Jumat, 14 Maret 2008

Kaum Petani dan Paradoks Produktivitas Hasil Pertanian - Khudori

Kompas (6/3/2008) memuat analisis Khudori mengenai karakteristik sektor pertanian padi dan kebijakan pembelian Bulog. Struktur pasar gabah merugikan petani sebagai produsen, sementara struktur pasar beras merugikan konsumen. Pada kedua pasar tersebut, pengolah dan pedagang menjadi pihak yang menikmati rente. Pemerintah sendiri tidak berbuat banyak untuk memperbaiki situasi ini.

Kaum Petani dan Paradoks Produktivitas Hasil Pertanian
oleh
Khudori

Setiap usaha tani, tak terkecuali usaha tani padi, memiliki ketergantungan terhadap cuaca dan iklim. Ketergantungan ini menghasilkan irama tanam dan panen yang (hampir) ajek.

Produksi beras utama dihasilkan pada empat bulan panen raya (Februari-Mei), mencapai 60 persen-65 persen dari total produksi nasional. Produksi berikutnya dihasilkan pada musim panen gadu I (Juni-September) dengan produksi 25 persen-30 persen. Sisanya dihasilkan pada musim paceklik (Oktober Januari). Perubahan iklim membuat irama tanam dan panen kacau.

Irama panen yang tidak merata membuat harga berfluktuasi. Harga gabah/beras melorot ketika panen raya, sebaliknya harga gabah/beras naik tajam saat paceklik.

Nasib petani terombang-ambing di antara dua kutub itu. Ini terjadi karena daya tawar petani lemah dalam perdagangan gabah sebab surplus jual dan kemampuan menyimpan gabah rendah, sedangkan kebutuhan likuiditasnya tinggi.

Petani menjual seluruh gabah segera setelah panen dalam bentuk gabah kering panen (GKP). Padahal, kualitas gabah amat dipengaruhi cuaca. Saat hujan/mendung mutu GKP amat buruk. Dengan karakteristik demikian, pasar gabah bersifat monopsonistik dan tersegmentasi secara lokal.

Adapun penawaran gabah petani amat inelastis. Pasar gabah lokal di tingkat petani tak sempurna, inefisien, dan sangat tidak adil (merugikan petani, tetapi menguntungkan pedagang).

Perpaduan

Perpaduan antara produksi padi yang fluktuatif, penawaran gabah yang inelastis, dan pasar gabah yang monopsonistik membuat fluktuasi harga gabah di level petani amat tinggi dan tak menentu.

Artinya, di samping risiko produksi, petani juga menghadapi risiko harga. Jadi secara keseluruhan risiko usaha tani padi amat tinggi.

Fluktuasi produksi dan harga juga jadi risiko usaha pedagang gabah (mitra Bulog). Namun, karena daya tawarnya tinggi, risiko diinternalisasikan pedagang ke ongkos (margin) pemasaran yang tinggi. Terjadilah paradoks produktivitas.

Porsi terbesar nilai tambah peningkatan produktivitas usaha tani dinikmati mereka yang di luar usaha tani. Akibatnya, pendapatan riil petani kian tertinggal jauh dari pendapatan mereka di sektor non-usaha tani.

Karakteristik yang sama terjadi pada pasar beras: harga produksi pertanian di tingkat konsumen dan di tingkat produsen bersifat asimetri (Simatupang, 2001).

Ini berarti peningkatan harga beras di tingkat konsumen ditransmisikan tidak sempurna dan lambat ke harga gabah di tingkat petani. Adapun penurunan harga beras di tingkat konsumen ditransmisikan sempurna dan cepat ke harga gabah di tingkat petani.

Sebaliknya, peningkatan harga gabah di tingkat petani ditransmisikan sempurna dan cepat ke harga beras di tingkat konsumen, sedangkan penurunan harga gabah di tingkat petani ditransmisikan tidak sempurna dan lambat ke harga beras di tingkat konsumen. Artinya, fluktuasi harga beras atau gabah cenderung merugikan petani dan konsumen. Kalaupun ada manfaatnya, yang menikmati adalah pedagang dan penggilingan padi.

Rencana Bulog

Dalam kondisi demikian, rencana Bulog (Kompas, 19/2/8) memberlakukan tiga syarat tambahan baru—derajat sosoh 95 persen, butir kuning maksimal 3 persen, dan kandungan menir maksimal 2 persen—di luar dua syarat instruksi presiden (kadar air GKG maksimal 14 persen dan kadar hampa maksimal 3 persen) merupakan malapetaka baru.

Bulog boleh berdalih, syarat itu untuk menaikkan kualitas beras. Namun, dalih ini tak lebih sebagai upaya lepas tangan dan usaha Bulog menekan harga jual gabah/beras petani. Selama ini untuk memenuhi dua syarat instruksi presiden saja petani sudah kesulitan, bagaimana jadinya bila ditambah syarat baru.

Untuk meminimalkan risiko ini, pemerintah melakukan intervensi. Lewat Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2007 tentang Perberasan, pemerintah mematok harga pembelian pemerintah (HPP) atau procurement price: GKP Rp 2.000 per kg, gabah kering giling (GKG) Rp 2.575 per kg, dan beras Rp 4.000 per kg.

Namun, HPP bukanlah perlindungan harga, baik harga langit-langit (ceiling price) maupun harga dasar (floor price). Batu pijak konsep HPP adalah kuantitas: membeli sejumlah tertentu beras/gabah (untuk raskin dan stok nasional) pada harga yang ditentukan.

Oleh karena sifatnya target kuantum, pengaruh pembelian terhadap tingkat harga di pasar menjadi residual. Konsep HPP yang diterakan sejak tahun 2002 itu punya limitasi kembar. Ketika pasar beras terbuka, procurement price tidak lagi menyentuh kepentingan petani. Demikian pula saat harga gabah/beras anjlok. Sebaliknya, saat harga naik, procurement price juga tidak menyentuh kepentingan konsumen.

Diktum-diktum di Instruksi Presiden No 3/2007 cuma mengatur pengadaan beras Bulog. Tak jelas siapa yang bertanggung jawab atas perlindungan harga (naik/anjlok). Akhirnya jadi terang benderang, syarat tambahan baru itu menunjukkan kekompakan pemerintah-Bulog: sama-sama lepas tangan dan tidak mau tahu atas risiko besar yang ditanggung petani.

Tidak ada komentar: