Flight to commodities, sampai kapan?
oleh : Helmi Arman (Ekonom Bahana Securities)
Saat ini, dunia menghadapi anomali. Di tengah prospek melesunya pertumbuhan ekonomi dunia, harga komoditas primer justru melambung tinggi. Sampai kapankah tren ini berlanjut?
Sumber daya alam yang menjadi sumber energi memang semakin langka. Namun, kenaikan harga komoditas primer belakangan ini yang cepat tampaknya sulit dijustifikasi dengan alasan kelangkaan.
Pertumbuhan permintaan dunia terhadap komoditas primer hampir dipastikan melambat. Hal ini karena prospek resesi di Amerika Serikat dan dampak negatifnya terhadap perekonomian global.
Alasan yang sering dikemukakan untuk menjelaskan pesatnya kenaikan harga komoditas belakangan ini adalah melemahnya nilai dolar AS terhadap mata uang negara-negara besar lainnya. Sejak pertengahan tahun lalu, dolar AS melemah sebesar 16% terhadap yen dan 19% terhadap euro.
Karena perdagangan komoditas primer didenominasikan dalam satuan dolar AS, kenaikan harga komoditas itu sering diasosiasikan dengan pelemahan mata uang tersebut. Namun, argumentasi ini dapat dengan mudah disanggah, karena penurunan nilai dolar AS jauh lebih kecil dibandingkan dengan kenaikan harga komoditas primer.
Contohnya, dalam kurun waktu yang sama, harga minyak mentah dunia naik hampir 40%. Harga emas pun meningkat 60%.
Artinya, harga komoditas memang semakin mahal bagi keseluruhan dunia terlepas dari pelemahan mata uang yang menjadi kuotasi harganya. Mengapa hal ini bisa terjadi?
Peranan premi spekulatif dalam kenaikan harga komoditas primer tampaknya memang sangat kental. Awal 2007, perekonomian Asia diprediksi mampu bertahan menghadapi penurunan pertumbuhan ekonomi AS.
Namun, ekspektasi tersebut mulai sirna. Hal ini terlihat dari kecenderungan melemahnya kinerja berbagai indeks harga saham di Asia sejak kuartal ketiga 2007.
Sebagai contoh, indeks harga saham di Korea (Kospi), Jepang (Nikkei), bahkan Filipina (PSE) turun lebih dari 20% dibandingkan dengan posisi tertingginya pada akhir 2007. Hanya indeks harga saham di Indonesia [Bursa Efek Indonesia] yang cukup bertahan, itu pun hanya ditopang oleh kenaikan nilai saham perusahaan yang bergerak di sektor pertambangan.
Pada saat pertumbuhan ekonomi dunia melemah, kita sering menyaksikan terjadinya gejala flight to quality, yaitu beralihnya arus likuiditas global mencari instrumen investasi yang dianggap paling aman.
Secara historis, surat perbendaharaan negara AS (US Treasury Securities) banyak menjadi tujuan pelarian.
Namun, saat ini kondisinya berbeda. Karena dolar AS berada dalam tren melemah dan tekanan inflasi di Negeri Paman Sam itu meningkat, flight to quality menuju US Treasurys tampaknya tidak terjadi.
Berdasarkan data, pembelian neto US Treasury Securities oleh investor di luar AS justru menunjukkan tren menurun. Rata-rata berjalan (six month moving average) pembelian neto surat berharga US Treasury turun dari US$94 miliar pada Juni 2007 menjadi hanya US$36,2 miliar pada Desember 2007.
Jadi, pada saat pertumbuhan dunia melambat dan investasi saham dijauhi, tidak terlihat adanya flight to quality signifi-kan menuju pasar US-treasury. Lantas, kemanakah likuiditas dunia mengalir?
Mungkin yang kita saksikan sekarang adalah flight to commodities! Komoditas primer, terutama energi, menjadi tujuan investasi, karena dianggap semakin langka.
Kecenderungan ini tidak bisa dibuktikan. Namun, sulit pula dipungkiri, karena pada Februari saja, misalnya, indeks harga komoditas naik hampir 20%!
Sampai kapankah tren ini berlanjut?
Ada alasan kuat mengapa kita boleh memperkirakan harga komoditas akan tetap berada dalam tren menanjak tahun ini. Periode kontraksi perekonomian di AS biasanya terjadi dalam kurun waktu 6-16 bulan.
Melihat besarnya dampak krisis subprime mortgage yang dihadapi saat ini, sangat mungkin AS masih berada dalam kondisi resesi selama 2008. Dalam kondisi seperti itu pula, the Fed diperkirakan terus memotong suku bunga dan memimpin pelemahan nilai dolar AS. Selama itu pula, komoditas primer bisa terus menjadi tujuan penempatan dana investor global.
Prospek berlangsungnya flight to commodities ini membawa implikasi yang serius bagi Indonesia. Isu yang paling hangat adalah menyangkut RAPBN-P 2008.
Realisasi harga rata-rata minyak mentah dunia tahun ini kemungkinan besar berada dalam asumsi RAPBN-P 2008, yaitu sebesar US$83 per barel.
Artinya, beban subsidi BBM berisiko membengkak melebihi anggaran. Defisit anggaran pun bisa melebar dan lebih mendorong kenaikan imbal hasil obligasi.
Jumat, 14 Maret 2008
Flight to commodities, sampai kapan? - Helmi Arman
Analisis Helmi Arman di Bisnis Indonesia (10/03/2008) pada perkembangan harga komoditas primer menyimpulkan bahwa kenaikan harga belakangan ini disebabkan lebih banyak oleh pengalihan arus likuiditas dari instrumen keuangan daripada faktor fundamental atau pelemahan dolar AS. Untuk kasus minyak, saya menilai pengalihan arus likuiditas itu hanya memperkuat tren kenaikan yang memang didorong oleh kekurangan pasokan minyak. Sedangkan kenaikan harga emas dipengaruhi bersamaan oleh pelemahan dolar dan spekulasi dari pengalihan likuiditas ini.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar