Rabu, 25 Juli 2012

Agar Bank Syariah Kebal Risiko Bunga

Apa hubungannya bank syariah dengan risiko bunga? Bukankah bank syariah tidak menerima dan membayar bunga? Memang bank syariah tidak menerima dan membayarkan bunga, tapi mereka masih harus bersaing dengan bank riba yang memungut dan membayarkan bunga. Ketika bunga bank berubah, bank syariah ikut menerima dampak di sisi pendanaan atau pembiayaan. Hal ini sebenarnya tidak perlu terjadi jika bank syariah juga menggunakan sistem bagi hasil di pembiayaan, bukan cuma di pendanaan.

Bank syariah saat ini selalu menghadapi tekanan untuk menyesuaikan rasio bagi hasil pendanaan dan tingkat margin pembiayaan tiap kali tingkat bunga pasar berubah. Ketika tingkat bunga pasar naik, bank syariah terancam kekurangan likuiditas jika tidak ikut menaikkan rasio bagi hasil karena sebagian nasabah pendanaan akan menarik simpanannya di bank syariah untuk dipindah ke bank konvensional. Sebaliknya, jika tingkat bunga turun, bank syariah akan kesulitan mencari nasabah pembiayaan yang melihat bank konvensional menawarkan biaya modal lebih murah, sehingga bank syariah harus menurunkan marjin pembiayaan mereka.


Murabahah Sumber Masalah

Masalah di kedua sisi neraca bank syariah ini sebenarnya bersumber dari satu sisi saja, yakni sisi pembiayaan  yang tidak menggunakan sistem bagi hasil. Sebagian besar pembiayaan bank syariah masih menggunakan sistem murabahah, langsung maupun tidak langsung. Murabahah langsung, yang nampak di neraca sebagai pembiayaan murabahah, mencakup lebih dari separuh pembiayaan bank syariah. Murabahah tidak langsung adalah pembiayaan murabahah yang dilakukan melalui kerjasama bank syariah dengan BMT/koperasi syariah, sehingga nampak di neraca bank syariah sebagai pembiayaan mudarabah/musyarakah. Bank syariah memberikan pembiayaan mudarabah pada BMT/koperasi syariah, namun dengan perjanjian dana tersebut digunakan untuk pembiayaan murabahah. Karena murabahah tidak langsung ini tidak bisa dibedakan dari pembiayaan mudarabah/musyarakah yang sebenarnya, kita tidak pernah bisa tahu persis berapa besar pembiayaan murabahah tidak langsung ini.

Marjin pembiayaan murabahah bisa langsung dibandingkan dengan tingkat bunga karena nilai nominalnya yang pasti, tidak seperti bagi hasil yang nilai nominalnya bergantung realisasi keuntungan. Nasabah pembiayaan bisa langsung menghitung berapa persen tingkat efektif marjin pembiayaan dan membandingkannya dengan tingkat bunga kredit di bank riba. Akibatnya, bank syariah harus mengikuti gerak tingkat bunga pasar untuk menjaga kebersaingan mereka.

Arus pendapatan dari pembiayaan murabahah relatif pasti dibandingkan model bagi hasil. Nasabah perlu mengangsur pokok pembiayaan dan marjin yang besarnya tetap secara periodik. Sementara penerimaan bagi hasil bank syariah akan bergantung pada profitabilitas dan musiman bisnis yang dibiayai.


Kestabilan arus pendapatan ini membuat bagi hasil simpanan bank syariah juga relatif stabil. Ditambah lagi sebagian, kalau tidak semua, bank syariah melakukan smoothing pembayaran bagi hasil dengan memberi bagian lebih besar pada nasabah simpanan ketika pemasukan dari pembiayaan sedang menurun. Kestabilan ini disukai oleh nasabah bank syariah yang terbiasa menerima bunga yang tetap dari bank riba. Memang tujuan bank syariah melakukan stabilisasi bagi hasil ini untuk mencegah nasabah melarikan simpanannya ke bank riba jika melihat penurunan bagi hasil di simpanan mereka. Namun upaya smoothing bagi hasil bank syariah ini biasanya tidak langsung nampak dari nisbah bagi hasil yang mereka umumkan.


Karena marjin pembiayaan murabahah mengikuti pergerakan tingkat bunga pasar, rate of return bagi hasil yang diberikan pada nasabah simpanan juga dengan sendirinya akan mengikuti pergerakan tingkat bunga pasar. Namun jika pendapatan dari pembiayaan belum bisa mengikuti perubahan tingkat bunga pasar, bank syariah perlu juga merubah nisbah bagi hasil simpanan.

Ringkasnya, kebergantungan bank syariah pada pembiayaan murabahah membuat bank syariah ikut menghadapi risiko tiap kali tingkat bunga pasar berubah. Kalau saja mayoritas komposisi pembiayaan bank syariah menggunakan model bagi hasil, mereka tidak perlu menghadapi risiko bunga.


Independensi Bagi Hasil

Bank syariah tidak akan menghadapi risiko bunga di sisi pembiayaan ketika mereka menggunakan model bagi hasil. Nasabah pembiayaan tidak bisa membandingkan berapa keuntungan yang akan mereka bayarkan pada bank syariah dengan berapa bunga yang mereka bayarkan ke bank riba secara ex ante, yakni sebelum mereka mengambil pembiayaan. Mereka hanya akan tahu perbandingan itu ex post, ketika mereka sudah mengambil pembiayaan bagi hasil dan melihat berapa omset atau keuntungan mereka.


Paling jauh, nasabah pembiayaan hanya bisa memperkirakan penjualan dan keuntungan. Namun semua pelaku bisnis tahu bahwa hitungan di atas kertas jarang tepat di kenyataan. Selalu ada ketidakpastian dan faktor-faktor yang tidak diduga yang bisa memberikan mereka keuntungan lebih atau kurang dari yang diperkirakan.


Karenanya, tingkat bunga pasar tidak lagi relevan untuk keputusan nasabah  untuk mengambil pembiayaan di bank syariah. Perbandingan yang relevan untuk nisbah bagi hasil satu bank syariah adalah nisbah bagi hasil bank syariah pesaing. Selain itu, akan ada batas atas nisbah bagi hasil yang masih dianggap pantas (fair) oleh nasabah.

Bagi hasil juga membuat sisi pendanaan bank syariah tidak lagi sensitif terhadap pergerakan tingkat bunga pasar. Hal ini karena pembiayaan bagi hasil akan memberikan arus penerimaan yang berfluktuasi pada bank syariah, kadang besar kadang kecil. Konsekuensinya, bagi hasil ke nasabah simpanan juga akan berfluktuasi. Nasabah mungkin tidak akan menyukai fluktuasi ini ketika belum terbiasa karena mereka masih punya pola pikir riba.

Namun jika nasabah sudah terbiasa dengan fluktuasi bagi hasil ini, mereka tidak akan cemas ketika mendapat bagi hasil lebih sedikit dari biasanya dan tahu bahwa di lain waktu mereka akan mendapat bagi hasil lebih besar. Fluktuasi ini hanya masalah musiman bisnis. Nasabah yang juga pebisnis akan mudah memahaminya.

Mengapa nasabah simpanan tidak memindahkan dananya ke bank riba ketika bagi hasil sedang turun? Jika mereka melakukannya, bisa jadi mereka justru rugi karena saat bank syariah sedang memberikan bagi hasil besar mereka hanya memiliki sedikit dana yang tersimpan di bank syariah.

Fluktuasi bagi hasil yang tidak bisa diprediksi justru membuat bank syariah terlindungi dari risiko bunga. Nasabah simpanan tidak lagi terlalu sensitif terhadap pergerakan tingkat bunga bank riba.

Walau demikian, nasabah simpanan mungkin masih mengamati rata-rata bagi hasil yang mereka terima. Jika pada durasi tertentu rata-rata bagi hasil bank syariah di bawah bunga pasar, mungkin pada akhirnya nasabah akan memindahkan simpanannya. Namun dalam situasi ini pun bisa jadi nasabah simpanan akan rugi karena masih ada kemungkinan bahwa setelah periode keuntungan yang rendah dari pembiayaan bank syariah, akan datang periode keuntungan tinggi.

Bank syariah sendiri bisa mengurangi fluktuasi musiman dengan memperpanjang periode pembayaran bagi hasil, bukan tiap bulan tapi tiap tiga bulan atau bahkan tiap tahun. Pembagian keuntungan tiap tahun bukanlah hal yang aneh karena hal ini juga dilakukan perseroan. Fakta bahwa bisnis cenderung menggunakan periode tahunan untuk melakukan pembagian keuntungan mungkin menunjukkan bahwa periode ini merupakan jangka waktu yang optimal untuk perusahaan maupun pemilik modal. Musiman penjualan seringkali terjadi antar bulan, sehingga profitabilitas bisnis lebih tepat dicerminkan oleh tingkat keuntugan tahunan, bukan bulanan.


Kesimpulan

Sebuah ironi ketika lembaga keuangan syariah yang tidak menerapkan bunga masih menghadapi risiko bunga. Hal ini terjadi karena mereka masih dominan menggunakan model pembiayaan murabahah yang memang sulit dibedakan dari kredit bank riba. Kalau saja bank syariah lebih dominan, atau totalitas, memberikan pembiayaan dengan model bagi hasil, mereka tidak perlu lagi mencemaskan perubahan tingkat bunga pasar.

4 komentar:

Unknown mengatakan...

Jangan ditulis di blog aja. Coba diedit buat koran juga... Biar lebih menyebar pandangan2nya, Bro... How are U? Enjoy your study in there?

Said mengatakan...

Iya nih Is, males ngedit dan nunggu terbit. Moga-moga ntar bisa diterbitin jadi buku aja kalo tulisannya dah ngumpul banyak. Alhamdulillah enjoy karena krasa banyak dapat knowledge.

Tulisanmu yang terbit maupun belum juga dibikin blog aja Is. Biar orang masih bisa baca tulisanmu yang lama.

Tamalogic mengatakan...

Tulisan yang sangat menarik, sangat idealis, sangat lugu dan polos, dalam menganalisis perbankan syariah tepat langsung pada jantungnya. tulisan mas Fathurrohman ini "temanya" sudah lama menjadi diskusi yang sangat serius antara sesama praktisi, antara akademisi dan praktisi, dan bahkan antar sesama akademisi. mengenai masih ada koefisien korelasi antara Industri Perbankan syariah yang "no bunga" dengan pergerakan suku bunga itu sendiri..
ada beberapa alasan logis kenapa :
a. BI (regulator Bank Syariah) masih bersikap HARAM dalam artinya masih menjadikan bunga sebagai indikator kebijakan. belim BI syariah..

b.Tidak yang salah dengan Al Murabahah, akad dan produk inilah yang jelas-jelas termaktub dalam al Qur'an sebagai solusi menghindari Riba dan masuk dalam sektor Riil. hanya saja dalam implementasinya, peraturan internal bank dan praktek dilapangan yang perlu edukasi dan pengawasan serius.

c. Model bagi hasil murni memang sangat ideal, namun belum tepat diimplementasikan dalam perbankan syariah di Indonesia saat :
a. Regulasi BI mengatur begitu detail dan rumit mengenai implementasi mudharabah dan musyarakah sehingga produk tersebut tidak kompetitif lagi.
b. edukasi masyarkat secara umum dan dunia bisnis terhadap konsep bagi hasil yang belum terlalu dalam

c. semangat industri perbankan syariah yang masih rancu..

demikan mas fathur pandangan saya.. semoga diskusi masih bisa berlanjut

Said mengatakan...

Dari komentar mas Tama, saya lihat yang secara langsung berlawanan dengan pendapat saya adalah mengenai Murabahah. Sepengetahuan saya, solusi Al-Quran untuk menghindari riba adalah jual-beli, namun jual-beli tidak selalu murabahah, apalagi dalam arti pembiayaan murabahah yang pada intinya adalah jual-beli kredit.

Pendapat saya mengenai jual-beli kredit adalah sebagaimana utang-piutang umumnya, motif semestinya adalah tolong-menolong, bukan menjadi peluang mengekstraksi keuntungan dengan menaikkan marjin harga dibandingkan jika menjual kontan. Detil pandangan saya mengenai jual-beli dan riba terselip dalam posting saya yang berjudul "Beda Riba dan Jual Beli" serta "Paradoks Pembiayaan Syariah Berbasis Akad Qardh".