak subsidi, sedangkan tipe mobil niaga berhak, maka secara bertahap tren permintaan sedan akan turun sedangkan tren permintaan mobil niaga akan naik.

Jika kendaraan pribadi tidak berhak atas subsidi, sebagian konsumen akan beralih menggunakan kendaraan umum. Jika mobil pribadi yang digunakan untuk bisnis masih mendapatkan subsidi, perusahaan akan semakin banyak memiliki kendaraan dinas memenuhi permintaan pemilik atau pengelola yang ingin menghindari penggunaan kendaraan pribadi.

Desain subsidi ini perlu memperhatikan dampaknya pada perubahan perilaku masyarakat. Pemerintah perlu merancang mekanisme subsidi yang membawa pada penghematan konsumsi BBM, bukan sekedar upaya penghindaran sebagaimana kasus pengalihan kendaraan pribadi ke kendaraan dinas di atas.

Sekilas, saya melihat bahwa kebijakan pembatasan subsidi yang dirancang dengan teliti berpotensi membawa hasil yang lebih baik daripada alternatif kenaikan maupun mempertahankan harga minyak tanpa adanya kuota. Bagaimanapun juga, keputusan final sebaiknya jangan dulu diambil sebelum melakukan penelitian untuk membandingkan biaya-manfaat dari masing-masing usulan skema subsidi.

3 komentar:

Anonim mengatakan...

bukannya gambar supply-nya setelah kuota akan mengikuti harga pasar, dengan slope positif? akibatnya, yang akan melakukan penyesuaian bukan cuma konsumen B, tapi juga C. Hal yang penting diperhatikan adalah bagaimana penyesuaian yang dilakukan ini tidak menimbulkan kontraksi ekonomi. Anyway, setiap perubahan pasti akan ada biayanya.

cheers

Said mengatakan...

hmm...gimana ya?! Saya pikir kurva penawaran yang dihadapi konsumen individual dalam pasar yang terdiri dari banyak konsumen akan flat karena masing-masing konsumen tidak mampu mempengaruhi harga. Kurva penawaran akan positif dalam konteks analisis pasar minyak keseluruhan, total permintaan konsumen dan total penawaran produsen.

But thanks, anyway. Saya akan cek lagi buku mikro. Kalau memang salah, saya akan rubah kurvanya.

Anonim mengatakan...

kalau mau bermain di tingkat konsumen mungkin akan lebih tergambar dengan kurva indifference dan budget line. bagaimana kuota akan mengubah (mematahkan) budget line konsumen, dan bagaimana konsumen meresponnya karena ada efek pendapatan dan substitusi karena harga relatif yang berubah. Di sini akan lebih terlihat bagaimana efek kuota subsidi. untuk grafik permintaan dan penawaran lebih memperlihatkan kondisi pasar. posisi konsumen, A,B, dan C lebih merupakan gambaran dimana demand pasar yang ada, bukan individual. Dengan kurva penawaran yang flat menggambarkan posisi ketika subsidi dengan penetapan harga (kurva asalnya tetap slope positif), kemudian terpatah dan mengikuti kurva asal setelah kuantitas tertentu. Di sini, logikanya pemerintah membuat kuota, dengan asumsi demand berada di C (ingat A,B,C bukan representasi individu). Jika demand berada di A atau C, pemerintah tidak perlu memberi kuota subsidi. Jadi, pasti akan ada kontraksi kuantitas minyak yang diminta.