Menghadapi kenaikan harga minyak mentah internasional, banyak ekonom dan praktisi bisnis telah menyatakan perlunya rasionalisasi (kenaikan) harga BBM bersubsidi dalam negeri. Saya sudah menemui dukungan tersebut dari berbagai kelompok: Sri Adiningsih dari UGM, Faisal Basri dan Chatib Basri dari UI, Fadhil Hasan dari INDEF. Pengusaha pun, diwakili oleh APINDO dan KADIN, sudah menyatakan dukungannya terhadap kenaikan harga BBM tersebut, selama tidak terlalu besar.
Alasan kenaikan sudah sangat jelas dan sangat banyak. Alokasi subsidi BBM dalam APBN sudah terlampau besar. Akibatnya, APBN menjadi terlalu sensitif terhadap fluktuasi harga minyak dunia. Pembangunan modal fisik dan manusia sulit dilakukan karena tidak tersedia cukup dana. Subsidi juga mendorong pemborosan energi yang semakin langka dan menimbulkan penyelundupan.
Akan tetapi, Pemerintah terus berkeras untuk mempertahankan harga BBM. Kabinet SBY-JK tidak berani mengambil kebijakan yang tidak populis pada tahun terakhir masa jabatannya. Apalagi, inflasi sudah sangat tinggi karena didorong kenaikan harga BBM industri dan kenaikan harga pangan. Kenaikan harga BBM bersubsidi akan semakin menambah penderitaan.
Beberapa usulan kebijakan telah diajukan. Yang paling ekstrim adalah pencabutan subsidi keseluruhan, di mana secara teori opsi ini adalah first-best policy. Sebagian besar ekonom mendukung kenaikan harga secara bertahap. Faisal Basri menyebutkan angka 5 persen per tahun, sedangkan Chatib Basri 10 persen. Saya sendiri cenderung menyarankan kenaikan 15-25 persen per tahun untuk mengimbangi kenaikan harga minyak dunia yang sejak tahun 2000 mencapai rata-rata 20 persen. Bahkan, jika kita menyepakati untuk menghilangkan subsidi secara bertahap, kenaikan harga BBM tiap tahun minimal 30 persen.
Opsi lain yang diajukan pemerintah mengenai pembatasan BBM bersubsidi juga menarik untuk dikaji. Saya sudah membahasnya pada posting lalu berjudul "Pembatasan Minyak".
Opsi manapun yang berdampak pada kenaikan harga akan menghadapi resistensi dari masyarakat. Dan pemerintah tidak akan berani mengambil opsi-opsi tersebut jika resistensi sangat tinggi. Karena itu, hal yang kini perlu dipikirkan adalah bagaimana jalan mengurangi resistensi tersebut.
Masyarakat akan kurang resisten jika pemerintah dapat menjelaskan bahwa alokasi subsidi BBM itu dialihkan untuk hal lain yang berkaitan langsung dengan kesejahteraan mereka. Masyarakat harus merasa better-off pasca kebijakan ini, terutama masyarakat lapis terbawah. Karena itu, pengalihan subsidi BBM untuk infrastruktur akan sulit diterima masyarakat karena dampaknya baru dirasakan beberapa tahun mendatang. Pengalihan tersebut harus dirasakan manfaatnya segera setelah kenaikan subsidi.
Kita bisa berangkat dari mengevaluasi pengalihan subsidi BBM yang pernah dilakukan tahun 2005. Hasil evaluasi SMERU (2006) menunjukkan bahwa program Bantuan Langsung Tunai berhasil memberikan manfaat besar pada penerimanya. Akan tetapi, jumlah penduduk miskin tetap naik menjadi 39,3 juta pada tahun 2006 dari sebelumnya 35,1 juta.
Dua faktor menyebabkan kegagalan program BLT mencegah kenaikan kemiskinan. Pertama, tidak tercakupnya sebagian keluarga miskin akibat kelemahan identifikasi dan kolusi pada pelaksanaan. Faktor kedua adalah singkatnya masa pemberian BLT, yakni hanya tiga bulan, padahal penurunan pendapatan riil masyarakat bawah akibat kenaikan harga BBM terus berlangsung.
Usulan Chatib Basri mengenai pengalihan subsidi minyak menjadi subsidi pangan cukup menggiurkan karena manfaatnya dapat dirasakan cepat. Saya menambahi usulan tersebut dengan pembenahan sektor pangan pada posting saya berjudul "Minyak untuk Pangan" di blog Ekonomi Baru Indonesia. Prinsipnya, realokasi subsidi BBM ini perlu disalurkan ke dua arah: kompensasi bagi masyarakat miskin dan peningkatan produktivitas.
(Direvisi terakhir 30 April 2008)
1 komentar:
Posting Komentar