Senin, 14 April 2008

Kredibilitas Target Inflasi

Belakangan ini cercaan ekonom kepada Pemerintah yang tidak realistis dalam menetapkan target inflasi dan pertumbuhan semakin menguat. Saya jadi ingat pada artikel yang saya kirimkan ke Koran Tempo pada 9 Januari 2008, di mana saat itu Pemerintah dan BI baru saja mengumumkan target inflasi 5 persen. Karena saat itu tidak dimuat di Koran Tempo dan isunya justru menghangat saat ini, saya posting saja artikelnya berikut ini.

Melihat harga minyak dunia yang terus bertahan di atas 90 dolar per barel, hampir semua kalangan menduga akan terjadi kelesuan ekonomi dan tekanan inflasi pada 2008. Anehnya, pemerintah dan Bank Indonesia (BI) masih percaya diri untuk menetapkan target inflasi tahun 2008 sebesar 5 persen plus minus satu. Padahal, realisasi inflasi 2007 saja telah mencapai 6,59 persen. Secara implisit, pemerintah dan BI sedang menyatakan bahwa mereka mampu mengurangi inflasi sebesar 1,59 persen pada skenario wajar.

Pernyataan implisit tersebut menjadi tidak konsisten dengan penyesuaian target inflasi yang turun sebesar 0,5 persen tiap tahun hingga 2010. Selisih target tersebut mencerminkan keyakinan pemerintah dan BI bahwa mereka hanya bisa mengerem inflasi dengan perlambatan 0,5 persen per tahun. Lalu mengapa mereka berani menetapkan target inflasi 2008 yang turun drastis dari inflasi tahun lalu? Apalagi jika kita mengingat bahwa mereka tidak mencetak prestasi dalam pengereman inflasi selama tahun 2007, yang selisihnya dengan inflasi tahun 2006 hanya sebesar 0,1 persen.

BI sendiri memperkirakan inflasi tahun 2008 akan mencapai batas atas target pemerintah sebesar 6 persen jika harga minyak dunia berkisar pada 75-85 dolar per barel. Pada saat yang sama, Menteri Keuangan mengungkapkan program pengamanan APBN 2008 yang terdiri dari tiga skenario harga rata-rata minyak mentah Indonesia, yaitu 90 dollar AS per barel, 95 dollar AS per barrel, dan 100 dollar AS per barrel. Jika skenario harga minyak mentah dari Menteri Keuangan dimasukkan ke metode simulasi Bank Indonesia, sudah pasti akan didapatkan perkiraan inflasi tahun 2008 di atas 6 persen. Pernyataan-pernyataan pemerintah dan BI tersebut telah mementahkan target yang mereka buat sendiri.

Pertaruhan Kredibilitas

Pemerintah dan BI menetapkan target inflasi tiga tahun ke depan untuk mempengaruhi ekspektasi masyarakat. Melalui pengumuman target inflasi yang rendah, tim berharap bahwa masyarakat akan memiliki ekspektasi inflasi yang rendah pula. Dengan demikian, faktor ekspektasi pada inflasi inti akan berkurang dan inflasi menurun.

Akan tetapi, masyarakat tidaklah begitu naif untuk membentuk ekspektasi dengan mengikuti target yang ditetapkan pemerintah. Masyarakat hanya akan mengadopsi target inflasi ke dalam acuan ekspektasi jika pemerintah dan BI memiliki kredibilitas sebagai pengendali ekonomi makro yang efektif.

Masalahnya kini, tim ekonomi justru sedang menggiring kredibilitas mereka kepada kehancuran dengan menetapkan target-target yang tidak realistik. Masyarakat akan menyadari bahwa realisasi inflasi melenceng jauh dari target. Setelah itu, masyarakat akan kapok untuk menjadikan target inflasi yang diumumkan pemerintah dan BI sebagai acuan. Alhasil, pemerintah dan BI kehilangan kesempatan untuk mengendalikan ekspektasi masyarakat. Upaya pemulihan kredibilitas akan membutuhkan waktu lama karena kesan awal yang ditanamkan sudah terlalu buruk.

Perkiraan kenaikan inflasi tahun 2008 bukanlah sekedar kecemasan yang jika dituruti justru berpotensi memenuhi dengan sendirinya (self-fulfilling prophecies). Tanda-tanda kegagalan pencapaian target inflasi dapat dilihat dari perkembangan faktor-faktor fundamental. Faktor paling kuat adalah kenaikan harga minyak di atas asumsi BI dan pemerintah. Semua faktor pendorong kenaikan harga minyak tahun lalu masih belum akan hilang pada tahun 2008 ini. Pertumbuhan Cina masih akan terus berlangsung sehingga permintaan energi masih akan tumbuh pesat.

Di sisi penawaran, produksi minyak masih belum dapat ditingkatkan dengan cepat karena pemasangan fasilitas eksploitasi memakan waktu. Interupsi produksi karena kerusuhan sosial di negara-negara pengekspor minyak seperti Irak juga sepertinya masih akan menghambat pasokan minyak. Sementara, kelanjutan ancaman serangan Amerika Serikat terhadap Iran masih menunggu dan akan bergantung pada siapa yang terpilih menjadi presiden di negara adidaya tersebut. Pelemahan dolar secara umum dan pelemahan rupiah terhadap dolar semakin mengerek naik harga minyak dalam rupiah. Imbas kenaikan harga minyak pada harga produk industri yang menggunakan minyak non-subsidi tinggal menunggu waktu.

Komoditas penting lain yang berpotensi mendorong inflasi adalah bahan makanan, terutama beras. Produksi beras diperkirakan menurun pada 2008 ini karena banyak lahan sawah terendam banjir di awal tahun. Walaupun luas lahan yang terendam tidak seberapa, dampaknya pada ekspektasi masyarakat akan signifikan. Ekspektasi yang sudah terbentuk pada masyarakat akan dimanfaatkan oleh pedagang-pedagang besar untuk menaikkan harga. Mereka dapat memupuk ekspektasi tersebut dengan cara sengaja menciptakan kelangkaan di pasar.

Banjir juga telah merusak prasarana sehingga distribusi segala macam komoditas akan tersendat. Konsumsi bahan bakar pun akan meningkat dan berimbas pada kenaikan harga komoditas tersebut. Keterlambatan pasokan juga berujung pada kelangkaan produk yang sementara namun sering berulang. Hal ini semakin mengakumulasi ekspektasi masyarakat bahwa harga akan naik.

Kemunduran sisi penawaran akibat faktor-faktor di atas memberikan buah simalakama pada pemerintah. Jika pemerintah ingin mencapai target pertumbuhan dengan menerapkan kebijakan ekspansif, inflasi akan semakin meninggi. Sebaliknya, jika pemerintah ingin mengerem laju inflasi, pertumbuhan ekonomi akan tersendat.

Beberapa rencana kebijakan pemerintah dan BI menandakan bahwa mereka lebih memilih opsi pertama. Gubernur BI mengungkapkan rencana untuk mendorong pertumbuhan kredit sebesar 23 persen untuk membiayai pertumbuhan ekonomi. Tidak seperti target inflasi, angka 23 persen ini cukup realistik mengingat pertumbuhan kredit pada tahun lalu mencapai 25 persen. Namun perlu diperhatikan bahwa pertumbuhan tahun lalu dicapai dengan penurunan BI rate berkali-kali, dari 9,5 persen pada Januari 2007 menjadi tinggal 8 persen di akhir tahun. Kemungkinan penurunan BI rate lebih jauh sangat bergantung pada situasi ekonomi eksternal, terutama untuk mencegah keluarnya modal asing secara tiba-tiba.

Menjelang pemilu 2009, pemerintah juga dikhawatirkan akan cenderung mengobral uang untuk mencapai kinerja yang memuaskan publik. Realisasi pembangunan infrastruktur yang selama ini tertunda akan diakselerasi pada tahun 2008, tercermin oleh salah satunya kebijakan dana cadangan dan patokan harga pembebasan tanah untuk pembangunan jalan tol. Menko Kesra juga berencana menggelontorkan puluhan trilyun untuk program pengentasan kemiskinan.



Revisi target inflasi
Jika faktor-faktor lain tidak berubah dari tahun lalu, perkawinan antara kebijakan ekspansif pemerintah dan kemunduran sisi penawaran akibat kenaikan harga minyak sudah cukup memastikan adanya akselerasi inflasi pada tahun ini. Realisasi inflasi hampir dipastikan akan meleset dari target yang telah ditetapkan Menkeu. Karena itu, pemerintah dan BI sebaiknya segera merevisi target inflasi jika ingin menyelamatkan kredibilitas mereka.

Upaya pengendalian ekspektasi merupakan strategi baru pemerintah dan BI dalam mengurangi inflasi. Pada masa awal penerapannya, pemerintah dan BI lebih baik memprioritaskan pembangunan kredibilitas dengan cara menetapkan target-target yang dapat dicapai. Manuver target penurunan inflasi yang drastis justru dapat menggulingkan lokomotif kredibilitas sehingga gerbong ekspektasi masyarakat akan melaju tak terkendali.

1 komentar:

infogue mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.