Jumat, 03 Agustus 2012

Ekonomika Riba Fadl

 Sumber hukum riba fadl adalah hadits Nabi Muhammad saw. berikut: 
“(Jual beli) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya'ir dengan sya'ir, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam (dengan syarat harus) sama dan sejenis serta secara tunai. Jika jenisnya berbeda, juallah sekehendakmu jika dilakukan secara tunai.” (riwayat Muslim, Abu Daud, Tirmizi, Nasa'i, dan Ibnu Majah)

Untuk empat komoditas selain emas dan perak, ulama cenderung bersepakat bahwa 'illat ribawi-nya adalah karakteristik benda itu bisa ditimbang atau diukur. Mahmoud el-Gamal (2006) menginterpretasi secara ekonomi bahwa yang dimaksud adalah bahwa benda itu bersifat fungible, yakni bisa saling menggantikan karena cenderung standar.

Mahmoud el-Gamal juga mengutip pendapat Ibnu Rushd bahwa tujuan dari larangan tambahan dan penundaan pada pertukaran antara komoditas  fungible adalah untuk menjamin keadilan. Bagi komoditas yang tidak terstandarisasi, pertukaran pada kuantitas yang sama tidak dimungkinkan, sehingga keadilan dicapai hanya dengan menjual barang yang dimiliki pada harga yang berlaku, lalu uang hasil penjualan itu digunakan untuk membeli barang yang diinginkan. Namun untuk barang yang terstandarisasi, pertukaran pada kuantitas sama dimungkinkan, sehingga keadilan dipastikan dengan mewajibkan cara itu.

Namun untuk emas dan perak, terdapat perbedaan antara ulama apakah 'illat ribawi-nya adalah karakteristik bisa ditimbang atau diukur (fungible), atau karena keduanya merupakan alat tukar dan nilai harga (tsaman), yakni sebagai uang. Emas dan perak dibedakan dari komoditas lain karena untuk barang selain emas dan perak boleh ditukarkan dengan keduanya secara non tunai, sementara emas dan perak harus ditukarkan di antara keduanya secara tunai.

Kebolehan pertukaran non tunai, baik salam maupun jual kredit, antara barang fungible dengan emas dan perak, atau uang secara umum, kemungkinan didorong oleh motivasi yang sama dengan kebolehan utang-piutang yang melibatkan pertukaran uang dengan uang secara tidak tunai. Motivasinya adalah kemanfaatan yang besar dalam transaksi non tunai tersebut.

Dengan demikian kita mendapati kebolehan pertukaran non tunai antara barang fungible dengan uang pada harga yang disepakati, dan antara uang yang sejenis dengan kuantitas yang sama. Sementara pertukaran antara jenis uang yang berbeda menggunakan harga yang disepakati, tapi harus tunai.

Bahwa rasio pertukaran harus sebanding antara uang yang sejenis bisa dipahami untuk menjamin keadilan. Sementara rasio pertukaran sesuai kesepakatan antara barang dan uang serta antara uang beda jenis bisa dipahami karena benda yang berbeda jenis tidak mungkin ditukar pada kuantitas yang sama. 

Yang lebih sulit dipahami adalah mengapa perbedaan jenis di antara uang berdampak pada larangan pertukaran non tunai. Jika kembali mencermati hadits riba,sebenarnya larangan pertukaran non tunai antara jenis yang berbeda ini tidak hanya berlaku pada uang, tapi juga pada barang fungible lainnya. 

                                   Rasio Pertukaran         Non-tunai
Fungible vs Uang         Harga Pasar                Boleh
Uang sejenis                Sebanding (1:1)           Boleh (Pinjaman)
Fungible sejenis           Sebanding (1:1)           Boleh (Pinjaman)
Uang beda jenis           Harga pasar                Tidak boleh
Fungible beda jenis      Harga pasar                Tidak boleh

Salah satu kemungkinan bolehnya transaksi non-tunai untuk pertukaran barang vs uang adalah karena kebutuhan manusia untuknya sangat besar, dan akan mendorong penciptaan nilai tambah (produksi). Manfaat produktif ini lebih besar dan lebih pasti daripada potensi bahaya ketidakadilan dari perubahan nilai tukar antarwaktu di antara barang dengan uang. Kalaupun salah satu pihak dirugikan oleh perubahan nilai tukar, kerugian itu terkompensasi oleh manfaat pertukaran

Pertukaran uang beda jenis dengan tempo dilarang karena perubahan nilai tukar antara kedua mata uang ini akan menghasilkan keuntungan bagi satu pihak dan kerugian bagi pasangan transaksinya. Pertukaran uang tidak memberikan surplus manfaat seperti pertukaran barang dengan uang, sehingga tidak ada kompensasi bagi pihak yang merugi. 

Sementara transaksi qardh (hutang uang) tanpa tambahan (riba), yang sejatinya adalah pertukaran uang sejenis antarwaktu, dibolehkan bukan karena manfaat produksi yang mutualis, tapi karena motif menolong dari pemberi pinjaman. Pemberi pinjaman tidak mungkin mencari keuntungan jika ia memberikan pinjaman tanpa meminta tambahan. Sekalipun nilai riil pinjaman itu naik di saat pengembalian, pemberi pinjaman bisa mendapatkan hasil yang sama dengan menyimpan sendiri uang itu, tanpa harus meminjamkannya. Demikian pula sebaliknya, pemberi pinjaman menghadapi risiko kerugian sama ketika nilai riil  uang turun  baik uang itu dipinjamkan ataupun disimpan sendiri.

Ketika ia meminjamkan, ia justru menghadapi risiko pinjamannya tidak dikembalikan. Namun kerugian ini dikompensasi oleh pengalihan tanggung jawab dalam menjaga harta. Jika seseorang menyimpan sendiri uangnya, ia menghadapi risiko perampasan. Namun dengan meminjamkannya, beban mengamankan harta itu ditangun oleh peminjam.

Di sisi peminjam, manfaat sudah pasti didapatkan dari uang pinjaman, sementara kerugian jika terjadi kenaikan nilai riil pinjaman bersifat tidak pasti. Kalaupun memang terjadi kerugian itu, manfaat dari pinjaman uang sudah mengkompensasinya. Selain itu, masih ada kemungkinan nilai riil pinjaman justru turun



Tidak ada komentar: