Pengangguran kentara dan terselubung menjadi masalah di sebagian besar negara berkembang. Jika dibiarkan mengikuti hukum pasar, upah akan rendah di negara yang memiliki banyak pengangguran. Upah rendah ini akan mengundang investasi padat karya yang membuka lapangan kerja baru.
Sayangnya, konsep sederhana di atas tidak senantiasa berlaku di kenyataan. Para pekerja di negara berkembang menuntut perbaikan kesejahteraan. Mereka tidak sabar menunggu realisasi kenaikan upah saat pengangguran semakin berkurang di negaranya. Pekerja tidak puas hanya menuntut perbaikan kesejahteraan melalui perundingan dengan perusahaan. Mereka menuntut pemerintah agar meregulasi kompensasi pekerja supaya dapat hidup layak.
Sayangnya, pekerja terkadang menuntut terlalu banyak. Ketika regulasi memenuhi tuntutan mereka dan mulai membebani perusahaan dengan banyak biaya kesejahteraan pekerja, pengusaha tidak lagi merasa betah meneruskan dan mengembangkan usahanya. Sebagian alasan mereka rasional, yakni mereka melihat bahwa kenaikan biaya kesejahteraan untuk pekerja telah membuat usaha mereka tidak lagi menguntungkan. Sebagian alasan lebih bersifat emosional, yakni mengikuti gerak kawanan. Mereka mungkin enggan untuk mencurahkan perhatian pada negosiasi atau menangani pekerja yang "bandel, atau mereka mengikuti teman-teman mereka yang menutup atau beralih usaha karena alasan tersebut walau mereka sendiri belum mengalaminya.
Akibatnya, banyak pengusaha beralih dari sektor padat karya ke sektor padat modal atau bahkan melarikan modalnya ke negara lain. Modal baru pun enggan datang. Pengangguran bukannya berkurang, justru bertambah dengan banyaknya karyawan yang di-PHK perusahaan yang investornya beralih sektor atau hengkang tersebut.
Di sinilah simalakama itu muncul. Kita tidak menginginkan pertambahan pengangguran ini. Di sisi lain, kita juga tidak menginginkan pekerja dibayar dengan jumlah yang tidak mencukupi keperluan hidup yang layak.
Solusi atas simalakama tersebut dalam jangka panjang adalah dengan memperbaiki ketrampilan pekerja kita, sehingga mereka dapat bekerja pada bidang pekerjaan yang memberikan gaji yang layak. Jika penawaran pekerja tidak trampil semakin berkurang, tingkat upah mereka juga akan meningkat, sebagaimana yang terjadi di negara-negara maju lain. Akan tetapi, solusi ini membutuhkan upaya jangka panjang dan penggarapan yang serius, suatu yang sulit ditemukan pada birokrasi Indonesia.
Analisis alternatif adalah dengan mengelola persaingan agar tidak memaksa perusahaan untuk membayar buruh pada tingkat upah yang tidak layak. Akan tetapi, kelemahan alternatif ini adalah intervensi persaingan akan meniadakan insentif efisiensi dan pengembangan kualitas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar