Kemandekan pembangunan ekonomi dan ketidaksiapan Indonesia menghadapi krisis membuat ekonomi Indonesia ada pada posisi berbahaya jika pengelola ekonomi masih terus menjalankan kebijakannya selama ini. Apalagi jika kebijakan fiskal lebih banyak dimensi politiknya daripada mengatasi masalah ekonomi yang sedang dihadapi bangsa dan mengabaikan pertimbangan rasional dari sisi ekonomi.
Apalagi dalam kondisi keuangan negara yang masih berat, kondisi fiskal belum sustainable, pengelolaan fiskal yang tidak rasional akan memperburuk kondisi ekonomi. Kita terjebak kepentingan jangka pendek dari pihak-pihak yang memegang kekuasaan sehingga kepentingan rakyat dikorbankan. Sementara itu, pembangunan berjalan di tempat, infrastruktur penting banyak yang rusak berat. Namun, otoritas tampaknya tidak melihat itu semua, atau tidak mau melihat itu semua.
Apakah untuk melihat persoalan itu kita harus mendengarkan profesor asing yang menguliahi kita seperti Steve Hanke. Dia saja dari jauh dapat melihat ada masalah dalam kebijakan ekonomi kita. Di mana alokasi anggaran yang berat pada subsidi (padahal banyak yang tidak tepat sasaran) sehingga anggaran untuk infrastruktur dan SDM yang penting untuk membangun ekonomi Indonesia ke depan justru dikorbankan.
Juga karena subsidi yang membengkak membuat defisit APBN melesat, yang akhirnya harus dibiayai dengan tambahan utang. Artinya, generasi mendatang harus membiayai konsumsi generasi sekarang. Sungguh kasihan anak cucu kita.
Jika pola itu masih akan berlangsung pada tahun-tahun mendatang, jelas akan membuat ekonomi kita tidak maju, bahkan mengalami kemerosotan. Padahal, jika anggaran yang disalurkan untuk subsidi tahun ini digunakan membangun jalan bebas hambatan (kualitas jalan tol) bisa mencapai 4.000 km, dalam dua tahun akan bisa dibangun 8.000 km. Ini akan membuat infrastruktur kita setara dengan China sehingga mampu menjadi modal
bagi kebangkitan ekonomi, bisa memperbaiki kehidupan kita pada masa datang.
Kebijakan fiskal memegang peran penting dalam pengelolaan ekonomi suatu negara. Alokasi anggaran dan cara membiayainya akan memeng aruhi perekonomian suatu negara.Apalagi bagi negara yang memiliki beban utang besar seperti Indonesia, yang ekonominya masih ”terpuruk” (jumlah pengangguran dan kemiskinan masih besar). Belum lagi dana terbatas dari APBN yang seharusnya digunakan untuk membangun agar ekonomi dapat bangkit malah dihamburkan untuk konsumsi, dalam bentuk subsidi yang banyak salah sasaran. Padahal, nilainya bisa mencapai 20 persen dari anggaran tahunan dan sebagian dibiayai dari utang. Akankah ini dibiarkan terjadi?
Kesejahteraan di masa depan hanya dapat dicapai dengan peningkatan pendapatan. Untuk itu, ekonomi memerlukan investasi pada modal fisik maupun modal manusia. Subsidi harga selain mengurangi alokasi anggaran untuk investasi publik juga mendorong konsumsi agregat. Dari sudut pandang ini, subsidi merupakan kebijakan yang berdampak buruk pada masa depan ekonomi.
Ditinjau dari sudut pandang lain, subsidi berperan penting bagi ekonomi bukan hanya di masa sekarang, namun juga di masa depan. Tanpa subsidi, masyarakat miskin akan mengurangi jumlah dan kualitas asupan gizi, pemeliharaan kesehatan dan mutu pendidikan. Akibatnya, anak-anak dari keluarga miskin akan kehilangan kesempatan untuk keluar dari kemiskinan dan berkontribusi lebih besar pada ekonomi di masa depan.
Kebijakan yang mengkompromikan dua perspektif di atas adalah pengalihan subsidi harga menjadi subsidi langsung pada keluarga miskin. Subsidi langsung membutuhkan anggaran jauh lebih kecil daripada subsidi harga, sehingga alokasi anggaran untuk investasi publik dapat diperbesar. Akan tetapi, pengalaman menunjukkan bahwa subsidi langsung menghadapi kendala identifikasi penerima. Ketidaktepatan distribusi subsidi di banyak tempat menimbulkan masalah konflik sosial.
Kebijakan baru memang tidak pasti berdampak neto positif pada kesejahteraan masyarakat. Namun kita tahu pasti bahwa model pengelolaan anggaran saat ini tidak layak diteruskan. Kita perlu berani membanting setir agar terhindar dari lubang yang telah jelas terlihat di depan walau kita tidak tahu pasti risiko apa yang kita hadapi setelah arah kendaraan ekonomi berubah. Kita akan antisipasi dan memperbaiki langkah kita sambil meneruskan perubahan arah. Paling tidak, kita punya harapan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar