Kemarin malam, saya menonton diskusi tentang ekonomi kerakyatan di TVRI yang menghadirkan cawapres Prabowo. Satu ungkapan Prabowo yang terngiang cukup keras adalah bahwa pemerintah tidak boleh hanya jadi wasit, namun harus campur tangan langsung untuk mengatasi masalah-masalah ekonomi. Bentuknya antara lain adalah pemberdayaan BUMN untuk menggerakkan ekonomi, membalikkan arus privatisasi saat ini.
Anda setuju? Perlu diingat bahwa kebijakan privatisasi diambil tidak hanya karena desakan IMF, tanpa rasionalisasi sama sekali. BUMN telah lama dikenal sebagai sapi perah bukan hanya penguasa, namun juga swasta yang bermitra dengannya. Kabarnya banyak BUMN merugi karena inefisiensi pengelolaan maupun kebocoran yang tidak ada kaitannya dengan operasional BUMN.
Kalau BUMN sudah rugi, pada akhirnya pemerintah juga yang diminta menutupi kerugian tersebut dengan anggaran negara. Uang yang semestinya bisa digunakan untuk kemanfaatan rakyat justru digunakan untuk mensubsidi BUMN yang dikelola dengan buruk.
Privatisasi dianjurkan untuk mengobati BUMN bermasalah seperti ini. Kepemilikan swasta diharapkan dapat menegakkan disiplin pengelolaan. Jika inefisiensi terjadi lagi, pasar akan meresponnya dengan kejatuhan harga saham. Kerugian tidak akan ditolerir oleh pemilik swasta. Pemilik swasta merasa lebih baik melikuidasi perusahaan yang rugi terus-menerus. Likuidasi ini bagi manajemen dan karyawan berarti kehilangan pekerjaan. Karenanya, mereka akan berusaha mencegah jangan sampai perusahaan merugi.
Sayang sekali, tujuan baik privatisasi disalahgunakan oleh oportunis asing maupun domestik. Dengan menumpangi privatisasi, pemodal asing mengambil alih BUMN dari tangan pemerintah.
Mending jika BUMN yang dibeli memang perusahaan yang selama ini merugi. Kenyataannya, BUMN yang dijual justru yang selama ini berkinerja cukup bagus dan memiliki prospek yang sangat baik. Pola ini paling nampak dalam kasus privatisasi Indosat dan Telkomsel. Kedua BUMN ini memimpin pasar oligopolis pada sektor telekomunikasi yang mengalami pertumbuhan tercepat di Indonesia.
Kegagalan privatisasi juga disebabkan metode pengalihan saham dengan menjualnya pada investor strategis. Pemilihan investor strategis sangat tidak transparan dan rawan korupsi. Metode penjualan di bursa saham jauh lebih transparan dan memastikan adanya disiplin pasar.
Pemerintah saat itu beralasan bahwa pemilihan investor strategis akan memastikan terjadinya transfer teknologi dari investor strategis ke BUMN yang diprivatisasi. Masalahnya, tidak ada ukuran dan cara evaluasi yang pasti untuk mengetahui apakah transfer teknologi tersebut benar-benar terjadi pasca pengalihan.
Kegagalan privatisasi di Indonesia dikontribusi sebagian oleh proses penyelenggaraan negara yang buruk. Kegagalan pengelolaan BUMN juga disebabkan buruknya penyelenggaraan negara. Masalah terjadi dengan atau tanpa privatisasi, karena sumber masalahnya bukan pada privatisasi, melainkan pada kegagalan negara.
Pasar di mana pelakunya mengejar kepentingan diri masing-masing memang tidak bisa menjamin pemerataan. Di sisi lain, kita punya negara yang tidak bisa diandalkan. Seperti kampanye Ronald Reagan, "the state is not the solution, the state is the problem".
Prabowo menyadari hal ini di tengah pemaparan usulannya mengenai penggunaan BUMN sebagai penggerak ekonomi dengan menyebut bahwa memang selama ini belum sempurna namun bisa diperbaiki. Pengertian "belum sempurna" ini yang sering luput dari pendukung liberalisasi. Kebelumsempurnaan mencerminkan adanya manfaat, walaupun tidak sepenuhnya sesuai harapan.
Program pemerataan seperti BLT dan program pemberdayaan lain memang belum mampu mewujudkan tujuan pengentasan kemiskinan, namun bukannya tanpa guna. Pengendalian harga bahan pokok oleh BULOG mungkin tidak sepenuhnya efektif dan banyak kebocoran, namun tanpa BULOG harga bahan pokok jauh lebih tak terkendali.
Kaidah yang perlu diterapkan adalah, "kalau tidak dapat semua, jangan dibuang semua". Intervensi negara dalam setiap ranah kehidupan selalu diwarnai ketidaksempurnaan, namun tanpa intervensi tersebut banyak ketidakadilan dan ketelantaran.
Korupsi memang menghambat pencapaian kesejahteraan, namun eksistensi korupsi tidak menihilkan kemampuan pemerintah untuk memajukan kesejahteraan rakyat. China dan India adalah contoh negara yang tumbuh cepat walau korupsi masih dipraktikkan secara luas.
Pemberantasan korupsi dan intervensi pemerintah dalam ekonomi adalah dua masalah yang berbeda dan dapat dijalankan secara paralel. Walau pemberantasan korupsi belum selesai, intervensi pemerintah dalam ekonomi tetap dapat berjalan dan memberikan hasil.
Perekonomian kita memang memerlukan penyesuaian struktural agar fundamen lebih kokoh. Namun penyesuaian tersebut harus dijalankan secara pelan dan bertahap, sambil memperhatikan dampak-dampak yang tidak diinginkan. Penyesuaian tergesa-gesa yang dipaksakan oleh IMF dan ditunggangi banyak kepentingan justru membawa masalah yang bisa jadi lebih besar daripada masalah asal.
Jumat, 29 Mei 2009
Kamis, 28 Mei 2009
Pelajaran dari Ekonomi Rakyat untuk Ekonomi Islam
Ekonomi rakyat belum dapat dianggap sebagai disiplin ilmu. Namun terlalu meremehkan jika menganggapnya hanya sebagai jargon politik. Paling tepat, ekonomi rakyat ini dikategorikan sebagai sebuah paham atau strategi pembangunan.
Dengan keberpihakan yang amat kentara, hingga dicerminkan dalam namanya, ekonomi rakyat ini mudah memperoleh dukungan dari masyarakat. Sayangnya, konsep ekonomi rakyat sendiri belum terlalu jelas. Literatur yang membahas konsep ekonomi rakyat sangat sulit diperoleh.
Ketika konsep orisinil tidak ada, maka cara paling mudah untuk memperkenalkan ekonomi rakyat ke masyarakat adalah dengan melakukan kritik pada konsep ekonomi lain Maka diambillah neoliberalisme sebagai sasaran kritik
Pembahasan ekonomi rakyat marak mendekati pilpres ini karena dua fakor:
1. Ekonomi rakyat diusung oleh Prabowo sebagai materi kampanye
2. Salah satu pasangan capres-cawapres disinyalir sebagai neolib
Dibandingkan dengan ekonomi kerakyatan, literatur ekonomi Islam jauh lebih berkembang dan banyak. Tapi mengapa ekonomi Islam tidak mampu menembus debat Pilpres 2009?
Pertama, tidak ada parpol yang mau membawa ekonomi syariah, meskipun parpol Islam. Sepertinya, parpol Islam walau sudah menyatakan diri sebagai parpol Islam masih ragu untuk secara tegas membawa ide-ide Islam dalam aspek hukum formal dan tata ekonomi. Parpol Islam perlu menyadari bahwa pemilu dan pilpres justru merupakan momen yang tepat untuk menjual ide-ide tersebut. Rumus suksesnya, kritik sistem yang berlaku dan berikan argumen yang kuat mengapa sistem yang ditawarkan lebih baik.
Kedua, ekonomi Islam selama ini lebih banyak dikemas dalam label kepatuhan terhadap syariat Islam, bukan pada prospeknya untuk membawa kesejahteraan pada masyarakat. Padahal, mayoritas masyarakat lebih peduli pada isu kedua, bukan isu pertama.
Ketiga, perkembangan dan fokus kajian ekonomi Islam lebih banyak pada keuangan Islam yang tidak nampak perbedaannya dalam praktik maupun dampak. Apa yang nampak dari keuangan Islam, yakni lembaga-lembaga keuangan Islam, dianggap identik dengan ekonomi Islam. Ketika lembaga keuangan Islam tidak memperoleh simpati masyarakat, maka citra ekonomi Islam ikut terimbas.
Dengan keberpihakan yang amat kentara, hingga dicerminkan dalam namanya, ekonomi rakyat ini mudah memperoleh dukungan dari masyarakat. Sayangnya, konsep ekonomi rakyat sendiri belum terlalu jelas. Literatur yang membahas konsep ekonomi rakyat sangat sulit diperoleh.
Ketika konsep orisinil tidak ada, maka cara paling mudah untuk memperkenalkan ekonomi rakyat ke masyarakat adalah dengan melakukan kritik pada konsep ekonomi lain Maka diambillah neoliberalisme sebagai sasaran kritik
Pembahasan ekonomi rakyat marak mendekati pilpres ini karena dua fakor:
1. Ekonomi rakyat diusung oleh Prabowo sebagai materi kampanye
2. Salah satu pasangan capres-cawapres disinyalir sebagai neolib
Dibandingkan dengan ekonomi kerakyatan, literatur ekonomi Islam jauh lebih berkembang dan banyak. Tapi mengapa ekonomi Islam tidak mampu menembus debat Pilpres 2009?
Pertama, tidak ada parpol yang mau membawa ekonomi syariah, meskipun parpol Islam. Sepertinya, parpol Islam walau sudah menyatakan diri sebagai parpol Islam masih ragu untuk secara tegas membawa ide-ide Islam dalam aspek hukum formal dan tata ekonomi. Parpol Islam perlu menyadari bahwa pemilu dan pilpres justru merupakan momen yang tepat untuk menjual ide-ide tersebut. Rumus suksesnya, kritik sistem yang berlaku dan berikan argumen yang kuat mengapa sistem yang ditawarkan lebih baik.
Kedua, ekonomi Islam selama ini lebih banyak dikemas dalam label kepatuhan terhadap syariat Islam, bukan pada prospeknya untuk membawa kesejahteraan pada masyarakat. Padahal, mayoritas masyarakat lebih peduli pada isu kedua, bukan isu pertama.
Ketiga, perkembangan dan fokus kajian ekonomi Islam lebih banyak pada keuangan Islam yang tidak nampak perbedaannya dalam praktik maupun dampak. Apa yang nampak dari keuangan Islam, yakni lembaga-lembaga keuangan Islam, dianggap identik dengan ekonomi Islam. Ketika lembaga keuangan Islam tidak memperoleh simpati masyarakat, maka citra ekonomi Islam ikut terimbas.
Sabtu, 16 Mei 2009
Mencari Pengganti Dolar
(dimuat di Republika, 16 Mei 2009)
Pemerintah mulai mengurangi ketergantungan pada dolar dan meragamkan mata uang basis transaksi internasional (Republika, 25/3). Harapannya, ekonomi domestik akan terhindar dari risiko ketidakstabilan mata uang basis transaksi. Kebijakan ini memiliki kelemahan, yakni berkurangnya fleksibilitas penggunaan devisa untuk keperluan transaksi dengan berbagai negara.
Pada dasarnya, uang berfungsi sebagai alat perantara pertukaran barang dan jasa. Barang apa pun bisa menjadi uang selama diterima oleh pihak-pihak yang bertransaksi. Pada skala individu, akan jauh lebih mudah bagi seseorang untuk menggunakan satu jenis uang saja yang diterima oleh semua mitra transaksinya.
Hal sama berlaku pada skala makro. Negara-negara mudah untuk saling bertransaksi jika mereka memiliki satu alat pembayaran yang disepakati. Karena itu, kita dapat melihat, sepanjang sejarah, negara-negara selalu memiliki satu mata uang yang diterima oleh semua.
Banyaknya ragam mata uang transaksi berpotensi menghambat perdagangan dan transaksi internasional lainnya. Dapat terjadi ketidaksesuaian di pasar antara mata uang yang kelebihan penawaran dan mata uang yang kelebihan permintaan.
Mata uang negara yang neraca perdagangannya defisit cenderung kelebihan permintaan. Sebaliknya, mata uang yang neraca perdagangannya positif cenderung kelebihan pasokan.
Dalam sistem alat pembayaran internasional tunggal, defisit kita dengan suatu negara dapat dibayar dengan surplus kita dari negara lain. Jika pemerintah jadi mengadopsi rencana peragaman mata uang, transaksi internasional dan pertumbuhan ekonomi akan terhambat.
Namun, mata uang tunggal tidak bisa memfasilitasi perdagangan dengan baik jika nilainya tidak menentu. Dolar kini sulit diandalkan kestabilannya karena situasi dan kebijakan ekonomi Amerika Serikat (AS) masih tidak menentu. Dulu, dolar menguat karena penarikan dana lembaga-lembaga keuangan asing. Ke depan, dolar cenderung melemah dengan adanya penerbitan baru dolar dalam jumlah besar untuk membiayai defisit anggaran AS.
Banyak negara mulai mengalihkan devisanya ke euro. Untuk saat ini, euro mungkin pilihan yang lebih baik daripada dolar. Tetapi, suatu saat, krisis ekonomi juga bisa melanda Uni Eropa.
Apakah kita cukup sekadar mengganti mata uang basis transaksi internasional setiap kali negara penerbit mata uang tersebut mengalami krisis? Penggantian mata uang internasional bukannya tanpa biaya.
Pada saat konversi terjadi, mata uang lama akan terdepresiasi karena pasokannya membludak tiba-tiba. Sebaliknya, mata uang baru akan terapresiasi karena permintaan meningkat pesat. Negara yang telah menumpukkan cadangan devisa dalam mata uang lama akan rugi karena nilainya turun jika diukur dengan mata uang baru.
Mata uang internasional
Dolar AS disepakati menjadi mata uang internasional pada konferensi Bretton Woods di bulan Juli 1944. Pemilihan dolar AS merupakan pertengahan antara sistem nilai tukar mengambang yang penuh ketidakpastian dan menghambat perdagangan internasional dengan standar emas yang terlalu restriktif.
Pada sistem ini, negara-negara sepakat untuk mematok nilai tukar mata uangnya terhadap dolar AS. Di sisi lain, Amerika Serikat menjamin konvertibilitas dolar terhadap emas yang waktu itu pada level 35 dolar AS per ons emas.
Robert Triffin (1960) menangkap dilema yang dihadapi oleh AS dengan sistem ini. Ia berpendapat bahwa mata uang suatu negara tidak dapat bertahan sebagai alat pembayaran internasional.
AS harus terus mengalami defisit neraca perdagangan untuk memenuhi kebutuhan dolar masyarakat internasional. Di sisi lain, meningkatnya pasokan dolar di luar negeri melemahkan nilai tukar dolar AS terhadap emas di negara lain. Selisih ini mendorong arus keluarnya emas besar-besaran dari AS.
Pada Agustus 1971, Pemerintah AS di bawah presiden Nixon menghentikan konvertibilitas dolar terhadap emas. Akibatnya, nilai tukar dolar terhadap emas dan komoditas lain merosot. Negara lain terpaksa memutuskan patokan nilai tukar mata uang mereka ke dolar untuk mencegah penularan inflasi AS ke perekonomian domestik. Sejak saat itu, sistem nilai tukar dunia kembali ke rezim mengambang.
Walau sudah tidak lagi menjadi patokan, dolar AS tetap menjadi mata uang utama transaksi internasional dan komponen mayoritas cadangan devisa semua negara. Hal ini disebabkan transaksi internasional sudah terbiasa dinilai dan dibayar dengan dolar. Selain itu, dengan skala ekonominya yang besar, AS masih menjadi mitra dagang utama sebagian besar negara.
Krisis AS saat ini mengurangi kemenarikan dolar sebagai mata uang internasional. Nilai tukar dolar AS terus berfluktuasi mengikuti perkembangan situasi krisis dan upaya pemulihannya.
Kembali ke emas
Selama berabad-abad, negara-negara di dunia saling bertransaksi dengan menggunakan emas sebagai alat pembayaran. Sekalipun menggunakan uang kertas, pemerintah negara penerbitnya menjamin uang kertas tersebut dapat ditukarkan dengan emas.
Sepanjang sejarah penerapan standar emas, inflasi tinggi jarang terjadi. Inflasi terjadi hanya sewaktu ditemukan sumber emas baru. Secara umum, tingkat produksi emas stabil sehingga jarang terjadi kejutan harga.
Penentangan pada standar emas datang dari ekonom penganjur intervensi pemerintah, terutama dari aliran Keynesian. Menurut mereka, standar emas membatasi ruang gerak pemerintah dalam melakukan intervensi. Terutama, dalam situasi resesi, pemerintah perlu mendorong permintaan dengan memasok lebih banyak uang. Mereka juga mengajukan fakta bahwa negara yang lebih dulu meninggalkan standar emas mengalami pemulihan dari depresi besar dengan lebih cepat daripada negara yang belakangan meninggalkan standar emas.
Ekonom Austrian, dengan tokoh utama Mises dan Hayek, memandang sebab depresi besar dari sisi berbeda. Mereka berpendapat bahwa depresi besar merupakan konsekuensi siklus yang tak terhindarkan setelah ekspansi moneter besar sepanjang Perang Dunia I. Mereka justru menganjurkan kembali ke standar emas untuk mencegah pemerintah mencetak uang tanpa kendali.
Alternatif lain
Keynes sendiri memiliki usulan alternatif mata uang internasional yang disebut dengan bancor. Bancor merupakan mata uang internasional yang nilainya ditetapkan dalam 30 macam komoditas, termasuk emas. Dengan demikian, harga komoditas-komoditas tersebut dalam satuan bancor akan stabil. Usulan Keynes ini tidak pernah direalisasikan sehingga kita tidak bisa mengevaluasi keberhasilannya.
Dalam pidatonya pada 23 Maret lalu, Gubernur Bank Rakyat China, Zhou Xiaochuan, menyebutkan, gagasan bancor dari Keynes ini berpandangan jauh ke depan. Mengadopsi gagasan bancor, Zhou mengusulkan pengadopsian Special Drawing Right (SDR) IMF sebagai mata uang internasional. Ia berargumen, karena SDR tidak diterbitkan oleh satu negara, mata uang ini akan terhindar dari dilema Triffin.
Emas dan bancor ala Keynes atau Zhou sama-sama terhindar dari dilema Triffin. Bancor memiliki keunggulan fleksibilitas pasokan dibandingkan emas. Akan tetapi, produksi bancor yang teregulasi akan tetap menghadapi risiko digunakan untuk kepentingan pihak yang berkuasa.
Pada akhirnya, pemilihan mata uang internasional tidak dapat menjadi keputusan sepihak satu negara. Penetapan mata uang internasional harus melalui koordinasi dan kesepakatan antarnegara. Pemerintah Indonesia perlu memanfaatkan forum G20 untuk mengusulkan penataan ulang sistem moneter internasional. Satu hal yang pasti, Indonesia telah memiliki banyak pengalaman buruk dengan dolar.
Pemerintah mulai mengurangi ketergantungan pada dolar dan meragamkan mata uang basis transaksi internasional (Republika, 25/3). Harapannya, ekonomi domestik akan terhindar dari risiko ketidakstabilan mata uang basis transaksi. Kebijakan ini memiliki kelemahan, yakni berkurangnya fleksibilitas penggunaan devisa untuk keperluan transaksi dengan berbagai negara.
Pada dasarnya, uang berfungsi sebagai alat perantara pertukaran barang dan jasa. Barang apa pun bisa menjadi uang selama diterima oleh pihak-pihak yang bertransaksi. Pada skala individu, akan jauh lebih mudah bagi seseorang untuk menggunakan satu jenis uang saja yang diterima oleh semua mitra transaksinya.
Hal sama berlaku pada skala makro. Negara-negara mudah untuk saling bertransaksi jika mereka memiliki satu alat pembayaran yang disepakati. Karena itu, kita dapat melihat, sepanjang sejarah, negara-negara selalu memiliki satu mata uang yang diterima oleh semua.
Banyaknya ragam mata uang transaksi berpotensi menghambat perdagangan dan transaksi internasional lainnya. Dapat terjadi ketidaksesuaian di pasar antara mata uang yang kelebihan penawaran dan mata uang yang kelebihan permintaan.
Mata uang negara yang neraca perdagangannya defisit cenderung kelebihan permintaan. Sebaliknya, mata uang yang neraca perdagangannya positif cenderung kelebihan pasokan.
Dalam sistem alat pembayaran internasional tunggal, defisit kita dengan suatu negara dapat dibayar dengan surplus kita dari negara lain. Jika pemerintah jadi mengadopsi rencana peragaman mata uang, transaksi internasional dan pertumbuhan ekonomi akan terhambat.
Namun, mata uang tunggal tidak bisa memfasilitasi perdagangan dengan baik jika nilainya tidak menentu. Dolar kini sulit diandalkan kestabilannya karena situasi dan kebijakan ekonomi Amerika Serikat (AS) masih tidak menentu. Dulu, dolar menguat karena penarikan dana lembaga-lembaga keuangan asing. Ke depan, dolar cenderung melemah dengan adanya penerbitan baru dolar dalam jumlah besar untuk membiayai defisit anggaran AS.
Banyak negara mulai mengalihkan devisanya ke euro. Untuk saat ini, euro mungkin pilihan yang lebih baik daripada dolar. Tetapi, suatu saat, krisis ekonomi juga bisa melanda Uni Eropa.
Apakah kita cukup sekadar mengganti mata uang basis transaksi internasional setiap kali negara penerbit mata uang tersebut mengalami krisis? Penggantian mata uang internasional bukannya tanpa biaya.
Pada saat konversi terjadi, mata uang lama akan terdepresiasi karena pasokannya membludak tiba-tiba. Sebaliknya, mata uang baru akan terapresiasi karena permintaan meningkat pesat. Negara yang telah menumpukkan cadangan devisa dalam mata uang lama akan rugi karena nilainya turun jika diukur dengan mata uang baru.
Mata uang internasional
Dolar AS disepakati menjadi mata uang internasional pada konferensi Bretton Woods di bulan Juli 1944. Pemilihan dolar AS merupakan pertengahan antara sistem nilai tukar mengambang yang penuh ketidakpastian dan menghambat perdagangan internasional dengan standar emas yang terlalu restriktif.
Pada sistem ini, negara-negara sepakat untuk mematok nilai tukar mata uangnya terhadap dolar AS. Di sisi lain, Amerika Serikat menjamin konvertibilitas dolar terhadap emas yang waktu itu pada level 35 dolar AS per ons emas.
Robert Triffin (1960) menangkap dilema yang dihadapi oleh AS dengan sistem ini. Ia berpendapat bahwa mata uang suatu negara tidak dapat bertahan sebagai alat pembayaran internasional.
AS harus terus mengalami defisit neraca perdagangan untuk memenuhi kebutuhan dolar masyarakat internasional. Di sisi lain, meningkatnya pasokan dolar di luar negeri melemahkan nilai tukar dolar AS terhadap emas di negara lain. Selisih ini mendorong arus keluarnya emas besar-besaran dari AS.
Pada Agustus 1971, Pemerintah AS di bawah presiden Nixon menghentikan konvertibilitas dolar terhadap emas. Akibatnya, nilai tukar dolar terhadap emas dan komoditas lain merosot. Negara lain terpaksa memutuskan patokan nilai tukar mata uang mereka ke dolar untuk mencegah penularan inflasi AS ke perekonomian domestik. Sejak saat itu, sistem nilai tukar dunia kembali ke rezim mengambang.
Walau sudah tidak lagi menjadi patokan, dolar AS tetap menjadi mata uang utama transaksi internasional dan komponen mayoritas cadangan devisa semua negara. Hal ini disebabkan transaksi internasional sudah terbiasa dinilai dan dibayar dengan dolar. Selain itu, dengan skala ekonominya yang besar, AS masih menjadi mitra dagang utama sebagian besar negara.
Krisis AS saat ini mengurangi kemenarikan dolar sebagai mata uang internasional. Nilai tukar dolar AS terus berfluktuasi mengikuti perkembangan situasi krisis dan upaya pemulihannya.
Kembali ke emas
Selama berabad-abad, negara-negara di dunia saling bertransaksi dengan menggunakan emas sebagai alat pembayaran. Sekalipun menggunakan uang kertas, pemerintah negara penerbitnya menjamin uang kertas tersebut dapat ditukarkan dengan emas.
Sepanjang sejarah penerapan standar emas, inflasi tinggi jarang terjadi. Inflasi terjadi hanya sewaktu ditemukan sumber emas baru. Secara umum, tingkat produksi emas stabil sehingga jarang terjadi kejutan harga.
Penentangan pada standar emas datang dari ekonom penganjur intervensi pemerintah, terutama dari aliran Keynesian. Menurut mereka, standar emas membatasi ruang gerak pemerintah dalam melakukan intervensi. Terutama, dalam situasi resesi, pemerintah perlu mendorong permintaan dengan memasok lebih banyak uang. Mereka juga mengajukan fakta bahwa negara yang lebih dulu meninggalkan standar emas mengalami pemulihan dari depresi besar dengan lebih cepat daripada negara yang belakangan meninggalkan standar emas.
Ekonom Austrian, dengan tokoh utama Mises dan Hayek, memandang sebab depresi besar dari sisi berbeda. Mereka berpendapat bahwa depresi besar merupakan konsekuensi siklus yang tak terhindarkan setelah ekspansi moneter besar sepanjang Perang Dunia I. Mereka justru menganjurkan kembali ke standar emas untuk mencegah pemerintah mencetak uang tanpa kendali.
Alternatif lain
Keynes sendiri memiliki usulan alternatif mata uang internasional yang disebut dengan bancor. Bancor merupakan mata uang internasional yang nilainya ditetapkan dalam 30 macam komoditas, termasuk emas. Dengan demikian, harga komoditas-komoditas tersebut dalam satuan bancor akan stabil. Usulan Keynes ini tidak pernah direalisasikan sehingga kita tidak bisa mengevaluasi keberhasilannya.
Dalam pidatonya pada 23 Maret lalu, Gubernur Bank Rakyat China, Zhou Xiaochuan, menyebutkan, gagasan bancor dari Keynes ini berpandangan jauh ke depan. Mengadopsi gagasan bancor, Zhou mengusulkan pengadopsian Special Drawing Right (SDR) IMF sebagai mata uang internasional. Ia berargumen, karena SDR tidak diterbitkan oleh satu negara, mata uang ini akan terhindar dari dilema Triffin.
Emas dan bancor ala Keynes atau Zhou sama-sama terhindar dari dilema Triffin. Bancor memiliki keunggulan fleksibilitas pasokan dibandingkan emas. Akan tetapi, produksi bancor yang teregulasi akan tetap menghadapi risiko digunakan untuk kepentingan pihak yang berkuasa.
Pada akhirnya, pemilihan mata uang internasional tidak dapat menjadi keputusan sepihak satu negara. Penetapan mata uang internasional harus melalui koordinasi dan kesepakatan antarnegara. Pemerintah Indonesia perlu memanfaatkan forum G20 untuk mengusulkan penataan ulang sistem moneter internasional. Satu hal yang pasti, Indonesia telah memiliki banyak pengalaman buruk dengan dolar.
Senin, 11 Mei 2009
Kemandirian Mikro vs Makro
Ada cerita menarik tentang pembangunan Singapura yang dilontarkan oleh seorang audien dalam seminar yang diselenggarakan National Press Center Indonesia bertajuk "Kemandirian untuk Kesejahteraan Bangsa" di FE Universitas Airlangga hari ini. Audien tersebut menyampaikan penuturan Lee Kuan Yew mengenai strategi pembangunan Singapore.
Secara singkat, Lee Kuan Yew menuturkan bahwa pada saat Singapore baru merdeka, ia menargetkan bahwa dalam 10 tahun Singapore harus bebas pengangguran. Maka kemudian ia menempuh jalan apapun yang dapat mewujudkan target ini. Investasi asing diundang dengan agresif, yakni dengan memberi tax holiday hingga 10 tahun dan pengurusan perijinan investasi selesai hanya dalam 1 hari. Hasilnya, nol pengangguran tercapai tidak sampai 10 tahun, melainkan hanya dalam 4 tahun! Bahkan, Singapore setelah itu harus mengimpor tenaga kerja asing untuk menutupi kekurangan tenaga kerja lokal.
Target berikutnya adalah meningkatkan penghasilan pekerja. Target ini dicapai dengan meningkatkan industri capital-intensive dan mengurangi industri labor-intensive. Industri capital-intensive adalah industri dengan produktivitas per tenaga kerja yang tinggi, karenanya ia mampu menggaji tinggi pekerjanya.
Apa hubungan cerita tersebut dengan kemandirian? Saya menangkap bahwa kemandirian yang dikejar Singapore adalah kemandirian pada level individu, dengan mengesampingkan ego kemandirian pada level makro.
Pekerjaan adalah sarana individu memperoleh kemandirian. Dengan terbebas dari menggantungkan diri secara ekonomi pada orang lain, individu bebas menentukan pilihan sendiri pada ranah nilai, sosial, maupun politik.
Namun Singapore mengorbankan kemandirian pada level makro dengan membuka pintu investasi selebar-lebarnya pada pemodal asing. Mungkin Singapore tidak melihat adanya esensi penting dari kemandirian pada level makro ini, atau maksimal kalah penting daripada kemandirian level individu.
Pada kasus Indonesia, kemandirian mikro masih sangat memprihatinkan. BPS mencatat bahwa tingkat pengangguran pada Agustus 2007 masih berada pada level 9,11 persen. Padahal, kita tidak mengalami krisis parah seperti Amerika Serikat yang baru mencapai tingkat pengangguran 8,9 persen pada April 2009.
Dengan gambaran kemandirian mikro yang buruk seperti ini, masih perlukah kita mempertahankan kemandirian makro, misal dengan tidak menyetujui liberalisasi investasi asing?
Argumen utama penentang liberalisasi investasi asing ada dua: bahwa investasi asing menyerap surplus lebih besar daripada dana yang ditanamkan, dan; bahwa investasi asing mengeruk sumber daya alam dengan memberikan pendapatan yang tidak sebanding. Dua proposisi tersebut perlu diuji secara empirik. Ada yang berminat mengujinya?
Secara singkat, Lee Kuan Yew menuturkan bahwa pada saat Singapore baru merdeka, ia menargetkan bahwa dalam 10 tahun Singapore harus bebas pengangguran. Maka kemudian ia menempuh jalan apapun yang dapat mewujudkan target ini. Investasi asing diundang dengan agresif, yakni dengan memberi tax holiday hingga 10 tahun dan pengurusan perijinan investasi selesai hanya dalam 1 hari. Hasilnya, nol pengangguran tercapai tidak sampai 10 tahun, melainkan hanya dalam 4 tahun! Bahkan, Singapore setelah itu harus mengimpor tenaga kerja asing untuk menutupi kekurangan tenaga kerja lokal.
Target berikutnya adalah meningkatkan penghasilan pekerja. Target ini dicapai dengan meningkatkan industri capital-intensive dan mengurangi industri labor-intensive. Industri capital-intensive adalah industri dengan produktivitas per tenaga kerja yang tinggi, karenanya ia mampu menggaji tinggi pekerjanya.
Apa hubungan cerita tersebut dengan kemandirian? Saya menangkap bahwa kemandirian yang dikejar Singapore adalah kemandirian pada level individu, dengan mengesampingkan ego kemandirian pada level makro.
Pekerjaan adalah sarana individu memperoleh kemandirian. Dengan terbebas dari menggantungkan diri secara ekonomi pada orang lain, individu bebas menentukan pilihan sendiri pada ranah nilai, sosial, maupun politik.
Namun Singapore mengorbankan kemandirian pada level makro dengan membuka pintu investasi selebar-lebarnya pada pemodal asing. Mungkin Singapore tidak melihat adanya esensi penting dari kemandirian pada level makro ini, atau maksimal kalah penting daripada kemandirian level individu.
Pada kasus Indonesia, kemandirian mikro masih sangat memprihatinkan. BPS mencatat bahwa tingkat pengangguran pada Agustus 2007 masih berada pada level 9,11 persen. Padahal, kita tidak mengalami krisis parah seperti Amerika Serikat yang baru mencapai tingkat pengangguran 8,9 persen pada April 2009.
Dengan gambaran kemandirian mikro yang buruk seperti ini, masih perlukah kita mempertahankan kemandirian makro, misal dengan tidak menyetujui liberalisasi investasi asing?
Argumen utama penentang liberalisasi investasi asing ada dua: bahwa investasi asing menyerap surplus lebih besar daripada dana yang ditanamkan, dan; bahwa investasi asing mengeruk sumber daya alam dengan memberikan pendapatan yang tidak sebanding. Dua proposisi tersebut perlu diuji secara empirik. Ada yang berminat mengujinya?
Langganan:
Postingan (Atom)