Sabtu, 20 September 2008

Goyahnya Pendirian tentang Subsidi BBM

Pada postingan saya sebelumnya, anda akan menemukan bahwa saya adalah penganjur pengurangan subsidi BBM. Namun, setelah beberapa diskusi dengan rekan-rekan, terutama mas Nafik rekan saya di FE Unair, pendirian saya pada masalah tersebut mulai goyah.

Pilihan antara subsidi harga dan subsidi langsung melibatkan trade-off. Kebijakan subsidi langsung tidak 100 persen unggul dari subsidi harga. Kemudian atas dasar apa kita memilih subsidi langsung daripada subsidi harga? Jika argumen efisiensi yang dikemukakan, maka subsidi langsung pun menimbulkan inefisiensi berupa insentif orang untuk tidak meninggalkan status miskinnya supaya memperoleh subsidi.


Jika argumen salah sasaran penerima subisidi yang dikemukakan, maka kedua jenis subsidi juga mengalaminya. Subsidi harga dirasakan oleh seluruh masyarakat pengguna komoditas yang disubsidi. Manfaat subsidi tersebut tidak membatasi kelompok yang tidak menjadi sasaran utama subsidi dari mengakses komoditas yang disubsidi tersebut. Sebaliknya, subsidi langsung yang membatasi penerima subsidi justru terbentur pada masalah penetapan restriksi tersebut. Banyak orang yang layak mendapat subsidi tetapi tidak memperolehnya, sebaliknya orang yang tidak layak justru mendapatkan subsidi tersebut.

Subsidi harga hanya mengalami tipe salah sasaran pertama: orang yang tidak layak disubsidi ikut menerima subsidi. Sedangkan subsidi langsung selain mengalami kesalahan tipe pertama juga mengalami salah sasaran tipe kedua: orang yang layak disubsidi tidak dapat memperolehnya. Kesalahan tipe kedua ini lebih berat konsekuensinya daripada tipe kesalahan pertama karena kita telah menimpakan penderitaan yang lebih berat pada orang yang selama ini paling menderita.

Saya tidak memiliki akses data Susenas terbaru karena tarif akses data tersebut di luar jangkauan saya maupun lembaga afiliasi saya. Beruntung, Ari Perdana memberikan ringkasan pengamatan dari data Susenas tersebut di blognya. Ari menyebutkan bahwa 40 persen dari 20 persen orang termiskin tidak menerima BLT, dan Ari menyebutnya sebagai moderat.

Saya tidak mengerti kenapa kita boleh menutup mata pada nasib 40 persen orang yang ikut menderitakan kenaikan harga yang didorong kenaikan harga BBM, tetapi tidak ikut memperoleh kompensasinya. Dengan menyebut angka tersebut sebagai moderat, tersirat Ari memaklumi kegagalan tersebut dan tidak memandangnya sebagai pengganjal bagi kenaikan harga BBM.

Kedua jenis subsidi sama memerlukan ongkos administrasi. Bedanya, pada subsidi langsung biaya administrasi muncul dari pengidentifikasian penerima hingga monitoring pelaksanan, sementara subsidi harga memerlukan pengawasan pemerintah pada penyaluran komoditas bersubsidi tersebut agar tidak masuk ke pasar komoditas yang tidak berhak subsidi. Ironinya, jika pemerintah bermaksud menghilangkan subsidi domestik untuk mencegah penyelundupan internasional, mengapa pemerintah justru membuat sekat pasar bersubsidi dan non-subsidi tersebut di pasar domestik di mana penyalahgunaan lebih mudah dilakukan

Jika argumen yang diajukan adalah uang penghematan subsidi dapat digunakan untuk program penghapusan kemiskinan lainnya yang lebih efektif, maka perlu ditanya program apakah yang dikategorikan sebagai lebih efektif. Perhitungan BLT vs kenaikan anggaran belanja keluarga miskin yang dikemukakan Ari nampaknya tidak terlalu signifikan (bahkan saya dibingungkan oleh kalimat-kalimat deskripsi perhitungan yang tumpang tindih antara berbasis keluarga dan individu). Kelemahan asumsi dalam perhitungan kenaikan anggaran belanja dapat dengan mudah membuyarkan kesimpulan penghapusan neto kemiskinan dari paket kenaikan harga BBM + kompensasi BLT.

Jika BLT memang memberikan kompensasi lebih besar daripada kenaikan anggaran belanja keluarga miskin, sebutlah angka 150 persen, akan tetapi hanya 60 persen keluarga miskin yang menikmatinya, maka jika efektivitas diukur dengan mengalikan dua angka di atas begitu saja kita menemukan angka manfaat neto kebijakan baru 90 persen dari kebijakan lama.

Bagaimana dengan program anti kemiskinan lain seperti Raskin, PNPM, asuransi kesehatan, penggratisan biaya pendidikan yang dapat didanai oleh kenaikan harga BBM ini? Persoalan yang nampak jelas dari program-program tersebut adalah ketercakupan yang jauh lebih rendah. Penghematan uang masyarakat jika harga BBM tidak naik juga dapat membuat keluarga miskin mengakses makanan, pendidikan, dan kesehatan yang lebih baik. Mereka dapat membeli makanan yang lebih bergizi dan buku pelajaran yang lebih murah. Lalu apa alasan uang keluarga miskin tersebut harus disetor dulu ke negara sebelum dikembalikan pada mereka?

Bagaimana dengan argumentasi saya sendiri di posting sebelumnya, bahwa pembangunan infrastruktur dan investasi publik lainnya memberikan imbal lebih besar dari subsidi BBM. Kita bisa yakin akan imbal neto positif bagi seluruh masyarakat. Yang kita tidak bisa yakin adalah distribusi manfaat dan kapan manfaat tersebut dirasakan. Investasi publik tidak selalu berpihak pada orang miskin. Manfaatnya juga baru dirasakan dalam jangka panjang, masa yang menurut Keynes kita semua telah mati.

Dengan perbandingan sederhana subsidi harga dan subsidi langsung di atas, tidak ada keunggulan mutlak dari mekanisme subsidi langsung terhadap subsidi harga. Jika demikian, mengapa penggantian subsidi harga oleh subsidi langsung begitu digembor-gemborkan sebagai kebijakan yang rasional?

Saya menduga latar belakang pengurangan subsidi BBM lebih diwarnai oleh pandangan perlunya membawa harga pada tingkat yang “benar”, yakni tingkat harga yang mencerminkan kelangkaannya. Harga BBM domestik yang lebih rendah dari harga pasar internasional mendorong orang mengkonsumsi BBM secara boros: perilaku keliru dalam situasi kelangkaan.

Kelemahan argumentasi pemborosan terletak pada asumsi bahwa kenaikan harga BBM akan mengurangi konsumsi BBM secara signifikan. Padahal, permintaan bahan bakar bersifat inelastis karena masyarakat tidak memiliki pilihan. Kenaikan harga mungkin mendorong pengembangan energi alternatif dalam jangka panjang karena potensi besar permintaan terhadap bahan bakar alternatif yang lebih murah. Walau upaya riset dan pengembangan bisa merupakan fungsi dari kesempatan yang diberikan oleh situasi pasar, inovasi tetap bersifat eksogen: kita tidak tahu kapan inovasi energi alternatif ini memberikan kita produk yang layak dipasarkan.

Kenaikan harga BBM pada tahun 2008 ini merupakan kenaikan yang telah kesekian kali. Dengan demikian, kita telah memperoleh cukup observasi untuk melakukan eksperimen natural mengevaluasi dampak neto paket kenaikan BBM + kompensasi, baik dalam bentuk bantuan langsung tunai, bantuan tunai bersyarat, dan program anti kemiskinan lainnya. Siapa bersedia mengawali evaluasi dampak kebijakan lintas-tempat dan lintas-tahun ini?


Tidak ada komentar: