Apa yang menyebabkan tren penundaan pernikahan di masyarakat? Artikel di the Economist menyebukan bahwa negara-negara Asia yang ekonominya tumbuh pesat, semakin banyak wanita menunda menikah karena mereka lebih mementingkan bekerja. Kalau di Indonesia, sebab utama penundaan menikah bukan pekerjaan, tapi sekolah/kuliah. Baik yang bersangkutan maupun orang tuanya biasanya menolak atau tidak memikirkan untuk nikah sebelum selesai sekolah/kuliah karena sekali nikah dan punya anak, akan lebih sulit untuk melanjutkan sekolah. Makanya kalau zaman dulu orang Jawa menikah di usia belasan tahun, sekarang orang baru menikah di usia 20-30an.
Pria Indonesia cenderung menunda menikah hingga punya penghidupan yang mencukupi untuk menghidupi keluarganya, atau paling tidak punya prospek untuk itu. Penundaan ini berdampak ke wanitanya yang juga tertunda menikah, akhirnya memilih bekerja untuk mengisi waktu. Polanya mungkin memang berbeda dengan wanita di barat yang justru memilih bekerja karena mereka tidak mau bergantung pada pria setelah menikah, sehingga mereka juga punya daya tawar saat bercerai. Untuk Indonesia yang tingkat perceraian masih relatif rendah, kebutuhan wanita untuk membangun kemandirian memang tidak sebesar di barat.
Selain faktor kesejahteraan, faktor yang cukup signifikan dalam keputusan wanita meneruskan pendidikan dan bekerja adalah peningkatan status. Wanita yang berpendidikan rendah dan berstatus ibu rumah tangga cenderung merasa lebih rendah ketika bersama wanita lain yang berpendidikan tinggi dan bekerja. Di Indonesia, mungkin pekerjaan belum terlalu dituntut dari wanita sebagaimana pendidikan. Tapi ketika pendidikan semakin tinggi, opportunity cost dari tidak bekerja juga lebih tinggi. Bukan hanya potensi pendapatan yang bisa diraih dari bekerja, tapi juga biaya dan effort pendidikan yang selama ini ditempuhnya menjadi tidak terkompensasi jika tidak digunakan untuk pekerjaan yang relevan.
Pekerjaan ibu rumah tangga dianggap sebagai pekerjaan yang tidak butuh pendidikan tinggi, cukup di-outsource pada orang lain yang berpendidikan rendah SD-SMP.
Padahal sebenarnya pekerjaan ibu rumah tangga bukan sekedar teknis dapur-sumur-kasur, tapi juga tugas yang butuh keahlian dan intelektualitas seperti manajemen keuangan keluarga (wealth management), pendidikan anak dan remaja (childhood and youth education). Konsultan wealth management dibayar mahal untuk melakukan pekerjaannya. Pendidikan massal di sekolah tidak bisa menggantikan bimbingan individual orang tua.
Pengurangan intensitas bimbingan individual karena kedua orang tua sibuk bekerja mengurangi perkembangan potensi anak. Namun intensitas tinggi bimbingan juga akan kurang berarti jika orang tua yang menjadi pembimbing tidak punya cukup skill untuk itu. Mungkin perlu diadakan pendidikan tinggi S1-S3 Jurusan Ibu Rumah Tangga yang mempelajari pengetahuan dan keahlian yang diperlukan untuk melakukan pekerjaan ibu rumah tangga dengan baik.