Ketika Rabu lalu (8/10) BI mengumumkan kenaikan BI rate, sebagian kalangan menyayangkan kebijakan tersebut karena memberatkan dunia usaha. Langkah BI ini dinilai aneh di tengah banyaknya bank sentral di seluruh dunia yang justru menurunkan suku bunga mengikuti inisiatif bank sentral Amerika Serikat.
Walau kebijakan BI dengan bank sentral lain terlihat kontras, namun mereka sebenarnya sama menjalankan tugasnya masing-masing. Bank sentral negara lain berusaha mengurangi dampak krisis keuangan pada sektor riil karena mereka lebih mengkhawatirkan resesi ekonomi daripada risiko inflasi. Sementara Bank Indonesia menitikberatkan pada pengendalian inflasi karena undang-undang mengamanati mereka dengan tujuan tunggal ini.
Lagipula, pekan-pekan terakhir ini rupiah terus mengalami tren melemah yang didorong penarikan dana oleh investor asing. Karenanya, BI memilih menaikkan suku bunga untuk mengimbangi penurunan selisih suku bunga riil dalam mata uang asing akibat pelemahan rupiah tersebut. Dengan demikian, arus modal keluar dapat diminimalkan.
Bagaimanapun, BI tidak boleh terlalu lama mematok suku bunga pada level tinggi. Suku bunga rendah dan pelemahan nilai rupiah lebih menguntungkan bagi sektor riil domestik. Jika pengusaha tidak terbebani pembayaran bunga kredit yang tinggi, mereka dapat menjual produknya dengan harga lebih rendah, sehingga mendorong ekspor dan menurunkan harga domestik. Nilai rupiah yang rendah juga membuat harga produk ekspor terkesan murah bagi negara lain, sehingga ekspor kita akan meningkat dan cadangan devisa bertambah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar