Mazhab kedua melihat bahwa endowment sumber daya alam dan manusia di sektor pertanian justru memberikan peluang untuk dijadikan andalan. Mazhab kedua ini memprediksi bahwa pembangunan sektor pertanian akan mendistribusikan hasilnya dengan lebih merata daripada pembangunan sektor manufaktur dan jasa yang dikuasai oleh segelintir penguasa dan pemilik modal. Widodo berada pada mazhab kedua ini.
Obesitas Keuntungan Perbankan
Oleh :
L Wiji Widodo
Staf Pusat Dokumentasi dan Publikasi Ilmiah (PDPI) Fakultas Ekonomi Univ Brawijaya Malang
Pada 2007 alunan merdu didendangkan kinerja perbankan kita. Bagaimana tidak, laba bank tumbuh 23,6 persen, bank umum mencetak laba bersih Rp 35,015 triliun. Angka ini pun setelah dipangkas oleh pajak.
Perolehan ini sungguh sangat menyejukkan mata bila disandingkan dengan perolehan laba tahun 2006 yang hanya mengantongi Rp 28,3 triliun. Total aset pun berhasil dikerek lebih tinggi. Pada 2006 sebesar Rp 1.693,85 triliun, lalu pada 2007 total aset lebih membara lagi, mencapai Rp 1.986,5 triliun.
Bila melacak peran perbankan dalam mengucurkan kredit juga terjadi lonjakan. Pada 2006 kran kredit yang dialirkan sebesar Rp 792,29 triliun dan pada 2007 dibuka lebih deras lagi, Rp 1.002,01 triliun.
Gelontoran kredit yang melonjak seolah sebagai jawaban atas imbauan pemerintah kepada bank-bank untuk lebih dermawan mengucurkan kredit. Tentu menjadi pertanyaan, ke manakah derasnya arus kredit mengalir?
Keberpihakan bank
Keberpihakan bank lewat kredit adalah sebagai sebuah darah segar, tetapi yang sering tersaji ketimpangan kucuran kredit. Persentase kredit perbankan untuk perindustrian menghadirkan disparitas yang sangat tajam, yakni mencapai 23,28 persen, sementara untuk pertanian dan perikanan hanya 5,39 persen.
Demikian juga dengan penyebaran kredit yang menunjukkan perbedaan yang cukup mencolok, di mana Rp 382,87 triliun disebar di Provinsi DKI yang merupakan 49 persen dari total kredit perbankan nasional. Padahal, pertumbuhan sektor pertaniannya hanya 0,69 persen (BPS 2000). Sisanya, sebanyak 51 persen disebar di 32 provinsi, di mana di daerah ini sektor pertanian lebih banyak mendominasi.
Begitu juga kalau ditinjau dari penerima kredit, tampaknya kredit perbankan begitu royal terhadap properti mewah, seperti apartemen. Untuk yang disebut terakhir ini, kredit yang dikucurkan mencapai Rp 33.069 miliar. Bandingkan dengan agrobisnis yang hanya menerima kucuran kredit sebesar Rp 11.329 miliar.
Tentu saja hal ini tidak mengalunkan kecemasan seandainya sektor industri dihuni lebih sesak dari pada sektor pertanian. Tetapi, kenyataan sektor pertanian lebih riuh tenaga kerja. Pada 2006 ada 42,32 juta yang berteduh di sektor pertanian, meningkat lagi pada 2007, mencapai 42,61 juta jiwa.
Sementara itu, serapan tenaga kerja pada sektor industri pada 2007 hanya 12,09 juta jiwa, lebih tinggi dari tahun sebelumnya yang hanya 11,58 juta jiwa. Maka, dengan bahasa sederhana, ketika kucuran kredit lebih digelontorkan pada sektor pertanian, tentu dapat bermanfaat lebih banyak. Laju pertumbuhan pertanian tentu dapat didorong lebih kencang.
Rasio yang diperankan perbankan sedikit sekali pada sektor pertanian. Pada awal musim tanam kekurangan modal sering menjadi pil pahit yang harus ditelan petani. Di sinilah seolah dosa perbankan, permohonan kredit yang berbelit dan berliku membuat petani harus bersimpuh di kaki para pengijon, tengkulak, bahkan rentenir.
Karena itu, diperlukan akses yang lebih besar untuk pembiayaan bagi petani lewat perbankan. Pihak perbankan diharapkan mempunyai skenario baru yang lebih fokus terhadap sektor pertanian.
Menganak tirikan pertanian yang sering diperankan perbankan selama ini dikarenan sektor ini dianggap mempunyai risiko kegagalan yang sangat tinggi walaupun alasan ini akan mentah bila kita mau melongok Thailand. Begitu mesranya hubungan perbankkan dan pertanian di Negara Gajah Putih itu.
Negara tersebut menyadari bahwa pertanian dapat dijadikan sebuah jalan untuk menuju kemakmuran. Berbagai elemen membahu untuk mewujudkan sekaligus meruntuhkan sekat yang menghalangi kemajuan di sektor pertanian.
Petinggi yang berkuasa di Thailand menyadari bahwa transformasi ekonomi yang benar ialah dengan memperkuat fondasi yang memang mereka yakin bisa bersaing dalam hal tersebut. Dengan kemajuan pertanian yang telah dicapai, maka sedikit demi sedikit masalah krisis ekonomi yang melanda negara tersebut dapat teratasi.
Bahkan, sekarang Thailand menjadi salah satu negara agraris yang hasil pertaniannya dapat memenuhi kebutuhan dinegara ASEAN. Tak hanya mencukupi, tetapi dapat membanjiri pasar-pasar buah di Tanah Air.
Petani Thailand boleh dibilang tidak punya persoalan dengan bibit unggul baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Departemen Pertanian dan juga pengusaha berada di garda paling depan untuk menyediakan bibit yang dibutuhkan para petani.
Penelitian untuk mencari varitas unggul telah menjadi keharusan di Thailand. Petani juga tidak harus menunggu dan melalui alur yang rumit untuk mengajukan kredit sebagai tambahan modal. Thailand memiliki Bank for Agriculture and Agricultural Cooperatives (BACC) yang memang khusus menjadi lembaga keuangan untuk sektor pertanian.
Entahlah kemesraan antara perbankan dan pertanian di negara ini kapan akan dihadirkan. Gendutnya perolehan laba dan royalnya kucuran kredit dari perbankan tampaknya belum mampu menghangatkan ruang sektor pertanian dan kubangan kemiskinan pun masih cukup dalam karena 23,61 juta jumlah penduduk miskin dari total 37,17 juta orang itu berada di daerah perdesaan. Umumnya terlibat atau berhubungan dengan sektor pertanian.
Bahkan, 72 persen kelompok petani miskin adalah dari bidang pertanian pangan. Maka sulitnya permodalan bagi petani masih subur diperankan oleh para tengkulak dan rentenir dan belum dapat disandarkan pada perbankan nasional. Gemerlapnya kondisi perbankan tahun kemarin dengan lebatnya perolehan laba, moncernya kucuran kredit serta mengelembungnya total aset hanya akan menjadi figura indah dalam potret kesedihan bangsa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar