Rabu, 30 Januari 2008

Subprime Mortgage ala Indonesia?

Investor Daily (30/01) memberitakan bahwa Kementerian Negara Perumahan Rakyat (Menpera)sedang mengupayakan kemudahan kredit perumahan untuk PNS. Sasarannya jelas, agar PNS kecil yang belum punya rumah dapat segera memiliki tempat tinggal yang layak.

Sebagai program yang menguntungkan rakyat kecil, kemudahan kredit perumahan ini layak didukung. Akan tetapi, pemerintah juga harus mengelola sektor properti ini dengan hati-hati agar kita tidak mengulang krisis subprime mortgage yang dialami Amerika Serikat.

Dari 1,2 juta PNS yang belum punya rumah, 114 ribu di antaranya akan mendapat bantuan dana sebesar Rp 442 miliar dari Badan Pertimbangan Tabungan Perumahan (Bapertarum). Bantuan tersebut akan diwujudkan dalam bentuk pinjaman berbunga rendah untuk uang muka.

Pinjaman uang muka tersebut akan merangsang PNS untuk segera merealisasikan rencananya untuk membeli rumah. PNS rendahan perlu waktu lama untuk menabung hingga cukup untuk membayar uang muka. Padahal, mereka tidak terlalu bermasalah dengan cicilan karena tinggal dipotong dari gaji.

Pengembang relatif merasa aman jika memiliki klien PNS karena penagihannya mudah (potong gaji) dan hampir tidak ada kemungkinan kehilangan pencaharian. Karena itu, PNS biasanya mendapat perlakuan khusus berupa masa cicilan yang lebih panjang daripada pembeli rumah lainnya.

Insentif pemerintah ini akan mendorong pertumbuhan sektor properti secara nasional. Peningkatan permintaan akan mendorong kenaikan harga. Para investor real-estate akan melihat potensi keuntungan dari kecenderungan kenaikan harga ini. Aksi spekulasi dari investor real-estate akan semakin melambungkan harga dan menimbulkan gelembung di sektor properti. Setelah itu, kita tinggal menunggu waktu terulangnya krisis ekonomi Amerika Serikat yang juga dimulai dari kejatuhan sektor properti.

Sebelum semua itu terjadi, pemerintah sebaiknya mengkaji struktur industri properti kita. Krisis moneter Asia sepuluh tahun silam memberikan pelajaran bagi kita untuk menerapkan kehati-hatian pada sektor keuangan.

Memang dampak buruk dari terlalu berhati-hati adalah pertumbuhan yang lambat. Titik tengahnya, menurut saya, adalah kehati-hatian itu ditujukan terutama kepada aktivitas spekulasi yang menjadi sumber penggelembungan ekonomi.

Untuk menghambat spekulasi di sektor properti, saya mengusulkan agar pemerintah menerapkan pajak kekayaan pada orang yang memiliki rumah lebih dari satu. Jika pajak tersebut cukup besar, ekspektasi keuntungan spekulan akan berkurang. Spekulan akan berkurang minatnya untuk melakukan spekulasi di sektor properti.

Kebijakan ini juga akan menguntungkan pembeli rumah yang sebenarnya, yakni mereka yang memang belum memiliki rumah. Berkurangnya spekulasi pada rumah akan mencegah harga rumah dan suku bunga naik. Mereka dapat membeli pada harga yang lebih murah dan meminjam kredit pada bunga yang lebih rendah.

Tidak ada komentar: