Disebutkan pada berita bahwa Rp 11,5 triliun dari penghematan akan dialokasikan untuk pemberian Bantuan Langsung Tunai (BLT) kepada 19,1 juta rumah tangga miskin (RTM) untuk periode Juni 2008-Mei 2009 sebesar Rp 100.000 per RTM. Nampaknya ada kekeliruan dari narasumber atau pengutipannya, karena perkalian jumlah RTM, jatah BLT, dan 12 bulan pemberian seharusnya sekitar Rp 22,8 triliun, dua kali lipat dari angka yang disebutkan.
Selain itu, penghematan juga akan digunakan untuk menambah cadangan risiko (Rp 3 triliun ), pengurangan defisit (Rp 8,377 triliun), dan tambahan subsidi raskin (Rp 3 triliun). Disebutkan pula bahwa diperkirakan rasio penduduk miskin dapat turun menjadi 14,2 persen dari perkiraan 19,5 persen jika tidak ada kebijakan tersebut.
Saya tertarik pada optimisme pengurangan kemiskinan yang disebutkan di atas. Saya teringat pada optimisme sama yang pernah dinyatakan pemerintah saat menaikkan harga BBM dibarengi membagi BLT pada tahun 2005. Kenyataannya, penduduk miskin bertambah 4,2 juta orang sepanjang periode Maret 2005- Februari 2006.
Tahun ini saja kita sudah berulang kali mendengarkan optimisme semu pemerintah akan kenaikan harga BBM, target inflasi, dan target pertumbuhan. Sejak awal pemerintah mengumumkan asumsi dan target tersebut, banyak analis sudah menggelengkan kepala. Nampaknya, pemerintah masih belum jera bermimpi indah di siang bolong. Kosong!
Saya berkata seperti itu bukan karena menentang kenaikan harga BBM. Sebaliknya, saya mendukungnya, namun dengan syarat penghematan tersebut dialokasikan untuk program yang mengkompensasi masyarakat bawah dan mendukung pertumbuhan jangka panjang.
Simulasi Depkeu di atas baru memenuhi syarat pertama, namun tidak syarat kedua. Dari rancangan alokasi penghematan, nampak bahwa Depkeu hanya memikirkan penyelamatan anggaran, bukan penyelamatan ekonomi. Program BLT dan Raskin hanyalah kamuflase untuk mengurangi penolakan masyarakat.
Kenaikan tingkat kemiskinan akibat kenaikan harga BBM tidak akan terelakkan. Depkeu seharusnya lebih memperhatikan bahwa motif para ekonom dan kaum bisnis mendukung kenaikan harga adalah agar pemerintah memiliki keleluasaan anggaran untuk meningkatkan pembangunan infrastruktur yang kondisinya kini sangat memprihatinkan.
Realokasi anggaran untuk pembangunan infrastruktur (yang disarankan banyak ekonom) maupun untuk pembangunan sektor pertanian (yang lebih saya pilih) akan mendorong ekonomi tumbuh lebih cepat sehingga dalam jangka panjang akan memberi manfaat neto positif ke seluruh lapisan masyarakat. Tanpa itu, pergeseran alokasi anggaran dari subsidi harga BBM ke BLT hanya akan meredistribusi penerima manfaat, namun secara keseluruhan ekonomi tidak menjadi lebih baik (zero sum game)