Departemen Keuangan sedang mempersiapkan Draf RUU Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK). RUU ini disusun untuk mengatur langkah yang diperlukan jika krisis keuangan terjadi di Indonesia. Kita pernah mengecap pahitnya krisis tersebut sepuluh tahun lalu. Sejak saat itu, pemerintah telah memperbaiki sistem keuangan dengan mengatur kembali syarat kecukupan modal, merger bank, jaminan simpanan, dll. Seluruh standar regulasi keuangan negara maju berusaha kita praktikkan di Indonesia.
Ironinya, kini negara-negara maju di Amerika dan Eropa yang menjadi acuan regulasi keuangan tersebut justru sedang mengalami krisis keuangan yang sangat parah. Jika negara yang menerapkan praktik terbaik sistem keuangan saja gagal, bagaimana dengan kita yang memiliki praktik lebih buruk? Kita seperti anak ayam kehilangan induk. Kepada siapa sistem keuangan kita harus berkiblat?
Perdebatan mendasar mengenai krisis keuangan dan penanganannya adalah mengenai apakah krisis ini muncul di seluruh sistem keuangan atau hanya di sistem keuangan tertentu saja, yakni sistem yang saat ini dijalankan di hampir seluruh belahan dunia. Variasi jawaban dari pertanyaan pertama memiliki konsekuensi penanganan masing-masing.
Jika krisis ini muncul pada satu model sistem keuangan saja, maka cara terbaik menghindari krisis inia adalah dengan mengganti sistem keuangan yang berlaku dengan sistem yang lebih tahan krisis. Tentunya sangat sulit untuk mengganti sistem keuangan. Perubahan lembaga, aturan, budaya, dan cara pandang memerlukan biaya dan upaya yang sangat besar. Perlu dievaluasi terlebih dulu apakah manfaat dari perubahan sistem keuangan ini, berupa tercegahnya krisis keuangan, memang lebih besar daripada biaya yang diperlukannya.
Sebaliknya, jika krisis ini dapat muncul di sistem keuangan manapun, maka cara termudah dan termurah, walau belum tentu yang terbaik, untuk mencegahnya adalah dengan memperbaiki sistem keuangan yang saat ini sedang berjalan. Ketika proses berpikir kita belum lengkap untuk mengetahui mana jawaban yang tepat, maka kita cenderung meminimumkan risiko dengan mengambil langkah yang membutuhkan biaya paling rendah. Karena itu, selama ini kita hanya menempuh perbaikan tambal-sulam terhadap sistem keuangan kita.
Sebagian besar praktisi dan pembuat kebijakan ekonomi masih meragukan adanya sistem keuangan alternatif dari sistem yang telah dipraktikkan oleh negara-negara maju. Walau lembaga-lembaga keuangan Islami sudah menunjukkan eksistensi dan daya tahannya, mereka masih sangsi jika konsep keuangan Islam telah cukup lengkap dan teruji untuk menggantikan sistem yang berlaku.
Kesangsian pertama dapat dijawab dengan tawaran konsep sistem keuangan yang detil. Namun, menjawab kesangsian kedua akan jauh lebih sulit. Selama belum ada negara yang menerapkan sistem keuangan Islam ini dengan utuh, paling tidak dominan, maka tidak ada verifikasi empiris atas klaim kestabilan sistem keuangan Islam.
Sistem keuangan Islam mungkin pernah ada dalam sejarah ketika khilafah Islam mendominasi dunia. Akan tetapi, pengumpulan data-data yang berusia ratusan tahun sulit dilakukan oleh ekonom umumnya. Hanya sejarawan yang menguasai bahasa Arab yang dapat menelusuri dokumen-dokumen peninggalan khilafah tersebut.
Lagipula, kelembagaan ekonomi dunia saat ini sudah sangat jauh berkembang. Tidak mungkin untuk kembali seratus persen pada kelembagaan keuangan Islam di masa khilafah. Perkembangan sistem keuangan yang setelah masa Islam dipimpin oleh Eropa dan Amerika memiliki keunggulan dan kerugian yang perlu dipilah.
Banyak inovasi keuangan di masa kejayaan peradaban Barat. Inovasi yang kini menjadi raksasa besar adalah pasar modal dan pasar uang. Di kedua pasar ini perputaran uang dan pencapaian harga keseimbangan berlangsung cepat. Masalah asimetri informasi dan prinsipal-agen diminimalkan dengan berbagai regulasi. Asuransi juga menjadi instrumen keuangan yang penting pada negara maju, baik diselenggarakan swasta maupun negara. Bank menjadi perantara yang menyalurkan dana penabung kepada peminjam.
Fungsi masing-masing lembaga nampak memberi manfaat besar untuk masyarakat. Lalu di mana letak kesalahan mereka sehingga krisis selalu timbul dengan membawa kerugian yang besar pula untuk masyarakat? Perhatian ekonom Barat selalu berfokus pada kehati-hatian, pengawasan, transparansi, dan jaring pengaman. Partai Demokrat menuding kebijakan deregulasi Bush sebagai biang krisis. Ekonom ini menganjurkan pengaturan kembali sistem keuangan. Dani Rodrik bahkan kembali melemparkan gagasan pajak modal untuk mengerem laju uang panas.
Namun seperti biasa, gagasan-gagasan aneh tersebut tidak pernah ditanggapi serius. Gedung putih dan Bank Sentral AS memilih langkah konvensional untuk menangani krisis. Selamatkan institusi-institusi yang terlalu besar untuk gagal, seperti Fannie dan McFaddie. Langkah yang sama dilakukan oleh pemerintah Indonesia dengan menalangi utang konglomerat dan bank-bank yang sekarat pada krisis lalu.
Satu keheranan besar pada diri saya adalah mengapa seakan-akan terdapat kesepakatan bahwa aktivitas spekulasi haram dikambing-hitamkan. Alasan standar yang melindungi spekulasi adalah bahwa mereka hanya merespon situasi pasar. Pada kondisi normal, spekulan adalah agen yang berjasa mengantarkan harga pasar pada keseimbangan.
Jika kita menilik konsep ekonomi yang ditawarkan oleh Islam, mekanisme transaksi menjadi perhatian besar selain pada komoditas yang diperdagangkan itu sendiri. Islam melarang transaksi yang mengandung unsur perjudian (maysir), informasi tersembunyi (gharib), dan tambahan tetap atas pinjaman (riba). Transaksi seperti itu menimbulkan kerugian, terutama pada konsentrasi sumber daya pada alokasi non riil atau tidak produktif, rendahnya kewirausahaan, dan perekonomian gelembung.
Sebaliknya, ekonom Barat tidak pernah menyinggung mekanisme transaksi dari segala instrumen yang muncul di pasar. Mereka memandang bahwa tiap inovasi instrumen keuangan adalah inisiatif swasta yang bermanfaat untuk masyarakat, sehingga mereka harus dirangsang bukannya dibatasi. Sebagaimana inovasi dalam produk-produk riil, pasar dipercaya mampu mengeliminasi produk keuangan yang buruk.
Akan tetapi, dalam praktiknya pasar keuangan gagal untuk mengeliminasi produk buruk. Di Indonesia, kombinasi antara utang luar negeri yang terlampau besar dan tak terawasi, kejatuhan nilai mata uang, serta rendahnya supervisi perbankan menyebabkan hancurnya bank-bank yang menjadi urat nadi pemasok dana pada produsen barang dan jasa. Di Amerika Serikat, produk hipotek yang buruk laris terjual karena menjanjikan bunga yang tinggi, sementara kerugian potensial dari gagal bayar tidak terlalu menjadi pertimbangan. Situasi ini mirip dengan kasus lembaga keuangan mikro atau perusahaan pengelola investasi di Indonesia yang menjanjikan bunga tinggi akan tetapi pada akhirnya gagal membayar sesuai janji, atau lebih ekstrim lagi uang nasabah dibawa kabur pemilik.
Keruntuhan lembaga-lembaga keuangan besar Amerika terjadi karena mereka memiliki sekuritas hipotek tersebut dalam jumlah besar. Keterkaitan antara perusahaan-perusahaan keuangan melalui kepemilikan silang saham dan surat berharga lain menyebabkan penularan masalah di antara perusahaan tersebut berlangsung cepat.
Mungkin tidak semua sekuritas buruk akan membawa dampak yang sama seperti yang ditimbulkan sekuritas hipotek ini. Dampak buruk itu terjadi karena pada saat bersamaan lembaga keuangan besar membelinya dalam jumlah besar, pemerintah memiliki sebagian saham lembaga keuangan besar tersebut, serta perusahaan pemeringkat tidak berfungsi normal pada penilaian sekuritas ini.
Untuk mendapatkan manfaat yang dibawa oleh inovasi keuangan Barat dan menjauhi risiko yang ditimbulkan, kita perlu memeriksa kembali bentuk-bentuk kelembagaan inovasi tersebut. Beberapa kasus negara baru yang tumbuh (China dan India) atau pulih cepat (Rusia dan Argentina) menunjukkan bahwa modifikasi mereka terhadap resep-resep konvensional Barat telah membawa kesuksesan.
Pengekoran sepenuhnya terhadap sistem keuangan Barat bukanlah merupakan pilihan sadar dari pengambil kebijakan dan praktisi di Indonesia, melainkan merupakan bukti kemalasan mereka untuk berpikir lebih sulit. Sistem keuangan barat sudah sangat sulit untuk dipelajari dan diadopsikan, namun memodifikasinya selain sulit juga tidak populer. Untuk apa memodifikasi sistem yang telah terbukti berhasil dijalankan oleh negara-negara dengan perekonomian termaju di dunia?
Kini alasan kedua tidak lagi relevan. Negara-negara maju tersebut sedang mengalami kehancuran sektor keuangan. Kini kita pantas meragukan sistem keuangan mereka dan mempertimbangkan alternatifnya.
Saya tidak tahu persis apakah dukungan pemerintah terhadap perkembangan lembaga keuangan Islam pasca krisis dilandasi lebih banyak oleh ketertarikan pada sistem alternatif atau mengikuti kemauan pemilik modal muslim. Keraguan pemerintah akan sistem alternatif ini diwujudkan dengan membiarkan sistem alternatif ini bersaing dengan sistem konvensional di pasar keuangan. Mungkin para pengambil kebijakan itu ingin menonton dulu dari kejauhan apakah sistem ekonomi Islam sebagai pemain baru ini benar-benar mampu mengungguli pemain kawakan sistem konvensional di lapangan, bukan hanya di atas kertas.
Dalam situasi normal, sistem konvensional akan lebih menarik karena ia menciptakan gelembung besar ekonomi yang indah. Sistem konvensional baru akan menunjukkan kenyataan mengerikan di baliknya ketika gelembung itu pecah. Di saat gelembung pecah itu barulah sistem Islam terlihat gagah karena tonggak-tonggaknya terpancang kuat dalam fondasi transaksi yang kokoh.
Nampaknya, krisis satu kali belum cukup meyakinkan para ekonom yang berada di balik pengambil kebijakan mengenai ketangguhan sistem ekonomi Islam. Keraguan itu sebagian besar timbul karena ketidaktahuan bahwa sistem ekonomi Islam telah menyediakan alternatif cukup lengkap, bukan lagi sekedar jargon sebagaimana ekonomi pasar sosial, ekonomi Pancasila, dan semacamnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar