Artikel pertama berikut saya ambilkan dari milik Yanuar Rizky yang dimuat Bisnis Indonesia (10/03/2008). Saya sangat menyukai gaya analisisnya yang membaca pikiran masing-masing pemain di sektor finansial.
Perang moneter global
oleh : Yanuar Rizky, Analis Independen-Aspirasi Indonesia Research Institute (AIR Inti)
Sebagai analis, ada dua kejadian menarik dalam dua minggu terakhir ini. Pertama, menjadi nara sumber di acara investor gathering sebuah perusahaan sekuritas (1 Maret 2008). Kedua, dengar pendapat di Komisi XI DPR-RI terkait pemilihan Gubernur BI periode 2008-2013 (5 Maret 2008). Kedua acara tersebut serupa dari sisi potret perang moneter global, meski berbeda sisi pandangnya.
Di kedua acara tersebut, saya memulai gambaran tentang posisi pasar finansial seperti yang telah dibahas di kolom rutin ini. Yaitu, perang moneter antara Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed) dan Cina (PBC). Saya pun memulai dari memetakan potret posisi lapangan finansial pada 2005 yang berulang di 2007, dengan jebakan off-side yang sama, yaitu harga minyak dunia.
Bedanya di 2007, The Fed mendapat tekanan internal, sehingga perlu mengatur permainan di lapangan tengah, disaat politik dalam negerinya menuntut penurunan tempo sang play maker (The Fed) berupa Fed rate rendah. Di sisi lain, PBC bertanding dengan posisi lebih siap untuk tidak terjebak off-side, dengan cadangan energi alternatif yang telah dikumpulkannya, sehingga sang play maker (PBC) bermain lebih menyerang dengan menaikkan rate.
Lalu, di manakah posisi Indonesia? Suka atau tidak, di kedua periode pertarungan kita merupakan penonton dan berpotensi menjadi korbannya. Faktanya, kejadiannya batuk-batuk pasar finansial global pada 2005 dan 2007 telah menimbukan efek yang sama, yaitu tergerusnya kebebasan fiskal negara. Tekanan ke masyarakat pun sama, harga-harga naik disaat daya kerja terus menggerus daya beli itu sendiri.
Pemerintah dan Bank Indonesia selama ini hanya sebatas mengatur lalu lintas penonton.
Pertama, kelompok mampu yang dapat membeli tiket di dalam lapangan finansial, sehingga madu permainan (tim asing) tentu dapat pula dinikmati.
Kedua, kelompok kurang beruntung yang tak mampu membeli tiket (ataupun kurang pengetahuan) untuk masuk stadion, sehingga hanya mendengar riuh-rendah sorak sorai dan tak jarang menjadi korban tawuran atas pertandingan yang tidak dia tonton langsung.
Jika kita perbandingkan pasar finansial China dan Indonesia, meriah dimulai dari tahun yang sama, yaitu 2002. Bedanya, pada 2005, Cina sudah menjadi pemain. Dan 2007, semakin mantap sebagai pemain utama peta moneter gobal. Yang dilakukan Cina sederhana saja secara teori ekonomi, yaitu memanfaatkan momentum perbaikan parameter makro untuk menggerakan kembali sektor riil.
Menggerakkan sektor riil berarti memicu daya kerja masyarakat untuk menopang daya beli konsumen itu sendiri. Layaknya sebuah mesin, untuk bergerak dibutuhkan pelumas dan bahan bakar.
Itulah fungsi stimulus fiskal dari sisi belanja negara dan intermediasi sistem keuangan dari sisi transaksi antar masyarakat. Kuncinya jelas, harmonisasi kebijakan perekonomian negara (fiskal) dengan moneter. Dan pengemudinya jelas kepala negara.
Pada 2002-2005, China menyeimbangkan kenaikan cadangan devisa dari masuknya hot money dengan menyalurkannya ke sektor riil. Instrumen jaminan sosial berbasis investasi (melalui sekuritisasi sovereign wealth fund/SWF) maupun menyeimbangkan penyaluran kredit perbankan (LDR). Dalam banyak pidato anggota Dewan Gubernur PBC, jelas dinyatakan bahwa LDR difokuskan ke sektor terfokus ke penyerapan tenaga kerja yang sekaligus memperkuat fundamental perekonomian.
Membaiknya parameter makro untuk menggerakkan sektor riil akan meningkatkan jumlah penonton ke lapangan finansial, sekaligus memicu semangat tim negaranya untuk masuk ke lapangan pertandingan. Itulah fakta dari pertumbuhan orang sejahtera di Cina (Hong Kong dan Cina), yang saat ini telah berada di kisaran angka pertumbuhan 100% jika dibandingkan 2002 (Riset Merill Lynch-Capgemini, rata-rata pertumbuhan orang sejahtera di Cina dan Hongkong rata-rata 15-30% per tahunnya sejak 2004).
Sementara itu, di Indonesia, meski indeks bursa merangkak fantastis dari kisaran 350 (awal 2002) ke kisaran 2.700 (awal 2008) dengan rata-rata nilai transaksi harian dari Rp350 Miliar ke Rp5,3triliun, angka penonton di stadion masih berada di kisaran 0,01% populasi penduduk produktif. Data rekening efek (KSEI) menunjukan angka 228.157 (agregat tersebut tentu tercampur pula penonton (investor) asing).
Dari sisi aset penonton di stadion finansial tersebut, pada 2007 investor lokal mampu menaikan nilai asetnya sebesar 95,06% dibandingkan 2006 dan investor asing meningkat sebesar 52,39%. Dari sisi jumlah aset investor lokal masih 61,38% dari total aset investor asing.
Ada dua implikasi dari data tersebut, yaitu: Pertama, masih dominannya penonton asing menikmati pertandingan dari negaranya di pasar negara berkembang (emerging market) seperti Indonesia; Kedua, meluasnya kesenjangan antara penonton lokal di dalam dan luar stadion finansial, sehingga tak heran angka pengangguran meningkat menyertai kenaikan indeks itu sendiri.
Teradap dua fenomena tersebut, tentu tergantung dari mana kita mengambil angle-nya. Kalau dari sisi kebijakan ekonomi negara, tentu inilah tantangan riil perekonomian negara. Dari sisi pelaku pasar, sepanjang mampu membaca arah pertandingan, maka keuntungan finansial akan diperoleh. Sedangkan masyarakat luas tentu saja semakin tertekan, yang tercermin dari jeritan kenaikan harga-harga.
Prediksi
Posisi indeks yang menaik di periode sebelumnya perlu dicermati ke arah penurunan. Karena tren rekening kontrak RePO, SLTD dan TAF di rekenig The Fed telah menunjukan akhir dari open position pembentukan harga atas untuk ambil untung. Di minggu berikutnya, indeks menurun.
Di akhir minggu ini rekening The Fed kembali menunjukan angka kenaikan 34,16% (year on year). Itulah peta riil pertarungan moneter global yaitu negara maju mengambil financial netting untuk mengatasi kontraksi likuiditas dari penurunan rate. Di sisi ini, China masih menunjukan pertumbuhan devisa-nya dengan bermain menyerang melalui kenaikan rate dan disiplin di pertahanan.
Kalau Anda beruntung dengan feel pasar, maka tentu saja akan ikut beruntung sebagai penonton. Dan jika itu terjadi, ada baiknya Anda membaginya dengan membelanjakan ke pasar riil di luar stadion. Agar raktyat banyak ikut menikmati madunya.
Bagi negara, tentu tantangan tidak ringan bagi pemerintah dan Bank Indonesia. Itulah tantangan riil bagi Gubernur Bank Indonesia berikutnya. Suka atau tidak, di 2005 saat otoritas moneter (Bank Indonesia) tidak dihinggapi politisasi, dalam fluktuasi rupiah, angka OPT (Operasi Pasar Terbuka) yang dihabiskan lebih kecil dari 2008 dengan diikuti peningkatan cadangan devisa.
Di Februari 2008 memang cadagan devisa kembali meningkat (Rp57 triliun), meski belum menyetuh angka sebelum intervensi besar di pasar kurs 29 Januari 2008 tatkala politisasi menyentuh kembali kredibilitas BI (Rp58 triliun). Kalau dilihat rekening Devisa BI, maka sumber peningkatannya adalah dari terserapnya Obligasi Pemerintah. Sementara, rekening OPT meningkat dan uang beredar (primer dan giro) mengalami tekanan penurunan.
Kalau dipetakan secara fair dan ojektif, Gubernur BI ke depan menghadapi masalah yang tidak ringan. Untuk itu, kemampuan team work sebagai jalan keluar dari politisasi lembaga adalah keharusan. Bukan soal dari luar dan dalam BI, tapi seorang dengan kapasitas lebih dalam membaca, merasakan dan memengaruhi ekspektasi pasar haruslah di atas rata-rata.
Ambil contoh, di Amerika Serikat, Presiden Ronald Reagen melakukan branding atas figur Alan Grenspan dari setahun sebelum dicalonkan. Demikian pula Presiden Bush Jr dan Grenspan melakukan branding terhadap Bernanke (Gubernur The Fed saat ini) setahun sebelum dicalonlan.
Rasanya, jejak rekam kedua calon GBI versi pemerintah belum menunjukan ke arah tokoh kharismatik tersebut. Itu karena, Presiden SBY tidak pernah melakukan komunikasi publik untuk menyakinkan kapasitas calonnya (Branding).
Pemimpin politik selalu asyik di dalam stadion-nya (kotak kenikmatan) dan melupakan bahwa bagi rakyat banyak yang dibutuhkan adalah stabilitas makro termanfaatkan untuk menjalankan intermediasi penyediaan lapangan kerja (financial deepening). Quo vadis perekonomian Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar