Mayoritas tabungan di bank syariah menggunakan akad mudharabah yang merupakan akad kemitraan dalam investasi. Sebagai investasi, tentu nasabah mengharap agar bank menyalurkan dana mereka ke berbagai jenis bisnis yang menghasilkan keuntungan, bukan untuk aktivitas sosial. Keperluan sosial dipenuhi dari alokasi dana terpisah, seperti zakat dan sadaqah. Lain halnya jika investasi tersebut ditanamkan pada bisnis yang juga memberikan banyak manfaat pada masyarakat. Yang pasti, bank syariah tidak boleh menggunakan dana tersebut untuk selain aktivitas bisnis, misal untuk bonus karyawan bank, dipinjamkan, maupun diberikan pada fakir miskin.
Masalah kemudian muncul ketika bank syariah memiliki beberapa variasi produk yang menggunakan akad pinjaman (qardh), seperti talangan haji, gadai emas syariah, anjak piutang, dan kartu kredit syariah. Pada produk-produk ini, bank syariah memperoleh penghasilan atas jasa yang mereka berikan pada nasabah. Pada produk talangan haji, bank syariah memberikan jasa pengurusan haji. Pada gadai emas syariah, bank syariah memberikan jasa titipan barang gadai. Pada kartu kredit syariah, bank syariah memberikan jasa pembayaran ke merchant.
Di samping menyediakan jasa, pada produk-produk ini bank syariah juga memberikan pinjaman ke nasabah. Dana yang dipinjamkan bisa jadi berasal dari modal bank sendiri maupun dari dana nasabah, yang mana keduanya ditanamkan untuk mendapatkan keuntungan, bukan dana sosial.
Jika dana pinjaman berasal dari nasabah, berarti bank syariah telah menyalahi kontrak kemitraan dengan nasabah yang menyatakan penggunaan dana untuk investasi. Karena itu, sebagian, kalau bukan seluruh, bank syariah mengalokasikan sebagian pendapatan mereka dari produk-produk berbasis akad qardh tadi sebagai bagi hasil ke nasabah tabungan. Praktik ini kemudian tidak hanya dibolehkan, namun juga diwajibkan oleh Dewan Syariah Nasional (DSN) pada Fatwa DSN nomor 79 tahun 2011 tentang Qardh Menggunakan Dana Nasabah.
Keuntungan bagi Pemilik Dana Pinjaman
Ringkasnya, penggunaan dana investasi untuk pinjaman ini menjadi dimaklumi atau dibenarkan, oleh pemilik dana dan DSN, ketika pinjaman itu mendatangkan keuntungan bagi pemilik dana. Alasan ini juga berlaku ketika dana pinjaman bersumber dari modal bank sendiri. Pemilik bank syariah tidak akan keberatan jika modal mereka disalurkan sebagai pinjaman tanpa bunga, selama dengan adanya pinjaman itu jasa perbankan yang mereka tawarkan menjadi lebih laku atau bisa mengenakan tarif lebih tinggi.
Jika pinjaman itu tidak memberikan keuntungan dalam bentuk lain, tentu saja pemilik bank akan menganggap pinjaman itu sebagai inefisiensi, karena keuntungan bank akan lebih besar jika modal diinvestasikan, bukan dipinjamkan cuma-cuma. Kalaupun pemilik bank ingin berbuat kebaikan dengan pinjaman itu, biasanya mereka akan mengalokasikan dana terpisah untuk keperluan sosial, misal dalam bentuk program-program corporate social responsibility (CSR).
Di sinilah kita perlu hati-hati akan kemungkinan terdapatnya riba karena pinjaman itu diberikan dengan niat untuk mendapat keuntungan. Memang keuntungan itu didapat tidak secara langsung dengan meminta tambahan pengembalian atas pinjaman yang diberikan. Akan tetapi, keuntungan tersebut diperoleh dari pendapatan jasa yang menyertai pinjaman tersebut.
Cara Mendeteksi Riba
Jika riba didefinisikan secara sempit sebagai tambahan pembayaran atas pokok pinjaman, maka seorang yang ingin mencari keuntungan dari bisnis pemberian pinjaman dengan mudah berkelit dari tuduhan riba dengan menyelinapkan keuntungan itu melalui segala macam transaksi jual-beli barang maupun jasa yang menyertai pemberian pinjaman. Mereka sebenarnya bukan berbisnis jual-beli barang dan jasa tersebut, melainkan berbisnis pinjaman. Mereka menitipkan keuntungan bisnis pinjaman ke dalam harga barang dan jasa tersebut.
Taktik penyamaran riba ini sudah tercium oleh para ulama sejak dulu. Dan mereka telah menyiapkan alat pendeteksi riba yang sangat akurat. Detektor itu berwujud kaidah fiqh yang menyatakan, "Tiap pinjaman yang memberikan manfaat adalah riba." Definisi manfaat sangat luas, sehingga jika kaidah ini benar-benar diterapkan, hampir tidak ada celah sama sekali bagi riba untuk bersembunyi.
Contohnya, kaidah ini akan menganggap riba perbuatan seseorang yang memberikan pinjaman uang dengan syarat peminjam membantu mengerjakan sawahnya. Pada kasus ini, pinjaman tidak secara langsung memberikan manfaat moneter sama sekali. Akan tetapi kita tahu bahwa dengan adanya tenaga penggarap sawah cuma-cuma, pemberi pinjaman telah menghemat uang untuk mempekerjakan tenaga penggarap.
Dengan kaidah ini, kita tidak perlu lagi mempertanyakan niat si pemberi pinjaman, apakah ketika ia menjual barang atau jasa ataupun meminta hal lain dari peminjam. Walaupun si pemberi pinjaman tidak berniat untuk mencari keuntungan dari pinjamannya, jika pinjaman itu memberikan manfaat padanya maka ia telah melakukan riba. Apakah ia berdosa ketika melakukan riba tanpa sengaja adalah perkara lain. Kaidah fiqh ini hanya memutuskan dari fakta lahiriah bahwa manfaat yang diberikan oleh peminjam pada pemberi pinjaman adalah riba.
Ribakah Pembiayaan Syariah Berbasis Qardh?
Mari kita terapkan kaidah fiqh ini untuk menganalisis apakah ada riba dalam pembiayaan syariah berbasis qardh. Dari penjabaran sebelumnya, jelas pinjaman itu telah memberikan manfaat berupa keuntungan bagi pemilik dana pinjaman, baik ia adalah nasabah penabung maupun pemilik bank. Karenanya, kita bisa menarik kesimpulan bahwa keuntungan yang diperoleh dari produk berbasis pinjaman itu adalah riba.
Kesimpulan ini tentu akan mengagetkan jika dikontraskan dengan fatwa-fatwa DSN atas produk-produk perbankan syariah berbasis akad qardh, mencakup antara lain fatwa nomor 26, 29, dan 31 tahun 2002 terkait gadai emas, talangan haji, dan pengalihan utang, serta fatwa nomor 54 tahun 2006 tentang syariah card. DSN bukannya tidak tahu atas kemungkinan riba pada produk berbasis pinjaman ini. Mereka sesungguhnya telah mengantisipasi agar produk itu tidak terjatuh pada riba melalui fatwa-fatwa tersebut dengan mengatur bahwa jasa yang diberikan oleh bank dan tarifnya tidak boleh dikaitkan dengan pinjaman yang diberikan.
Larangan pengkaitan antara pinjaman dengan jasa ini seharusnya sudah menolak eksistensi produk yang diaturnya sendiri, karena semua produk tersebut selalu menawarkan pinjaman dan jasa dalam sebuah paket. Tidak ada bank syariah yang menawarkan pinjaman tanpa bunga secara terpisah dari jasa yang mereka berikan. Kalau memang tidak ada kaitan antara pinjaman dan jasa tersebut, semestinya nasabah bisa meminjam uang tanpa harus disertai menggunakan jasa bank syariah tersebut, baik dalam bentuk pengurusan haji, titipan gadai, jasa pembayaran, atau jasa apapun. Faktanya, bank syariah hanya menawarkan pinjaman tanpa bunga dalam paket-paket jasa mereka.
Bisa dikatakan bahwa fatwa-fatwa DSN yang mengatur larangan pengkaitan pinjaman dengan jasa bukanlah fatwa yang membolehkan, tapi justru melarang penjualan produk-produk perbankan syariah tersebut. Kenyataan bahwa produk-produk berbasiskan qardh itu bisa terus dijual bank syariah hanya bisa dijelaskan oleh keengganan untuk mengakui secara jujur bahwa semua produk itu mengkaitkan antara pinjaman dan jasa bank.
Riba vs Jual Beli
Larangan riba dalam Islam mengandung hikmah agar orang tidak mencari uang gampang dari bisnis meminjamkan uang dan juga tidak gampang meminjam uang untuk memenuhi nafsu konsumtifnya. Pinjaman seharusnya merupakan aktivitas tolong-menolong antara sesama manusia. Karena tentu saja tidak ada orang yang mau menolong orang yang hanya sekedar ingin memenuhi nafsu konsumtif, maka hanya orang yang punya keperluan benar-benar penting dan mendesak saja yang akan meminjam.
Dari hikmah tersebut, kita bisa melihat alangkah melencengnya jalan yang ditempuh produk-produk pembiayaan syariah yang berbasis qardh dan yang melayani kebutuhan konsumtif. Kekeliruan itu telah dimulai sejak awal ketika niatan dalam membuat produk-produk tersebut sekedar untuk mengikuti segala jejak perbankan konvensional, dengan alasan agar tidak tertinggal dan bisa menyaingi perbankan konvensional. Apa gunanya beradu kecepatan pada jalan yang keliru?
Ketika Allah swt menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba, Dia swt memberikan solusi untuk orang mencari rizqi bukan dari riba tapi dari jual-beli. Pintu rizqi Allah swt di jual-beli sangat luas, sehingga seluruh manusia bisa hidup tanpa riba.
Karena itu, semestinya perbankan syariah tidak merasa ruang geraknya dipersempit ketika mereka dilarang dari aktivitas ribawi. Mereka justru harus lebih memprotes Bank Indonesia yang membatasi ruang gerak mereka untuk melakukan aktivitas jual-beli.
Jual-beli yang dilakukan pun semestinya bukan berfokus pada jual-beli kredit yang kembali lagi akan berujung pemenuhan nafsu konsumtif. Fasilitas kredit diberikan hanya untuk mereka yang membutuhkan. Bukan seperti praktik sekarang di mana kredit justru diberikan pada orang yang paling tidak membutuhkannya, karena merekalah yang punya kemampuan untuk membayar lunas utangnya.
Kalaupun regulasi dan kapasitas perbankan syariah masih tidak memungkinkan untuk melakukan jual-beli, mereka bisa tetap berfokus pada fungsi intermediasi ke sektor produktif melalui pembiayaan berakadkan kemitraan (syirkah) dengan berbagi untung-rugi. Apa bisa untung hanya dengan menyalurkan pembiayaan bagi hasil? Kalau memang tidak bisa, untuk apa nasabah penabung di bank syariah menginvestasikan dana mereka ke tabungan yang memberi mereka bagi hasil fluktuatif, bukan pendapatan bunga tetap seperti di bank konvensional. Apakah bank syariah hanya bisa mengajak masyarakat untuk berinvestasi dengan akad bagi hasil, namun mereka sendiri tidak mau melakukannya?