Laporan tersebut menunjukkan bahwa pekerjaan Deptan sudah cukup banyak. Namun sayangnya semua itu belum signifikan mengangkat kesejahteraan petani.
Laporan itu sendiri sekilas terkesan sekedar menyampaikan seluruh data program dan hasil. Analisis, jarang ditemui, kalaupun ada hanya 1-2 kalimat.
Saya kesulitan mencerna apakah kenaikan harga produk pertanian dapat dianggap sebagai kinerja, karena kenaikan itu lebih banyak dinikmati oleh pedagang daripada oleh petani, sementara konsumen jelas dirugikan oleh kenaikan tersebut. Saya belum menemukan keterangan mengenai apakah strategi pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan petani berupa kenaikan harga dan pembatasan impor, di mana konsekuensinya harus mengorbankan kesejahteraan konsumen. Mungkin saya perlu membaca lebih teliti.
Bagaimanapun juga, selama jalur distribusi produk pertanian masih dikuasai segelintir pedagang, setiap kenaikan harga lebih banyak memberikan keuntungan pada mereka daripada pada petani. Kenyataannya, nilai tukar petani masih belum kembali ke tingkat semula setelah turun sejak pertengahan 2002. Grafik berikut diambil dari laporan BPS Maret 2008.
Thailand bisa mengembangkan pertaniannya. Kenapa kita tidak? Tentunya bukan sekedar perbedaan besar wilayah dan jumlah penduduk menyebabkan perbedaan capaian kita dengan Thailand. Bungaran Saragih menduga penyebab keterbelakangan pertanian kita adalah ketidaksinkronan sektor lain dengan pertanian.
Kalau begitu, keterbelakangan sektor pertanian bukan kesalahan Deptan semata? Hmm... walaupun sektor dan departemen lain harus mendukung, koordinasi semua sektor yang terkait dengan pertanian tetap harus dipantau oleh Deptan.
Sebagai langkah awal, Deptan perlu memperbaiki sistem perencanaan dan evaluasinya agar mudah mengetahui letak kesalahan dari apa yang telah dilakukan Deptan selama ini. Amat disayangkan kalau kerja keras Deptan selama ini hanya menumbuhkan tanaman yang layu dan buah yang masam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar